GADISNYA TORA
Pertengahan
Agustus 2002.
“Tor,
elo mau antar gue jemput adik gue, gak?”
Aku melepaskan headset
dari telinga. “Boleh juga. Lagian masa gue ditinggal, sih? Ini kan rumah lo.”
“Ya sudah, buru.” kata Anton sambil keluar dari rumah dan
masuk ke mobil.
Aku mengikutinya dari belakang. “Memangnya kalau elo gak
libur, siapa yang jemput adik lo?”
“Mang Ujang. Yah kebetulan saja, pas Mang Ujang lagi minta
cuti, gue libur.”
Aku mengangguk. “Baguslah.” kataku sambil kembali memasang
headset di telinga. Tak kurang dari
dua puluh menit kami sudah tiba di sekolah Ayu, adik Anton. “Gue tunggu di
mobil, ya.” kataku sambil memandang sekeliling. “Tempat kayak gini sih, gak
bisa dipake buat ngeceng, isinya anak ingusan semua….” lanjutku acuh tak acuh.
Anton hanya tertawa mendengar alasanku. “Lagian gue juga
gak turun, lagi. Tuh, adik gue!” kata Anton menunjuk ke arah dua orang gadis,
yang salah satunya jelas adik Anton.
“Hey, Kak Tora ikut juga?” tanya Ayu sambil membuka pintu
tengah mobil. “Oh iya Kak, anterin temen Ayu sekalian, ya?”
Anton mengangguk. “Iya, beres.”
Aku menoleh ke belakang. Sumpah, nih cewek manis banget! Gue tarik omongan gue tadi…. “Hey,
gue Tora, siapa namamu?” tanyaku tanpa malu-malu pada teman Ayu.
“Ng…Gadis.” jawab perempuan itu sambil menyambut uluran
tanganku.
“Oh, boleh minta nomor handphone-nya?”
Gadis tampak sedikit keberatan. “Boleh, tapi nanti lewat
Ayu saja ya Kak….”
Aku tersenyum. Masih
polos banget….”Oke kalau begitu.” kataku sambil berbalik dan kembali duduk
normal.
Awal
September 2002.
“Gila
lo, Man! Gadis itu masih kelas 2 SMP…masa lo mau jadiin dia bokin lo? Memangnya
adik kelas di sekolahan kita gak ada yang nyantol satupun? Man, kita ini kelas
3 SMA….”
Aku tersenyum memandang sahabat kentalku itu. “Yah elo,
bukannya suport gue…lagian masa elo nggak ngeh,sih? Gadis tuh kan beda sama
cewek-cewek seumurannya….”
“Lebih dewasa maksud lo? Itu sih cuma penampilannya doang
kali, lagian elo kan belum tahu bener
tentang dia.”
“Pokoknya gue yakin sama intuisi gue….”
“Ya sudahlah, terserah lo….”
Aku memainkan kunci motor sambil mendengarkan lantunan
lagu yang sedikit nge-rock lewat
ponselku.
“Tor, tuh si Gadis!” kata Anton sambil menepuk pundakku.
Aku segera melepas headset
dan memasukkannya ke dalam saku seragam kemudian megnghampirinya. “Hai, Dis….”
Gadis tersenyum menanggapiku. Benar-benar manis.
“Aku anterin pulang, ya?” tawarku penuh harap. Aku
menyikut Anton sambil tersenyum bisik-bisik.
“Iya, deh….” jawab Gadis walaupun sedikit sungkan.
Aku menyembunyikan kegiranganku dengan berdeham. “Ya
sudah, ayo….” kataku pada Gadis. “Man, thanks, ya!” bisikku pada Anton yang
menggelengkan kepala tak percaya. “Ayu, Kak Tora duluan!”
“Iya, Kak. Hati-hati, ya….” kata Ayu sambil melambai.
Sepanjang perjalanan aku hanya menikmati perasaanku yang
tak karuan. Gadis benar-benar berbeda bagiku. Aku menghentikan motorku di depan
rumahnya dan melepaskan helm.
Gadis turun sambil memberikan helm padaku. “Makasih ya,
Kak….”
Aku tersenyum. “Eh, nanti malam boleh aku telepon?”
Gadis tersenyum dan mengangguk.
Yeah! “Ya sudah,
masuk, gih…biar aku pastikan kau sampai ke dalam rumah dengan selamat.” kataku
sambil memakai helm lagi.
Gadis tersenyum sesaat sebelum menghilang di balik pagar
rumahnya. Sumpah! Senyumnya itu
benar-benar membuatku sedikit sesak napas saking senangnya!!
***
“Halo.”
“Hey, ini aku Tora….”
“Oh, Kak Tora….”
“Sori, aku ganggu kamu gak nih?” tanyaku berharap
jawabannya tidak.
“Nggak, kok. Kan tadi siang Kakak sudah bilang dulu….”
“Oh, jadi kalau gak bilang dulu gak boleh nelpon, dong?”
“Bukan…bukan itu maksud Gadis….”
Aku terkekeh. “Iya, aku bercanda, kok…Dis, Sabtu besok ada
acara, gak?”
“Nggak ada, sih….”
“Gak ada? Kalau begitu, mau gak kamu jalan sama aku?”
Diam sejenak, sepertinya Gadis sedang berpikir. “Boleh
saja, sih….”
“Bener? Kalau begitu, besok pulang sekolah aku jemput kamu
di rumah, ya?”
“Iya….”
“Thanks ya, met malam, Dis….” kataku menutup pembicaraan. Terima kasih, Tuhan!
***
Aku
melihat pantulan bayanganku dan Gadis di cermin restaurant. Kupikir sangat
serasi, lagian mana ada yang nyangka kalau Gadis ini anak kelas 2 SMP,
tapi….dia kelihatan polos banget….kataku dalam hati, mengagumi perempuan yang sedang tersenyum di sampingku
ini.
Aku menggeser kursi yang akan diduduki Gadis dan kemudian
duduk berhadapan dengannya. “Bagaimana hari ini?”
“Gadis senang banget, thanks ya!” kata Gadis sambil
mengangkat bungkusan berisi boneka lumba-lumba super besar yang kuberikan
padanya hasil dari bermain di TimeZone.
Aku tersenyum dan meraih tangannya. “Dis, mau gak kamu
jadi pacarku?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa Kakak nggak akan menyesal?”
“Loh, kenapa menyesal? Aku gak akan pernah menyesal dan
aku juga janji bakal selalu melindungi kamu.”
Gadis terlihat sedikit gugup. Lama ia menunduk. “Iya,
deh….” jawab Gadis.
“Iya apa?” tanyaku sedikit menggoda.
“Iya, Gadis mau jadi pacar Kak Tora….”
Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tidak terasa
gatal. “Thaks ya, Dis!”
Gadis hanya tersenyum sambil terus menatapku….
Februari
2003.
“Kenapa,
lo Tor? Suntuk amat….”
Aku menghela napas berat. “Elo benar, Ton, kami memang gak
nyambung, dia masih kecil….” keluhku.
“Maksudnya, lo sama Gadis?”
“Ya iyalah, masa sama Ayu….”
“Sori, Man, itu sih sudah jelas kelihatan dari dulu…tapi
bukannya elo yang selalu berpikir positif, nah, sekarang kenapa elo yang jadi negatif
begini?”
“Yah, dia selalu gak bisa ngertiin apa yang gue mau…masa
kalau nge-date, tempat yang kita
datengin cuma TimeZone doang, sudah
gitu gak ada saat mesra-mesranya, lagi!”
Anton tertawa geli.
“Elo kok malah ketawa, sih?” protesku sedikit kesal.
“Ya iyalah gue ketawa…secara, gitu, bokin lo kan anak SMP!
Pake acara mesra-mesraan, tidur saja masih dinina boo-in kali….”
“Sialan, lo, memangnya dia anak SD! Ya gak segitunya
kali…lagian ‘mesra-mesraan’ yang ada di otak lo apaan, sih? Dasar piktor!”
Anton menggelengkan kepala. “Elo sudah ngapain dia sih?”
“Dasar memang piktor, lo, otak udang! Paling parah sebatas
cium pipi sama kening doang, kok.”
“Gue gak percaya, secara Tora Evan, cowok paling populer
di sekolahan yang dekat dengan cewek-cewek and
doyan banget nonton blue film, cuma
sebatas cium pipi sama kening? Gak mungkin….”
“Bangsat, lo! Sialan pake tambah-tambahin! Kata ‘doyan’
kayaknya gak perlu, lagian elo juga kan suka nonton film gituan, muna lo….”
“Bercanda, Man! Masukkin ke hati amat, sih….Oke, deh, balik
lagi…so, sekarang lo mau apa?”
“Kayaknya gue mau bubar saja, deh, sama dia…lagian gue
juga mau fokus dulu sama ujian kali….”
“Elo yakin?”
Aku mengangguk yakin. Memang, sih gue benar-benar sayang
pada Gadis, tapi sifatnya yang kekanakan itu bikin gue merasa jauh sama dia,
gue serba salah…dia memang terlalu polos buat gue, gue jadi selalu merasa
terbebani untuk selalu bisa menjaga dan melindungi dia, jujur…gue takut dia
rusak karena gue….
***
“Dis,
kita sudahan saja, ya….” kataku tanpa basa-basi saat tengah bermain di taman
ria. Gadis melepaskan genggaman tanganku tanpa berkomentar. “Sori, bukan maksud
aku…jangan nangis, dong….” pintaku saat melihat Gadis menggigit bibirnya sambil
menangis.
Gadis menyeka air matanya dan berusaha tersenyum. “Kalau
begitu anterin Gadis pulang sekarang, ya….”
“Ya sudah….” kataku. Sori
ya Dis…
.”Dis, jangan nangis lagi, ya. Nanti
Mama kamu nyangka yang nggak-nggak lagi….”
Gadis menghela napas. “Tenang saja, Gadis sudah cukup
besar untuk mendapat kepercayaan Mama, kok!” kata Gadis sambil membuka pintu
mobil.
“Dis….” panggilku merasa bersalah. Tapi Gadis tidak
menoleh dan terus turun dari mobil. Aku terus menatapnya sampai ia menghilang
di balik pagar. Gadis, aku benar-benar sayang kamu….
***
Saat
ini….
Aku
bangun dari bangku karena sudah tiba di terminal tujuan. Saat melangkah keluar
dari busway, tasku tersangkut tas
perempuan di sebelahku. “Sori, ya, nanti di depan gue benerin.” kataku tanpa
melihat perempuan di sebelahku dan menariknya ke tempat yang lengang. Aku
mencopotkan gantungan kunci yang terkait pada retsleting tas perempuan itu.
“Sori…eh? Gadis?”
Gadis mendongakkan kepala menghadapku. “Kak Tora…?”
Aku mengangguk. “Kebetulan banget ya, bertemu di sini. Mau
ke museum juga? Atau mau ke mana?”
“Ke museum. Lagi ngerjain tugas akhir….”
“Oh, kalau begitu bareng saja, yuk. Aku juga mau ke sana.”
Gadis mengangguk.
Aku memerhatikan Gadis lekat-lekat. Sekarang dia tambah
manis, tapi justru terlihat imut dan kekanakan dengan poni dan rambutnya yang
panjang dan bergelombang melewati bahu. aku segera memalingkan wajah saat Gadis
menoleh padaku.
“Kak Tora mau apa ke museum?”
“Oh, cuma mau lihat-lihat saja, kok. Daripada bengong di
rumah….”
Gadis tersenyum geli.
“Kok malah ngetawain, sih?”
“Lucu saja, masa anak cowok yang jenuh di rumah perginya
ke museum, apalagi anak cowok yang tampangnya sedikit bad boy kayak Kak Tora….”
“Wah, pelecehan namanya….” kataku pura-pura tersinggung.
“Iya deh maaf, bukan maksud hati, kok….” Gadis tetap
tersenyum.
Hari ini aku benar-benar bersenang-senang dengan Gadis.
Dan kelihatannya dia malah lebih enjoy
daripada aku….Mungkin kebetulan ini merupakan keberuntungan buat gue, ya?
***
“Apa?
Elo mau nembak Gadis lagi?” tanya Anton yang benar-benar terkejut dengan
pernyataanku. “Gue yakin, dia pasti bakal nolak lo, Man!”
“Memangnya atas dasar apa kau bilang begitu?”
“Secara, lo sudah pernah nyakitin hati dia, elo yang minta
dia jadi cewek lo, dan elo juga yang mutusin dia…eh sekarang elo malah mau
nembak dia lagi? Apa kesannya gak kayak lagi mainin?”
“Wah, melankolis banget, sih, terlalu dramatis, nih….”
kataku berusaha mengelak. Iya, sih, kalau
dipikir-pikir gue memang sudah menyakiti hati Gadis…tapi apa salah aku
memutuskan hubunganku dengannya karena alasan yang kupikir masuk akal?
“Kak Tora….” tegur Ayu sedikit manja. “Cie, minggu kemarin
ketemu sama Gadis, ya?”
“Tahu darimana, Yu?”
“Gadis yang cerita. Uh, CLBK, dong Kak!” goda Ayu sambil
menyenggol bahuku.
Bukan CLBK, tapi gue
memang selalu memendam perasaan gue buat Gadis! ujarku dalam hati. “Yu,
Gadis sudah punya cowok, belum?”
“Yang naksir sih banyak, tapi tahu deh, ditolakin melulu
tuh! Kemarin saja, KM kelas Ayu yang nembak dia ditolak! Kalau dia nembak Ayu,
pasti Ayu terima!”
“Itu sih karena elo naksir!” ejek Anton pada adiknya.
“Yee, sirik! Makanya cepet cari cewek, dong!” balas Ayu
sambil berteriak. “Oiya, Kak, kayaknya sih Gadis masih suka sama Kakak….” bisik
Ayu serius.
“Sok tahu kamu….”
“Yah, dibilangin…soalnya selama hampir tiga tahun di SMA
ini kayaknya Gadis gak pernah curhatin cowok yang serius gitu ke Ayu, palingan
kalau kagum-kaguman sama cowok sih pernah…tapi yang serius, Ayu belum pernah
dengar.”
“Ah, yang benar, Yu?”
“Suer! Memangnya kenapa, Kak?”
“Ng…kalau misalnya Kak Tora nembak Gadis lagi, gimana?”
“Serius? Wah, Ayu sih dukung banget! Secara, kalian berdua
tuh cocok banget! Tapi…kalau menurut Ayu, kayaknya mesti spesial banget, deh,
soalnya ini bukan yang pertama, dan dulu Kak Tora kan pernah nyakitin Gadis….”
“Tuh kan, apa kata gue! Elo sudah nyakitin dia!” sembur
Anton yang baru balik dari dapur.
“Iya, gue tahu…so apa elo berdua bisa bantuin gue?” tanya
Tora saat terlintas ide cemerlang di benaknya.
***
“Ngapain
sih kita ke sini?” tanya Gadis sedikit riskan saat diajak ke rumah Tora.
“Ayo, dong Dis, bentar doang kok…ini kan masih jam delapan.
Apa salahnya sih masuk sebentar?” bujuk Ayu saat tiba di depan rumah Tora.
“Tapi tadi lo bilangnya mau ke rumah lo, ko malah ke rumah
Kak Tora?” protes Gadis kesal.
“Iya, deh sori. Tapi please,
kali ini saja elo mau dengerin gue, masuk yuk….”
Gadis diam sejenak. “Nggak mau ah, elo saja yang masuk
sendiri, gue tunggu di mobil saja.”
“Please, ayo
dong Dis…masa elo tega sama gue? Padahal minggu kemarin elo cerita sama gue
kalau elo seneng banget ketemu sama Kak Tora….”
“Tapi kan bukan berarti gue sudah memaafkannya.”
“Iya gue ngerti, tapi please,elo
mau turun, ya….”
Gadis memandang sahabatnya lama. “Oke, gue turun…tapi ini
bukan buat Tora, tapi buat lo….”
Ayu tersenyum lega. Yang penting elo turun! pikir Ayu
sambil turun dari mobil.
Saat pagar rumah terbuka, Gadis benar-benar terkejut.
Garasi mobil berukuran 7 x 6 meter itu diubah menjadi padang mawar yang sangat
indah. Dan di tengah padang mawar tersebut tertulis lengkap namanya, Rosalie
Gadis Olita yang berarti seorang Gadis yang seharum mawar.
Ayu mendorong Gadis untuk melangkah ke jalan setapak yang
sudah disiapkan. “Apa-apaan, sih, Yu?”
“Sudah, lo masuk saja. Buru….” kata Ayu terus mendesak
Gadis.
Gadis menarik napas mengatasi debaran jantungnya. Ia mulai
melangkah melewati garasi dan masuk ke halaman rumah Tora yang jugasudah dihias
semanis mungkin. Di tengah halaman rumahnya telah disiapkan meja dan dua buah
kursi serta makanan lengkap dengan lilinnya. Di setiap sudut halaman terlihat
mawar dengan berbagai warna, tetapi mawar itu bukan mawar batangan, melainkan
mawar hidup. Di hadapan semua keindahan itu, pandangannya tetap terpaku pada
satu sudut dekat ayunan, Tora….
“Maaf, kalau mungkin ini gak indah di mata kamu, tapi aku
sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuatmu suka….”
“Tapi untuk apa?”
“Malam ini, aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku masih
sayang kamu, aku ingin kita berdua mulai
semuanya dari awal lagi….”
“Aku hargain semua ini, tapi tidak segampang itu untuk
menerima kamu lagi….” kata Gadis sambil memijat dahinya kesal. “Kamu sudah menyakitiku,
dulu kamu bilang kalau kamu nggak akan pernah menyesal jadi cowok aku, tapi
kamu tetap meninggalkan aku….Apa semuanya akan kauulangi lagi?” sindir Gadis.
Tora berjalan perlahan mendekati Gadis. “Dulu kamu masih
kecil, Dis, aku gak bisa…aku takut aku gak bisa menjagamu seperti janji aku….”
“Tapi itu menurutmu, jangan mentang-mentang dulu aku masih
SMP, jadi kamu menganggapku masih kecil. Lalu kamu pikir aku nggak bisa
terluka, kamu salah besar….”
“Iya, aku tahu aku salah…sekarang aku ingin memperbaiki
semua. Jadi please, kasih aku
kesempatan.” Aku memohon sambil meraih tangan Gadis.
Gadis menepisnya. “Kesempatan untuk menyakitiku lagi?”
Aku berlutut di hadapan Gadis, menepis semua perasaan dan
harga diriku. “Aku mohon, Dis, aku benar-benar ingin mengulanginya dari awal….”
Gadis melangkah mundur. “Bangun….”
“Tapi Dis….”
“Bangun….”
Aku menghela napas dan berdiri. “Tapi paling nggak, kamu dinner dulu, ya. Sayang kan makanannya
kalau gak dimakan….” pintaku belum menyerah.
Gadis menatapku lama. “Ya sudah….”
Tiga puluh menit berlalu tanpa sepatahkata pun. Aku
benar-benar tidak menikmati makan malam ini jika hanya menjadi makan malam
terakhir. “Dis, sekali lagi aku ingin
bertanya, mau gak kamu menjadi cewek aku lagi?”
Gadis meneguk sirupnya. Ia hanya tersenyum dan tidak
menjawab. “Berapa lama kamu menghabiskan waktu untuk mendekor semua ini?”
Aku menunduk pasrah. Ya sudahlah….”Dua sampai tiga hari.”
“Maaf ya, jadi buang waktu kamu sia-sia….”
Aku berusaha tersenyum. “Gak sia-sia kok…karena kamu sudah
mau datang saja, cukup buat aku.”
“Yang benar? Padahal aku berniat menerima kamu, lho….”
“Iya…apa?”
Gadis tersenyum. “Aku mau memulai semuanya dari awal lagi
sama kamu….”
“Serius?”
“Atau kamu mau aku berubah pikiran?”
Aku menggeleng dan segera mendekat pada Gadis lalu
mengajaknya berdiri.
“Sifat to the point
kamu nggak pernah berubah, ya…selalu saja mengungkapkan apa yang ada di otak
kamu tanpa permisi, selalu seenaknya saja….”
Aku tertunduk menatap gadis di hadapanku. Gadis yang
benar-benar menawan….
“Kenapa kamu berubah pikiran?”
“Aku nggak berubah pikiran, kok. Aku memang masih sayang kamu….”
“Terus, yang awal tadi kamu ngomong panjang lebar itu
apa?”
“Itu hanya unek-unekku saja, habis….”
Aku mengecup bibir Gadis agak lama. “Inilah sebabnya
kenapa aku mutusin kamu, aku gak mau kalau aku merusak kepolosan kamu…nanti aku
malah dibilang kena kasus pelecehan di bawah umur, lagi….”
Gadis hanya terpaku atas perlakuanku.
“Kok bengong, sih?”
“Ini yang pertama untuk aku! Gimana, sih, padahal aku
sudah menyiapkan ciuman pertamaku ini untuk suamiku!” protes Gadis sambil
memukul dadaku. “Dasar bodoh, bego!”
Gadis hendak menjauh, tapi aku menahannya. “Apa lagi?”
Aku mengambil kotak kecil dari saku jeansku dan menarik
lengan Gadis. “Setalah lulus nanti, akulah suamimu….” Kataku sambil memasangkan
cincin emas putih di jari manis Gadis. “Karena untuk selamanya, kamulah
Gadisku….”
THE END
Annisa Haryono
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar