RESAH
Delphina
menangis di kamarnya. Sejak kelas 4 SD sampai kini ia duduk di kelas 2 SMP, ini
sudah ke-5 kalinya ia sakit. Delphina sangat membenci dirinya yang lemah. Hanya
karena ada yang naksir Pandu, atau Pandu naksir seseorang, ia langsung sakit.
“Del, sudah jangan menangis lagi. Memang sih ini tidak
wajar. Tapi aku mengerti perasaanmu, kok.” Irene, sahabatnya sejak kelas 1 SMP,
mencoba menghiburnya.
“Aku selalu sakit, tidak masuk sekolah sampai
berhari-hari, dan itu karena aku terlalu memikirkan Pandu!”
“Kenapa kau tidak mencoba untuk menyukai cowok lain?” usul
Irene sambil mengupas apel merah untuk Delphina.
Delphina menggeleng sedih. “Sudah kucoba, tapi aku tidak
bisa melupakan Pandu. Kau tahu, Ren, aku bisa gila….”
Irene mengelus punggung tangan Delphina. “Masalahnya ada
pada Pandu, bukan? Seandainya ia punya sedikit cinta untukmu.”
***
“Delphina?
Eh, yang mana, ya?” tanya Pandu. Ia mengernyitkan alisnya.
“A…aku Delphina, teman SD-mu. Memang kita tidak pernah
sekelas, sih….” Delphina merasa wajahnya merah. Oh, sudah tidak ada harapan, pikir Delphina dalam hati.
“Oh, ya, samar-samar aku mengingatmu. Kau suka dikucir dua
kalau ke sekolah, ya?”
Delphina mengangguk ceria. “Aku ingin mengatakan sesuatu
padamu.” Delphina tersenyum. “Maaf kalau waktu makan siangmu terganggu….”
“Tidak apa-apa, teruskan saja.” ucap Pandu sopan.
Begitulah, Delphina mengungkapkan isi hatinya sekaligus
kondisi tubuhnya yang langsung sakit jika Pandu suka seseorang, atau seseorang
menyukai Pandu.
Pandu tercengang. Namun Delphina tersenyum manis. “Tenang,
aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku. Sekarang aku sedikit lega. Doakan aku
agar cepat dapat pacar dan bisa melupakanmu, ya!” Delphina meninggalkan Pandu
yang masih tercengang.
Delphina tidak tahu bahwa setelah kejadian itu diam-diam
Pandu mulai memerhatikan segala sikap dan tingkah laku Delphina. Pandu ingin
tahu apakah ucapan Delphina itu benar adanya atau hanya kebohongan belaka. Oleh
karena itu Pandu pura-pura pacaran dengan seorang teman ceweknya lalu
menyebarkan gosip. Pandu meminta Nurandi, sahabatnya, untuk menyelidiki ke
kelas Delphina.
“Jadi dia sakit, Nur?”
“Benar, teman-temannya sih bilang dia sakit flu.”
“Wah, jadi dia benar-benar….”
“Benar-benar apaan?” tanya Nurandi. “Kau menghamilinya,
ya? Dasar! Cewek tidak cukup satu….”
Pandu memukul kepalanya. “Sembarangan!”
Jadi Delphina tidak
bohong! Wah, ini penyakit yang sangat gawat! Aku tidak tahu kalau Delphina
memikirkanku sampai seperti itu….pikir Pandu merasa bersalah. Akhirnya ia
meminta alamat Delphina pada Irene dan menjenguknya.
Delphina terkejut saat Pandu menjenguknya. “Aku sangat
memalukan, ya?” Delphina tersenyum sedih. Ia tampak pasrah dan lemah. “Tapi…kau
tak perlu repot-repot untuk menjengukku.”
Pandu sudah bertekad, “Bagaimana kalau kita pacaran?”
Pandu tidak memikirkan akibatnya. Delphina menertawakannya. Tapi kemudian Pandu
melihat airmata di sudut mata gadis itu. Delphina menolaknya. Tentu saja, mana
mungkin Delphina mau berpacaran tanpa rasa cinta? Apalagi pacaran berdasarkan
belas kasihan. Pandu menyesali kebodohannya.
Di sekolah, Nurandi heran karena Pandu tidak bersiul
seperti biasanya jika ada gadis cantik yang lewat. “Kau sakit, Pan?” Nurandi
memegangi dahi Pandu. “Sally yang kau incar dari semester satu baru saja lewat,
lho.”
“Aku pusing, Nur.”
“Soal Delphina? Yang suka sakit kalau tahu ada cewek lain
di hatimu?”
“Tahu darimana soal Delphina?”
“Gosip, dong. Cewek-cewek di kelasku ‘kan hobi bergosip,
kebetulan aku mendengarnya. Sudahlah, Pan, kau tidak usah merasa bersalah,
dong!” Nurandi menyeruput es cendolnya.
Pandu memegang kepalanya yang benar-benar pusing. Ia
sendiri tidak mengerti. Benar apa yang Nurandi katakan, untuk apa ia merasa
bersalah? Tapi nyatanya ia memang selalu memikirkan Delphina.
Seminggu setelah Delphina mulai masuk sekolah, Pandu
menghampiri dan mengajaknya mengobrol. “Nonton, yuk! Kebetulan ada film bagus.”
Delphina menolaknya dengan halus. “Kau tidak usah merasa
kasihan padaku.”
“Aku juga tidak tahu kenapa semenjak kau mengungkapkan isi
hatimu, aku jadi selalu memikirkanmu. Sungguh….”
Wajah Delphina memerah. “Tapi itu rasa kasihan, Pan, bukan
cinta. Doakan aku saja agar aku dapat melupakan dirimu.”
Pandu merasa tersinggung, lalu selama berhari-hari ia
tidak keluar kelas saat istirahat. Setiap istirahat Pandu membaca buku pelajaran
di kelas.
“Pan, sekarang kau tidak perlu merasa bersalah lagi pada
Delphina. Tadi aku melihatnya jalan dan mengobrol dengan anak OSIS, Farhan.”
Pandu merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari
biasanya. Tubuhnya serasa panas dingin. Ia menggemeretakkan giginya. “Di mana
Del sekarang?”
“Eh? Wajahmu pucat, Pan….”
“Di mana Del sekarang?” ulang Pandu tidak sabar. Nurandi
terkejut dan langsung memberitahu dimana Delphina berada. Pandu menutup bukunya
dan langsung keluar kelas mencari Delphina. Delphina sedang duduk sendirian di
taman sekolah. Napas Pandu tersengal dan peluhnya bercucuran.
“Pandu? Kau habis berlari, ya?” Delphina menghapus peluh
di dahi Pandu dengan sapu tangan biru mudanya. Wajah Delphina tampak berseri
namun Pandu tampak tidak senang melihatnya.
Pandu memegang tangan Delphina. “Sudah dapat pacar, ya?”
“Siapa?”
“Siapa lagi? Farhan, anak OSIS.”
Delphina tersipu. “Aku baru saja menolaknya. Kau tahu
darimana….”
Pandu membawa Delphina melewati taman menuju gang sempit
di belakang kelas. Di sana sepi dan tenang. Namun tidak dengan jantung Pandu.
Napas Delphina tersengal dan wajahnya tampak merah karena
lelah.
“Sekali lagi aku memintamu, Del, jadilah pacarku.”
“Tidak….” Delphina membuang muka.
“Dengar dulu, Del. Aku mencintaimu. Kalau aku tidak mencintaimu,
aku takkan susah-susah menghampirimu hanya untuk menanyakan apakah kau sudah
jadian dengan Farhan atau belum. Kalaupun kau sudah jadian dengan Farhan, tadi
aku bermaksud memintamu pada Farhan.”
Wajah Delphina semakin memerah. Ia berkata dengan suara
yang amat pelan, “Kalau kita pacaran, kau tidak bisa putus denganku, Pan. Kau
‘kan tahu penyakitku sangat gawat….Aku tidak ingin membuatmu susah.”
“Sudahlah,” potong Pandu tajam, “saat ini aku menyukaimu,
mencintaimu. Jika kau baik dan setia padaku, aku takkan meminta putus.”
“Tuh ‘kan….”
Pandu tergelak. Ia merangkulnya dan membawa gadis itu ke
kantin dan memesan dua kopi susu. “Aku takkan meninggalkanmu, aku tidak ingin
melihatmu sakit lagi. Bisa-bisa aku ikut sakit.” guraunya.
“Aku senang. Tapi bel sudah lewat daritadi, Pan.”
“Tak apa-apa. Aku belum pernah bolos sebelumnya.” Pandu
nyengir. Lalu ia menghirup kopi susu bersama Delphina. Merasakan kehangatan
minuman itu di tubuh mereka masing-masing. Semoga
cinta kami akan selalu hangat selamanya….doa Pandu dalam hati.
TAMAT
Putri Permatasari
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar