PARTNER
Meila berusaha menahan amarahnya. Tapi sepertinya
darahnya sudah sampai ke ubun-ubun. Meila membentak Kindy, cowok teman sekelas
yang selalu terlambat sekolah sejak kelas satu catur wulan satu sampai sekarang
sudah masuk 2 bulan. “Kau ini kenapa selalu terlambat, sih? Gara-gara kau, aku
selalu saja harus absen 2 kali dalam sehari! Bisa tidak, sih, kau datang lebih
awal?” Meila membelalak bengis pada Kindy.
Sebenarnya Meila tidak mau marah-marah pada Kindy. Tapi
Kindy sudah keterlaluan karena setiap hari ia selalu datang terlambat ke
sekolah. Hal itu menyebabkan Meila harus absen 2 kali, bolak-balik ke piket.
Untungnya guru yang seharusnya mengajar tidak masuk karena ada rapat di sekolah
lain, dan baru akan masuk di jam ke-2.
“Setiap hari kau selalu telat! Senin sampai Sabtu!” Meila
benar-benar marah.
Kindy hanya tersenyum. Ia meletakkan tas cokelat tuanya di
bangku paling belakang. Meila yang bangkunya di depan mengikuti Kindy yang kini
tengah mengeluarkan buku Fisika dari tasnya.
“Kau tidak menghargaiku sebagai KM, ya?” Meila kembali
membentak Kindy. Meila menggebrak meja Kindy. Meila tahu, teman-teman
sekelasnya pada berbisik. Ada juga yang menertawakan.
Kindy menghela napas. “Maaf, Meila. Bukannya aku tidak
menghargaimu, tapi sepagi-paginya aku bangun, aku selalu telat. Aku ingin kau
memaklumi.” Hanya itu yang Kindy katakan. Setelah itu Kindy membuka buku
Fisikanya dan mulai membacanya.
Meila merah padam. Ia berbalik dan segera pergi ke tempat
guru piket untuk meralat absen. Teman-temannya tertawa di belakangnya. Pulang
sekolah, karena penasaran, Meila membuntuti Kindy. Saat Kindy naik bus lewat
pintu depan, Meila naik dari pintu belakang. Tatapan Meila tidak lepas dari
punggung Kindy. Kindy menyisir poninya yang dipangkas ala Tin-tin sedangkan
tangan yang lain memegang palang di atasnya, agar ia tidak terjatuh.
“Meila.” Tiba-tiba seseorang menegurnya.
“Eh, Anton, hai….” Meila salah tingkah.
“Kok naik bus ini? Bukankah jurusannya berlawanan arah
dengan rumahmu? Mau ke mana?”
“Eh, aku ada urusan.” dalih Meila. Dan ketika dilihatnya
Kindy turun, Meila pamit pada Anton dan bergegas turun. Meila terus membuntuti
Kindy dari belakang. Lama-lama tikungan yang dilewati semakin banyak, dan itu
membuat Meila bingung. Tapi khirnya tiba juga di sebuah gang yang paling ujung.
Jalan buntu. Dan di ujung gang inilah Kindy tinggal. Meila mengendap-endap ke
halaman rumah Kindy.
Rumah Kindy tidak besar namun terawat dan bersih.
Rerumputannya dipangkas rapi. Di halaman depan ditanami pohon mangga yang
mangganya tampak sudah masak dan lebat pula. Meila ingin sekali menikmatinya.
Wajahnya merah padam. Apa-apaan, sih?
Aku ‘kan ke sini bukan untuk mangga! Meila
mengintip dari jendela samping rumah Kindy.
“Aduh, Addy, Randy!” Kindy menggendong kedua adiknya yang
tadi bermain di lantai. “Lihat baju kalian, kotor sekali! Lady, kenapa kau
tidak menjaga adik-adikmu?”
Meila berjinjit. Ia melihat seorang gadis, kira-kira kelas
2 SMP, muncul ke ruang tamu. “Maaf, Kak Kindy. Lady juga baru pulang. Tapi tadi
waktu Lady baru pulang, si kembar masih anteng, kok.”
Kindy memberikan adik kembarnya pada Lady. “Tolong ganti
bajunya.” Kemudian ia sendiri membawa jambangan bunga yang masih berisi air.
“Untung ini jambangan plastik.”
Wah, gawat, Kindy menuju ke arahku! Meila buru-buru
berjongkok. Sayangnya, Kindy membuang air jambangan tepat di atas Meila. Meila
menjerit kaget, membuat Kindy terlonjak. “Wah, Meila, maaf!” Tiba-tiba Kindy
melongo. “Meila, kenapa ada di sini?”
Meila nyengir. Ia tersipu. Dilambaikannya tangannya. “Hai,
Kindy….”
***
Meila
menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia menelentangkan tubuhnya. Ditatapnya
langit-langit kamarnya yang putih bersih. Meila menghela napas. Aku sungguh bodoh! Kenapa aku langsung menyalahkan Kindy sering terlambat…padahal aku
tidak tahu apa-apa tentang dia. Meila menutup mata dengan kedua tangannya.
Kindy tidak marah akan perbuatan Meila. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Kau
mau tahu kenapa aku selalu telat, ya?”
Saat itu Meila hanya tertunduk. Kindy tersenyum dan
mengajaknya masuk. Kindy membawakan handuk dan menawarkan baju ganti. Meila
menatap kaos putih bergambar Felix
yang kini digantungnya di kursi di kamarnya. Lalu ia kembali mengingat kejadian
di rumah Kindy. Meila melihat Kindy mengepel lantai, lalu menyeduh teh
untuknya. Teh itu wan gi dan nikmat.
Kindy duduk di sofa lain. Ia memangku adik kembarnya yang
telah berganti baju. “Addy, Randy, kakak itu namanya Meila. Ia adalah KM yang
tegas, bertanggung jawab, dan rajin.” Kindy tersenyum. Adik kembarnya berusia
kurang lebih satu tahun. Mereka tertawa dan berusaha menggapai Meila. Meila
mendekat dan mencium si kembar. “Hati-hati, mereka bandel.”
Benar saja, kini rambut Meila sudah dijambak oleh Randy,
yang mempunyai tahi lalat di dekat alisnya yang tebal. Kindy membantu
melepaskan jambakan Randy lalu membawa kedua adiknya ke belakang. Adiknya
menjerit dan menangis. Kindy kembali duduk di sofa, ia meminta maaf soal
adiknya. Meila hanya tersenyum mengerti. Kindy menghela napas sambil menyandar
di bahu sofa. “Sebenarnya aku tidak punya banyak waktu untukmu….”
Tiba-tiba Ibu Kindy memanggil dari dalam rumah. Meila tadi
sudah berkenalan sekilas dengan Ibu Kindy. Ibunya ramah, agak gemuk, dan
cantik. Rambutnya digelung dan tanpa make-up.
“Maaf, Mei, aku masih banyak kerjaan. Sebentar, ya, aku ke
belakang dulu.” Beberapa saat kemudian Kindy kembali lagi. “Ibu mengizinkan aku
mengantarmu sampai jalan raya.”
Meila pamitan pada Ibu Kindy. “Ya, Nona, lain kali mampir
lagi, ya.” Ibu Kindy menjabat tangannya, lalu Meila mencium punggung tangan Ibu
Kindy.
Saat berjalan kaki ke jalan raya, entah kenapa Kindy
tampak keren dan menarik di mata Meila. Atas permintaan Meila, Kindy
menceritakan alasan kenapa ia setiap hari terlambat ke sekolah. Alasannya
adalah karena ia setiap pagi harus menyapu, mengepel, memandikan kedua adiknya,
memasak air, mencuci piring, mencuci baju dan menjemurnya. Lady, adiknya yang
nomor dua hanya bertugas untuk menyetrika baju. Ibu dan Ayahnya harus berangkat
dini hari untuk bekerja. Ayahnya mengumpulkan kayu untuk dijual, sedangkan
Ibunya menjual sayur-mayur di pasar.
Kindy juga harus memasak makanan untuk adik-adiknya. Selama
Kindy dan Lady sekolah, kedua adik kembarnya dititipkan di tetangga sebelah.
Dan siangnya, Kindy atau Lady harus menjemput mereka. Tapi tadi kebetulan
tetangga itu menjaga Addy dan Randy di rumah Kindy. Ibu Kindy tadi pulang
sekitar pukul setengah empat. Dan kini sudah pukul empat lebih.
“Ditambah… perjalanan dari rumah ke jalan raya memakan
waktu yang lama. Jadi kumohon kau maklum.” Ujar Kindy dengan senyum ragu.
“Orang tuaku sudah dipanggil 3 kali dalam sebulan ini. Dan akhirnya para guru
maklum.”
Hari ini Kindy memang terlihat keren. Meila merasa bodoh
karena ia terlalu menyalahkan Kindy. Padahal Meila di rumah tidak pernah
mengerjakan apa-apa karena ada Mbok Nah, Bi Ani, dan Mang Ujo.
Lama-lama Meila mengantuk dan akhirnya terlelap hingga
Shubuh. Meila mandi dan sholat, lalu belajar selama 20 menit. Meila membuka
jendela, ia dapat melihat matahari yang baru terbit dengan sinarnya yang
kemerahan.
Setelah rapi, Meila turun ke bawah. Ia memperhatikan Mbok
Nah yang sedang memasak dengan Ibunya, dan Bi Ani yang sedang mencuci baju
dengan menggunakan mesin cuci. Meila bertanya-tanya dalam hati apakah di rumah
Kindy ada mesin cuci.
Ternyata di rumah Kindy tidak ada mesin cuci. Meila
menanyakannya pada Kindy saat istirahat.
“Kenapa bertanya begitu?” Kindy tersenyum.
Meila malu akan kelakuan bodohnya. Ia nyengir malu. “Aku hanya penasaran saja. Eh, ayo kita makan di
kantin.”
“Aku bawa bekal, kau mau?”
“Boleh?” Meila duduk di sebelah Kindy. “Kau hebat sekali,
Kindy! Masih sempat membuat bekal sendiri, aku sih….” Wajah Kindy tersipu,
membuat Meila ingin menggodanya lagi. “Kindy, aku ingin menjadi temanmu.”
Kindy memberikan sebagian bekalnya pada Meila. “Kita ‘kan
sudah berteman.”
“Iya, ya.”
Saat kelas 2 SMA, Meila sekelas lagi dengan Kindy. Dan
mereka semakin akrab. Pada pertengahan catur wulan 2, Kindy tidak pernah
terlambat lagi karena ia memiliki sepeda motor yang dibeli dari sisa uang
jajannya dan uang hasil kerja sampingan.
Meila sangat kagum pada Kindy. Kindy sangat pintar
mengaji, rajin sholat, dan aktif di ekskul Pramuka. Ia sangat rajin mengerjakan
tugas-tugas di rumah. Di sekolah pun ia selalu masuk 3 besar.
“Ah, seandainya aku bisa mendampinginya….” Wajah Meila
memerah. “Ah, tapi itu terlalu dini. Lagipula mana mau Kindy sama aku….”
“Aku, sih, kalau Meila, mau saja….”
“Kindy?” Meila tersipu. Ia salah tingkah, sehingga selang
air yang sedang dipegangnya menyiram Kindy. “Wah, maaf!”
Kindy tersenyum. “Tidak apa-apa, lagipula salahku
mengejutkanmu. Aku ingin memberikan ini.” Kindy menyerahkan plastik hitam besar
padanya. “Hasil dari kebun.”
Meila membuka plastik dan melihat banyak mangga matang dan
harum. “Wah, terima kasih, ya, Kindy! Aku senang sekali! Masuk dulu, yuk!”
“Tidak usah, aku ada kerja part-time. Meila, aku ingin mengatakan…kalau aku suka padamu.”
Kindy tersipu. “Yuk, aku pergi dulu. Sampai nanti!” Kindy menaiki motornya. Ia
tersenyum, lalu berlalu.
Meila masih bingung dengan ucapan Kindy. Tapi kemudian ia
sadar dan ia meloncat kegirangan. “Syukurlah, Kindy, aku juga suka padamu!”
Lalu ia kembali menyirami bunga dengan hati yang berbunga-bunga. Meila tidak
menyangka akan pernyataan Kindy. Untunglah dulu aku jadi KM, dan Kindy selalu
telat sekolah. Kalau memang sudah jodoh….
TAMAT
Kamis, 21 Maret 2002
Nama: Putri
Permatasari
Fb:
putri_comics86_ydws@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar