BIARKAN AKU MENCINTAIMU
Saat
pertama kali berbicara dengan Randika, ucapannya begitu sombong, terkesan
meremehkan orang lain. Memang wajahnya sangat tampan, berkulit putih, dan
tinggi atletis. Rambutnya yang lurus dan hitam berstyle korea sangat keren di mataku. Tapi bukan itu yang membuatku
tertarik padanya. Oke, aku tidak munafik, aku memang suka wajahnya yang tampan.
Tapi aku lebih suka pada sikapnya yang sedikit angkuh, penuh percaya diri,
jujur, setia kawan, dan berpengetahuan luas.
Entah kenapa, baru kali ini aku sangat nyambung dan nyaman
berbicara dengan cowok. Rasanya aku ingin terus mengobrol dengannya, soal apa
saja. Mulai dari obrolan yang sangat tidak penting, sampai obrolan yang sedikit
penting. Rasanya waktu di kampus untuk mengobrol dengannya sangat sedikit. Aku
ingin bertemu setiap saat, ingin mengobrol setiap saat.
Saat aku mengirim sms padanya untuk pertama kalinya,
jantungku berdebar tidak karuan. Apalagi saat ia membalas smsku, jantungku
sepertinya hampir melompat keluar. Meskipun ucapannya pedas, tapi ia sering
menasihatiku tentang banyak hal. Seperti misalnya, “Kau tahu, semua lelaki itu
pembohong besar. Banyak rayuan dan tipu muslihat. Sebaik-baiknya lelaki, pasti
punya tipu muslihat. Mulut manis tapi hati berkata lain. Ya seperti aku aku
ini.”
“Yah, aku tahu.” ujarku malas-malasan.
“Aku serius. Yah, lelaki yang benar-benar baik memang ada,
tapi sangaaaat jarang. Seperti temanku, Key.”
Aku tertawa menanggapi. Menurut Randika, Key yang baik, pendiam,
dan pemalu menyukaiku. Tapi aku tidak suka padanya. Tentu saja, saat ini kan
aku sedang tertarik pada Randika!
“Benar, Key itu baik. Kenapa kau tidak mencoba dengannya?”
“Sudahlah, jangan bercanda terus.”
“Coba saja tanya padanya. Atau kau dekati dia lalu
kaulihat apa reaksinya.”
Aku menatapnya dengan senyum. “Aku tidak suka padanya.”
Randika mengangkat bahu.
Aku bersaing secara sportif dengan Hana, temanku, untuk
memperebutkan Randika. Lucu sekali….
“Hai, lagi pada ngapain, nih?” Seorang perempuan datang
mendekat dengan gayanya yang tomboy dan menyenangkan, Deswita. Aku, Hana, dan
Deswita berteman dan ia tahu bahwa aku dan Hana menyukai Randika. Ia sangat
dekat dengan Randika. Deswita menyayangi dan memanjakan Randika seperti adiknya
sendiri, meskipun ia sudah mempunyai pacar, Farhan namanya. Tapi terkadang aku
melihat Deswita lebih senang bersama Randika dibanding dengan pacarnya sendiri.
Tapi tentu saja itu hanya pikiranku sendiri, karena tidak ada yang tahu isi
hati orang.
Aku dan Hana sangat penasaran dengan isi hati Randika
terhadap Deswita.
“Aku hanya menganggapnya kakak.”
“Bohong, ah.” Aku menatap matanya yang cokelat, mencari
kebenaran.
“Kalian ini, kenapa selalu menanyakan hal itu
terus-menerus, sih?” Randika tertawa. “Aku jadi tidak nafsu makan nih.”
“Maaf….”
Randika tertawa. “Aku hanya bercanda, kok.” Lalu ia
meneruskan makan nasi gorengnya di kantin yang ramai.
Saat ulang tahun Randika, kami bertiga; Deswita, aku, dan
Hana merencanakan ulang tahunnya diam-diam. Membuat pesta kejutan kecil-kecilan
dengan kue dan kado. Sebenarnya ini rencana Deswita. Aku dan Hana hanya
memberinya kado sedangkan Deswita memberi kado sekaligus kue ulang tahun. Aku sedikit
iri, tapi aku mencoba menelan rasa iriku itu. Randika sangat terkejut dan
terharu. Apalagi saat Deswita memberinya kado. Aku menatap wajah Randika yang
berseri-seri saat menatap Deswita.
Bebarapa minggu
kemudian aku mendengar kabar bahwa Deswita putus dengan Farhan, membuat hatiku
was-was. Aku selalu melihat Randika menenangkan hati Deswita yang sedih. Banyak
cewek yang mencemooh Deswita, mengatakan bahwa Deswita putus dari Farhan karena
Randika. Tapi aku tidak memercayainya, karena aku tahu sifat Deswita. Ia
mungkin sedikit suka pada Randika, tapi itu bukan cinta. Aku tahu Deswita
memang akrab dengan banyak lelaki karena itu aku tahu Deswita tidak menganggap
Randika lebih daripada adik.
“Munafik, Deswita itu cintanya pada Randika, bukan
Farhan.” ujar Tasya, sahabat Farhan.
“Tidak begitu. Deswita hanya menganggap Randika adik.”
“Kau temannya, jelas kau membelanya!”
“Kau juga teman Farhan, jelas kau membelanya. Mungkin ada
alasan lain kenapa mereka putus.” Aku menatap kesal pada Tasya.
Aku kembali bertanya tentang isi hati Randika. Dan ia
tetap menjawab, “Hanya kakak.”
“Sungguh?”
Ia mengangguk.
“Ada cewek yang kausuka?”
“Tidak ada.”
Aku tersenyum senang mendengarnya. Tapi entah kenapa aku
begitu polos entah bodoh percaya saja pada ucapannya. Karena dua minggu
kemudian (aku baru saja datang dari kampung halaman─menghabiskan liburan) aku mendengar kabar
dari Hana bahwa Randika dan Deswita
jadian. Aku sangat shock mendengarnya. “Kau bohong, kan, Na?”
“Aku tidak bohong. Aku tahu hatimu sangat sakit saat ini.
Tapi kau harus tenang. Deswita tidak bilang padamu karena ia menunggu saat yang
tepat untuk mengatakannya padamu. Ia tidak ingin gara-gara ini kau
memusuhinya.”
“Kau sendiri bagaimana? Bukankah kau sangat menyukai
Randika?”
“Aku menyukai Randika yang menyukai Deswita.” ujarnya
tenang.
“Apa maksudmu?” Airmataku sudah tak terbendung lagi. Mata
juga hatiku terasa panas.
Deswita memegang bahuku dengan sabar. “Aku sudah punya
feeling dari dulu bahwa Randika menyukai Deswita. Tapi aku diam saja, aku tidak
ingin membuatmu putus harapan. Dengar, Tiwi, kau jangan mengungkit apa pun pada
Deswita sampai ia sendiri bicara padamu.”
Aku menggigit bibirku, aku terisak saat berkata, “aku
tidak mau percaya ini, Na!” Aku menangis di bahu Hana, lalu ia menepuk-tepuk
bahuku.
***
“Kau
pengkhianat.” Aku menatap benci pada Deswita.
“Maaf…tapi aku tidak mengkhianati siapa-siapa.” Deswita
menatapku.
“Kaubilang kau tidak menyukainya! Kaubilang kau hanya
menganggapnya adik! Dan kau sangat tahu perasaanku padanya!”
“Tiwi….” Deswita tetap menatapku. “Aku sudah berulang kali
menolak pernyataan cintanya, karena aku hanya menganggapnya adik, percayalah.”
“Lalu kenapa
akhirnya kau terima cintanya?”
“Ia bilang ingin diberi kesempatan untuk masa percobaan….”
Deswita menatapku dengan bola matanya yang hitam dan meneduhkan. “Setelah aku
putus dengan Farhan, ia terus menghiburku. Lalu ia bilang padaku bahwa ia
menyukaiku sejak pertama kali bertemu, namun mulai jatuh cinta padaku saat aku
memberinya kue ultah dan kado. Ia terharu dan salah paham akan perhatianku
itu….” Deswita tersenyum. “Aku ingin mencoba mencintainya, Tiwi.”
Aku menarik napas, mencoba menahan airmataku yang hampir
tumpah. “Baiklah, aku mengerti.” Lalu aku langsung pergi meninggalkan Deswita
yang duduk termangu di bangku taman kampus.
Malamnya aku melihat Deswita dan Randika berduaan di taman
kampus. Hatiku terasa sakit melihatnya. Dengan menahan airmata kuucapkan
selamat pada mereka berdua. Lalu aku permisi ke kantin. Airmataku kembali
menetes untuk kesekian kalinya.
“Tegar, dong, Tiwi.”
“Aku nggak bisa secepat itu tegar, Na. Aku ingin pulang
kampung lagi, menenangkan diri.”
“Pengecut.”
“Apa kaubilang?”
“Jangan lari dari masalah! Kau harus hadapi kenyataan,
kalau kau kalah bersaing dengan Deswita. Lagipula…masih banyak cowok yang jauh
lebih baik dari Randika.”
Aku menatap Hana dengan pandanganku yang buram karena
airmata. Aku melihatnya berdiri tenang, mencoba mencari tahu isi hatinya.
Mungkin ia lebih sakit hati dariku? Bagaimana ia bisa bersikap tenang begitu?
Bagaimana cara Hana menyembunyikan isi hatinya yang galau? “Butuh waktu untuk
memulihkan rasa sakit hatiku….”
Malam itu aku tidak bisa tidur. Lalu keesokannya aku
menemui Deswita. “Kalian memang pacaran, tapi izinkan aku untuk menyukai
Randika.”
“Tiwi, jangan begitu….”
“Aku takkan mengganggu. Jadi biarkan aku mencintainya.
Sampai aku menemukan cinta yang lain.”
“Baiklah, terserah kau saja.” ucap Deswita akhirnya,
dengan sedikit rasa cemburu.
Aku tersenyum. Lalu aku permisi ke kantin untuk membeli es
teh manis, sekedar menghilangkan kegugupanku. Di sana aku bertemu Randika yang
sedang makan siang.
“Kau belum pedekate juga pada Key?”
“Ah…aku malas untuk berpacaran….” dalihku.
“Sekarang ini ada lelaki yang sedang menyukaimu dan
mengharapkanmu. Kenapa tidak menyambutnya? Nanti giliran kau mulai menyukai
Key, Key malah berpaling pada cewek lain dan meninggalkanmu.”
“Sadis sekali kata-katamu.” Aku agak takut juga mendengar
nasihatnya.
Randika tertawa. “Percayalah padaku.”
“Aku tidak ingin terburu-buru…biar waktu yang menjawab,
Dika.”
Randika mengangkat bahu lalu melanjutkan makannya. Aku
tersenyum memerhatikan Randika yang makan. “Apa, lihat-lihat? Sana pergi,
ganggu orang makan saja.” Randika pura-pura mengusirku. Aku tertawa lalu aku
pergi meninggalkannya menuju kelas untuk kuliah.
Tidak apa-apa kan jika aku mencintai Randika? Mungkin aku
bodoh, tapi saat ini aku masih ingin mencintainya, masih ingin mengobrol dan
bercanda dengannya, menikmati ucapannya yang pedas serta nasihat-nasihatnya
yang meyakinkanku….
TAMAT
CODET
Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar