Sabtu, 17 Agustus 2013

GABY



GABY
“Gaby, aku suka kamu!”
                “Tapi aku tidak, Tondi! Lepaskan aku!” Gaby yang mungil, berkulit eksotis, dan berwajah manis, menatap Tondi dengan kesal. Ia berusaha untuk melepaskan pegangan tangan Tondi namun tidak bisa.
                “Tapi kenapa, Gaby? Kita sudah lama akrab, sejak TK. Kukira kau juga menyukaiku.”
                Gaby mengerutkan kening. Percaya diri yang luar biasa sekali! pikir Gaby. “Tondi, dengar ya, selama ini aku hanya menganggapmu sebagai teman, tidak lebih. Aku sudah punya seseorang yang kusukai, dan itu jelas bukan kau.” Kali ini dengan mudah Gaby dapat melepaskan tangannya dari cekalan Tondi. Lalu ia segera meninggalkan Tondi menuju gerbang sekolah, menyetop angkutan umum, lalu menaikinya.
                Siapa yang sudi menerima cinta si playboy?
***
Entah sejak kapan Gaby mulai menyukai Pasha, temannya sejak TKyang juga teman Tondi. Mungkin ia mulai menyukai Pasha sejak dua tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di kelas 1 SMA. Gaby menyukai Pasha yang tampan, tinggi, putih, cerdas, namun cuek. Gaby tahu Pasha sampai saat ini belum pernah sekali pun memikirkan cinta. Di pikirannya hanya ada pelajaran dan futsal. Namun entah kenapa, Gaby menyukai Pasha yang seperti itu. Gaby ingin memiliki Pasha, ingin menjadi gadis yang dicintai Pasha suatu saat nanti jika Pasha mulai memikirkan cinta.
                “Gabyyyyyy!”
                “Enyah, kau, Tondi!” Gaby menatap cowok tinggi yang super tampan, bermata sipit, berkulit putih, dan berambut agak gondrong di depannya dengan kesal. Kenapa sih, si playboy ini masih saja mengikutiku? Padahal kemarin sudah kutolak! pikir Gaby kesal.
                “Kau ini kenapa, sih? Jahat sekali, sih… memangnya aku tidak boleh berada dekat denganmu? Kita kan teman.” Tondi tersenyum lebar, menampakkan lesung pipinya yang membuatnya semakin tampan. Kalau cewek lain pasti akan berdebar senang atau pingsan melihat senyumannya itu, tapi aku tidak!
                “Kemarin menyatakan cinta dan sekarang berubah menjadi teman lagi? Dasar playboy.” Aku mengangkat alis kiriku yang melengkung indah, gen yang diturunkan dari ayahku.
                Senyum Tondi semakin lebar. “Aku rela selamanya hanya menjadi teman baikmu jika itu bisa membuatku bisa terus berada di sisimu…”
                Gaby memutar bola matanya bosan. “Terserah. Aku sedang belajar, jangan ganggu aku.” Gaby mulai melanjutkan membaca buku Biologinya. Sementara Tondi duduk tenang di sampingnya sambil memperhatikan Gaby yang sedang belajar.
***
“Aku bisa membantumu untuk mendapatkan Pasha.”
                Gaby berhenti menyapu, ia mengerjapkan matanya menatap Tondi. Wajahnya merona merah. Ia menatap galak pada Tondi saat berkata, “Bagaimana kautahu kalau aku…?”
                Tondi tersenyum. “Tentu saja aku tahu, karena selama ini aku kan selalu memperhatikanmu.”
                “Memangnya kau ada waktu untuk memperhatikanku? Selama aku mengenalmu, kau kan selalu dikelilingi cewek-cewek.”
                Mata Tondi menatap mata Gaby dengan lembut. “Banyak cewek yang mengeliliku, namun mata dan hatiku hanya tertuju padamu.”
                Dasar perayu ulung! Gaby tersenyum sinis. “Aku tidak memerlukan bantuanmu. Aku bisa sendiri untuk mendapatkan Pasha.”
                Mata Tondi tetap menatapnya dengan lembut. “Harus cara licik untuk mendapatkan Pasha.”
                “Apa maksudmu?”
                Tondi tersenyum penuh arti. Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan telunjuknya dan berkata, “Kau harus mencium bibirnya, maka ia akan luluh padamu.”
                Wajah Gaby terasa terbakar mendengar ucapan Tondi. “Sembarangan saja!” Gaby melemparkan sapu yang sedang dipegangnya ke arah Tondiyang langsung ditangkap cowok itulalu ia buru-buru mengambil tasnya dan pergi ke luar kelas. Ia bersyukur Tondi tidak mengejarnya. Mencium Pasha? Ada-ada saja!
***
Dengan jantung yang berdebar sangat kencang, Gaby berdiri di sebelah Pasha yang sedang mencari buku untuk dibacanya. Saat ini jam istirahat, dan biasanya Pasha bermain futsal di lapangan atau membaca buku di perpustakaan. Karena tadi Gaby tidak melihat Pasha di lapangan, jadi ia ke perpustakaan untuk mencari cowok itu.
                Pasha tersenyum padanya, “Hai, Gaby. Mencari buku apa?”
                Gaby menelan ludah, “Eh, aku… buku tentang astronomi.”
                “Oh… sepertinya aku tahu tempatnya, biar kucarikan…”
                Dengan jantung yang seolah memukul-pukul dadanya, Gaby menarik bagian depan seragam putih Pasha, berjinjit, lalu mencium bibir cowok itu selama dua detik. Lalu Gaby segera kabur meninggalkan Pasha yang berdiri terpaku di tempat.
                Gaby terus berlari menuju toilet. Lalu ia masuk ke bilik toilet yang kosong. Napasnya tersengal dan air mata telah membanjiri wajahnya. Dasar Gaby bodoh, tolol, idiot! Kenapa kau mau saja mengikuti ucapan bodoh Tondi si playboy, sih? Gaby menangisi kebodohannya sambil berjongkok di lantai.
***
"Jadi kau benar-benar melakukannya?”
                “Ya, dan aku menyesal telah melakukannya!” Gaby menunduk dengan wajah merah padam dan mata sembab sehabis menangis.
                Tondi tidak tertawa, ia malah tersenyum, lalu merangkul bahu Gaby dengan lembut. “Percaya padaku, Pasha akan luluh padamu.”
                Gaby tidak mau memercayai ucapan Tondi begitu saja, seperti sebelumnya. Untungnya Gaby tidak sekelas dengan Pasha, jadi ia tidak akan sering bertemu dengan cowok itu. Karena saat ini Gaby belum berani untuk menemui Pasha untuk meminta maaf soal ciuman itu.
                Seminggu kemudian Gaby sangat terkejut karena Pasha menghampirinya ke kelas saat jam istirahat. Cowok itu setengah menyeretnya ke perpustakaan. Setelah mereka tiba di perpustakaan yang lumayan sepi, yang dipenuhi oleh rak-rak buku yang berjajar rapi, Pasha melepaskan pegangannya pada tangan Gaby. Wajah putih cowok itu kini merah padam, entah karena marah, entah karena malu, atau keduanya.
                “Ak-aku minta maaf soal kemarin…” Gaby menunduk menatap lantai putih berukuran 40 x 40 di bawahnya. Ia meremas rok abu-abu selututnya. Wajahnya memerah karena malu.
                “Kenapa kau melakukannya?”
                “Aku… aku…” Air mata Gaby ingin menyerbu keluar. Lalu tiba-tiba saja Pasha mendorongnya ke dinding dan mencium bibirnya. Satu detik. Dua detik… Lima detik.
                Pasha melepaskan ciumannya. Namun tubuhnya masih menekan tubuh Gaby ke dinding. Napas keduanya tersengal. “Katakan, kenapa kau menciumku kemarin?”
                Wajah Gaby merona. Ia sangat terkejut karena ciuman Pasha. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Apakah Pasha sedang balas dendam padanya? “Aku… karena aku menyukaimu…” Gaby memejamkan matanya.
                “Kalau begitu, maukah kau menjadi pacarku?”
                Gaby membuka matanya dan menatap Pasha tak percaya. “Apa?”
                Pasha tersenyum. Ia memegang kedua tangan Gaby. Matanya yang cokelat terang menatapnya dengan lembut. “Selama seminggu ini aku tidak bisa melupakan ciumanmu. Aku tidak bisa berkonsentrasi saat belajar ataupun saat bermain futsal. Mungkin… sepertinya… aku jadi mencintaimu.”
                Apa? Jadi karena ciuman itu? Gaby menggeleng sedih. “Tidak, Pasha. Yang kaurasakan padaku bukan cinta… hanya karena ciuman, kau jadi mencintaiku… ini… ini aneh. Aku tidak mau.” Gaby mendorong Pasha pelan, lalu berjalan cepat meninggalkan Pasha di belakangnya.
                Ini konyol, hanya gara-gara aku menciumnya, Pasha jadi mencintaiku? Itu bukan cinta, tapi nafsu! pikir Gaby frustasi. Gaby menghapus air matanya yang ternyata telah mengalir di kedua belah pipinya.
                Sejak kejadian itu, Gaby terus menerus menghindari Pasha.
                “Kenapa sih kau malah menolak Pasha?”
                “Diam kau, Tondi! Ini semua gara-gara aku mengikuti ide bodohmu! Semua jadi berantakan! Dan aku adalah si bodoh yang mengikuti ide bodoh itu!”
                Tondi berdehem. Ia memegang bahu mungil Gaby yang berguncang karena gadis itu menangis. “Aku minta maaf, tapi menurutku Pasha itu benar-benar mencintaimu, bukan karena nafsu.”
                “Kau salah!” Gaby menepiskan tangan Tondi dari bahunya. “Sebentar lagi ujian, aku harus konsentrasi belajar.”
                Tondi mengangkat bahu.
***
Satu tahun kemudian…
Gaby tak menyangka ia akan bertemu kembali dengan Pasha, cinta pertamanya sekaligus cowok yang sampai saat ini masih memiliki tempat yang istimewa di hatinya. Ia memang mengetahui dari Tondi bahwa Pasha kuliah di Serang. Tapi ia tak menyangka ia akan bertemu lagi dengan cowok itu di pantai Anyer saat ia sedang mengadakan diklat dengan klub taekwondonya.
                Pasha yang saat ini mengenakan kemeja putih yang lengannya dilipat sampai siku, celana selutut, dan sandal jepit, tersenyum lembut dan ia tidak tampak terkejut saat ia melihat Gaby. “Kau semakin manis saja.”
                Wajah Gaby merona. “Te… terima kasih…”
                “Kau pasti heran kenapa aku tidak terkejut melihatmu di sini.”
                “Y-ya…”
                “Itu karena aku tahu dari Tondi bahwa kau ada di sini.”
                “Apa?”
                Pasha tersenyum. “Aku terus mencari informasi tentangmu dari Tondi. Dan aku sangat senang karena sampai saat ini kau masih jomblo… kenapa?”
                Wajah Gaby memerah. “Aku… tidak tahu…” ujarnya berbohong. Ia membiarkan saja angin meniup rambut lurus panjangnya sehingga menutupi wajahnya. Dan ia sangat terkejut karena tangan kuat Pasha menyibakkan rambutnya, merangkum wajahnya, lalu dengan cepat mencium bibirnya selama tiga detik. “Pa… Pasha?” Jantung Gaby berdebar dengan kencang dan pipinya terasa panas. Untunglah tidak banyak pengunjung yang datang sore ini. Ah, tapi bukan itu masalahnya kan! pikir Gaby kalut.
                “Selama ini aku merenungkan kata-katamu. Dan selama kuliah di Serang, aku mencoba untuk membuka diri untuk cinta dan berteman dengan para wanita. Tapi… apakah kau bisa menjelaskan padaku kenapa sampai saat ini aku juga masih jomblo?”
                Gaby menatap mata cokelat terang Pasha, mencari kebohongan di sana, namun ia tidak menemukannya. “Aku… aku tidak tahu…”
                “Dan apakah kau bisa menjelaskan padaku kenapa sampai saat ini aku tidak bisa melupakan rasa bibirmu?”
                Wajah Gaby semakin merah padam. Ia menggeleng pelan.
                Pasha kembali merangkum wajah Gaby dan menatap mata Gaby dengan tajam. “Kalau ciuman tadi belum bisa memberikan penjelasan mengenai perasaan yang kurasakan selama ini, aku akan menciummu lagi sampai kau dan aku mengetahui jawabannya…” Pasha menunduk dan mendekatkan wajahnya.
                Gaby mendorong dada Pasha. “Hentikan, dilihat orang!”
                Pasha tersenyum. “Sepi pengunjung, kok…”
                “Mu… mungkin kau memang mencintaiku! Mungkin yang kaurasakan padaku selama ini bukan nafsu, tapi cinta!” Gaby setengah berteriak sambil memejamkan matanya. Lalu ia merasakan lengan-lengan kuat mendekapnya erat.
                “Ya, tentu saja. Dan bukan mungkin, Honey, tapi pasti, sudah jelas.”  Pasha mendorongnya pelan lalu menatap matanya tajam sambil tersenyum. “Selama ini aku mencintaimu, Gaby my Honey… maukah kau menjalin hubungan yang serius denganku?”
                Jantung Gaby seolah akan meledak saat mata cokelat terang Pasha menatapnya tajam dan bibir merahnya mengucapkan kata-kata sakti itu. Air mata Gaby menyerbu keluar. “Ya, ya, Pasha, aku mau… aku… aku juga mencintai…” Ucapan Gaby kembali tertelan oleh ciuman Pasha. Kali ini Pasha menciumnya lebih lama, dan dalam. Mereka tidak memedulikan segelintir orang di sekitar mereka yang memperhatikan mereka dengan penuh minat.
***
Huh, padahal dulu aku menyarankan ide konyol itu pada Gaby agar Pasha membenci Gaby. Tapi kenapa malah membuat Pasha mencintai Gaby? Tondi menghela napas sambil memperhatikan Gaby dan Pasha yang sedang berciuman di tepi pantai sambil berpelukan dengan erat. Hmm… sebaiknya aku juga memakai ide konyol itu untuk memikat cewek yang suatu saat akan menjadi kekasihku, pikir Tondi sambil mengangkat bahu.
                Semoga kau bahagia, Gaby.
***END***
Bekasi, 15 Agustus 2013
CODÈT

Selasa, 30 Juli 2013

LUNA



LUNA
“Kau pasti Luna.”
                “Ya.” Luna tersenyum bisnis. “Dan kau pasti Lorcan.” Luna memperhatikan bahwa pria di hadapannya ini memiliki mata terindah yang pernah dilihatnya. Mata itu berwarna cokelat keemasan. Dan mata itu kini tengah menatapnya dengan tajam.
                “Sebenarnya, sebelum kita mulai… ada yang ingin kutanyakan. Apa nama aslimu Luna?”
                Luna sedikit mengerutkan keningnya. Ia tersenyum. “Tentu saja.”
                “Ah…” Mata pria itu menelusuri tubuh Luna yang mengenakan kemeja katun putih yang lengannya dilipat sampai ke siku. “Kurasa nama itu tidak pantas… mengingat profesimu.”
                Luna menatap marah pria di hadapannya ini. Ingat, Luna, pria ini kaya. Bayarannya mahal. Luna tetap memasang senyum bisnis. Ia meraih segelas jus jeruk di hadapannya dan menyiramkannya ke wajah Lorcan.
                Lorcan menjerit kaget. “Kurang ajar!”
                “Kau yang kurang ajar!” Luna bangkit dan hendak meninggalkan café, namun Lorcan mencekal lengannya. “Lepaskan, brengsek!”
                “Kau sudah membuatku rugi. Jus jeruk terbuang, dan kau sama sekali belum menyentuh makananmu, tetapi aku tetap harus membayar pada kasir,” desisnya tajam. “Aku tidak ingin waktuku terbuang hanya untuk mencari wanita lain. Kau harus ikut aku!”
                Luna berhenti meronta karena Lorcan sangat kuat memeluk pinggangnya walaupun hanya dengan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain memberikan dua lembar seratus ribuan pada kasir.
Dengan kasar Lorcan mendorong Luna masuk ke Panther-nya. Lalu ia mengitari mobil dan duduk di belakang kemudi.
                “Kau pria kaya pelit.”
                Lorcan meliriknya sebelum menjalankan mobil. “Sebenarnya bukan masalah uang jus jeruk dan lasagna yang kaupesan. Aku telah membayar mahal pada temanku yang merekomendasikanmu. Ternyata kau wanita yang tidak punya etika.”
                “Kau yang tidak punya etika.” Luna menahan amarahnya.
                “Aku hanya mengemukakan pendapatku. Lagipula… pembeli adalah raja, bukan?” Lorcan tersenyum dingin.
                “Lalu, apa maumu?”
                “Sebentar.” Lorcan menghubungi sebuah nomor handphone. “Halo, Gust! Di mana kau?” tanyanya marah. “Aku tidak menginginkan Luna! Aku meminta uangku kembali, atau kau harus mencarikanku wanita lain!”
                Luna terkejut saat Lorcan melempar handphone-nya keluar jendela ke jalanan. “Agust menghubungiku dan ia bilang padaku bahwa ada temannya yang membutuhkan jasaku. Tapi aku tidak benar-benar mengenal Agust. Kami hanya berkencan dua kali, dan itu pun sudah seminggu yang lalu.”
                “Sialan! Katanya kau hebat di tempat tidur! Tapi ia tidak bilang bahwa kau sama sekali tidak punya etika!”
                “Kau yang cari gara-gara! Seandainya kau bersikap lebih baik, pasti segalanya akan berjalan lancar.” Luna menatap marah pada Lorcan yang sedang mengemudi. “Kalau dilihat, tampangmu itu lumayan tampan.”
                “Bukan lumayan tampan, tapi sangat tampan.”
                Luna nyengir. “Ngomong-ngomong… kau pria haus seks, ya?”
                Meskipun sedikit terkejut, pandangan Lorcan tetap fokus pada jalanan di depannya. “Aku sedang stres. Pacarku yang sangat kupuja… selingkuh.”
                “Ya, ampun, kasihan sekali…”
                Lorcan tahu Luna sedang menyindirnya. Tapi entah kenapa, ia ingin mencurahkan isi hatinya pada seseorang. Dan kini di dekatnya hanya ada seorang pelacur. “Aku benar-benar sakit hati.”
                “Aku bersedia menghiburmu, sepertinya kau sangat menderita.”
                Lorcan menghentikan Panther-nya di tepi jalan. Ia menoleh pada Luna dan menatapnya. “Benar, aku sangat menderita. Brengsek!” Lorcan meninju stir mobil. “Padahal aku memercayai mereka, tapi…”
                “Mereka? Apakah pria yang menjadi selingkuhan itu… sahabatmu?”
                Lorcan menggeleng muram. “Kakakku.”
                Luna sangat terkejut mendengar jawaban Lorcan. Spontan tangannya terulur untuk mengelus rambut Lorcan yang lembut dan bergelombang, serta sangat hitam.
                Lorcan meraih tangan Luna. Matanya yang cokelat keemasan menatap Luna tajam dan entah kenapa, membuat jantung Luna tiba-tiba berdebar dengan sangat kencang. Bibir pria itu yang berlekuk sensual mendarat kasar di bibir Luna. “Ayo ke hotel.”
                Dengan kasar Luna mendorong Lorcan, membuat keduanya sama-sama terkejut. “Eh, aku… aku tidak mau…”
                “Apa maksudmu?” Lorcan menautkan alisnya yang hitam tebal sehingga menyatu di tengah. “Bukankah tadi kaubilang bahwa kau bersedia untuk menghiburku?”
                “I… iya…. ” Luna mundur ke pintu mobil. “Tapi aku berubah pikiran. Aku… akan mencarikan temanku untukmu.”
                “Aku tidak punya waktu. Aku menginginkan… wanita… sekarang.” Lorcan menarik tangan Luna.
                Luna berusaha bertahan. “Tidak, kumohon!” Mata Luna berkaca-kaca. Wajahnya terasa panas dan jantungnya berdegup dengan kencang. Kepalanya terasa pusing dan dadanya terasa sesak. Luna bingung dengan apa yang sedang terjadi padanya. “Aku mau turun di sini!”
                “Ada apa denganmu?”
                Luna menggigit bibirnya. “Kumohon, biarkan aku turun!”
                “Tenanglah…” Lorcan tetap memegang tangan Luna. “Bukankah kau sudah terbiasa melakukannya?”
                Luna berusaha untuk bernapas dengan tenang. Suaranya bergetar saat berkata, “Aku tidak tahu… saat ini aku merasa pusing. Aku… aku tidak enak badan.”
                “Kau… sedang hamil? Mau ke dokter?”
                “Aku tidak mau ke dokter! Dan aku tidak hamil. Aku… selalu minum pil.”
                “Baiklah…” Lorcan melepaskannya. “Telepon temanmu, tapi yang bagus dan… beretika.”
***
Luna memandangi pantulan dirinya di cermin kamarnya.
                “Luna, hari ini kau dapat berapa?”
                Luna berbalik. “Hari ini aku tidak dapat.”
                “Bodoh!” Prido menjambak rambutnya. “Kalau kau jarang mendapat pemasukan, aku tidak bisa membayar uang kuliahku!”
                “Lepaskan, aku sudah muak, Prido! Seharusnya kau yang bekerja, bukan aku!”
                “Gara-gara menikah denganmu, aku jadi menderita!”
                “Jika kau tidak membuatku hamil, kau tidak perlu menikahiku!”
                “Aku? Bukankah kau juga menginginkannya? Kau sangat menikmati pelukanku!”
                Luna menggigit bibirnya menahan tangis.
                “Sekarang, pergi cari uang! Kalau kau belum mendapatkannya, jangan pulang!”
                Luna mengambil tasnya dan bergegas pergi. Ia berjalan menyusuri gang sempit dan becek menuju tempat pemberhentian bus. Lalu ia melihat Agust.
                “Hai. Di mana Lorcan? Handphone-nya tidak aktif. Saat tadi ia menghubungiku, aku sedang rapat, jadi aku tidak bisa berbicara terlalu lama dengannya.”
                “Dia… bersama temanku.”
                “Oh, begitu. Eh, kau menangis? Apa Lorcan berlaku kasar padamu?” tanya Agust khawatir.
                “Tidak.”
                “Mau menemaniku?”
                Luna memandangi trotoar di bawahnya. “Baiklah.”
***
Air mata Luna menetes dan mengalir ke pipinya yang lembut. Ia bangkit dan meraih jubah tidurnya. Ia berjalan ke balkon. Langit di atasnya hitam kelam tanpa bintang, namun ada sepotong bulan menemani. Luna memandangi jalanan di bawahnya. Saat ini ia berada di lantai 6 sebuah hotel termahal di kotanya.
                “Luna?”
              Luna menoleh. Ia terkejut mendapati Lorcan di balkon di sebelah kamar hotel yang sedang ditempatinya. “Lorcan…” Jantungnya langsung berdegup dengan kencang.
                “Kau benar-benar tidak tahu etika!”
                “Ap-apa?” Luna melangkah mundur.
                Lorcan melompat ke balkon Luna. “Kau ini kenapa? Kau melakukannya dengan pria lain, tetapi kenapa kau tidak mau melakukannya denganku?”
                “Aku…”
                “Kita sepertinya berjodoh.”
                “Lepaskan!” Luna tidak berani menatap mata Lorcan.
                “Luna, ada apa?”
                “Agust!” Lorcan terkejut melihat Agust. “Aku tidak peduli kau sudah melakukannya atau belum dengan Luna, aku menginginkan Luna sekarang!” Lorcan menarik Luna masuk ke dalam kamar.
                “Hei, sebentar, Sob, kenapa kau ada di kamarku?”
                “Apa pedulimu?” Lorcan menarikhampir menyeretLuna ke arah pintu kamar.
                “Aku belum membayar Luna!”
                “Aku yang akan membayarnya!” Lorcan membanting pintu kamar tepat di depan hidung Agust. Lalu ia menarik Luna ke kamar hotelnya. Setelah mereka berada di dalam kamar, pria itu mengunci pintu kamarnya. Ia mengurung Luna ke pintu kamar hotel. “Aku tidak mengerti…”
                “Di mana temanku?”
                “Sudah pulang.”
                “Setelah bercinta dengan temanku, apa kau masih haus seks?”
                “Ya. Padamu!”
                Wajah Luna terasa panas. Ia berharap dalam kamar yang temaram ini Lorcan tidak dapat melihat wajahnyayang pasti memerahdengan jelas.
                “Jelaskan padaku! Kenapa kau tidak mau tidur denganku?”
                “Tidak…” Jantung Luna berdegup dengan kencang di bawah tatapan tajam Lorcan.
                “Kau… jatuh cinta padaku?”
                “Itu tidak mungkin!” Luna berteriak. Lalu ia menggigit bibirnya.
                “Aku… tidak bisa melakukannya dengan temanmu.” Napas Lorcan yang beraroma mint menerpa wajah Luna.
                “Kenapa?”
                Tangan Lorcan yang besar dan kuat mengelus pipi lembut Luna. Ia tersenyum lembut menatap Luna. “Kami hampir melakukannya, tapi tiba-tiba saja aku mengingatmu. Aku sendiri tidak mengerti…” Lorcan menjauh. “Sejak kita berpisah sore tadi… aku…”
                “Tidak usah merayuku…”
                “Aku tidak sedang merayumu.” Suara Lorcan terdengar sangat lembut di telinga Luna. “Maukah kau meninggalkan pekerjaanmu dan… menikah denganku?”
              Luna membelalak terkejut. Ia mencoba melihat mata Lorcan, apakah pria ini sedang bercanda atau serius. “Kenapa?”
                “Aku juga tidak tahu… tapi aku tidak bercanda. Aku sungguh-sungguh, Luna.”
                “Aku kotor…”
                “Aku tidak peduli, Luna. Aku ingin kau menjadi istriku, ibu dari anak-anak kita nanti. Tadinya aku bermaksud untuk mencarimu, tapi kebetulan kita bertemu di sini.”
                “Aku tidak bisa.” Luna merasa sesak. “Aku tidak bisa, Lorcan. Aku sudah menikah…”
                “Aku tidak peduli!” Lorcan tertegun. Ia menatap Luna bingung. “Kau sudah menikah?”
                “Ya, karena itu…”
                “Apa maksudmu? Kau sudah menikah, tapi melacurkan diri? Apakah suamimu mengetahuinya?”
                Luna menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
                “Luna…”
                “Biarkan aku pergi, Lorcan.”
                “Tidak, sebelum aku puas denganmu!” Dengan kasar Lorcan menyentakkan jubah Luna sehingga menampakkan tubuh telanjangnya.
***
“Uangnya banyak sekali, Luna!” Prido tertawa senang.
                “Ya, dan aku mau kita bercerai, Prido!”
                “Cerai? Kau sudah menghancurkan hidupku lalu kau mau pergi begitu saja?”
                “Aku mohon padamu, Prido. Biarkan aku pergi…” Luna menahan tangisnya.
                “Tidak!”
                “Sudah tidak ada cinta di antara kita. Kau hanya menyakitiku saja, Prido.”
                Prido tersenyum licik. “Boleh. Asal kau harus membayarku dua puluh juta untuk uang cerai.”
                “Apa kau gila? Seharusnya kau yang memberiku uang!”
                “Luna!”
                Luna membelalak terkejut mendengar suara Lorcan. Ia menoleh ke arah pintu rumahnya. “Lorcan?”
                Lorcan menatap Prido dengan tatapan yang belum pernah Luna lihat sebelumnya. “Kau suami Luna?”
                “Ya. Siapa kau sembarangan masuk ke rumah orang? Oh, kau pelanggannya?”
                “Bajingan!” Dengan cepat Lorcan meninju Prido.
                “Lorcan, hentikan!” Luna berteriak panik.
                Darah segar mengalir dari hidung dan mulut Prido. Tiga giginya patah. “Kau…!”
                “Kau harus menceraikan Luna! Dia istrimu dan kau memperlakukannya seperti sampah! Aku tahu yang kauinginkan adalah uang! Ini lima puluh juta!” Lorcan melempari berlembar-lembar uang kertas seratus ribuan. “Kami akan datang lagi untuk mengurus surat perceraianmu dan Luna!” Lorcan menarik tangan Luna. “Ayo pergi!”
                “Lorcan?”
                Lorcan membawa Luna menyusuri gang dan membawanya ke mobil yang diparkir di depan sebuah mini market. Lorcan menghela napas. “Aku mau minta maaf, Luna. Aku telah memperlakukanmu dengan buruk di hotel semalam…”
                “Tidak apa-apa, aku mengerti…” Luna menunduk selama Lorcan mengemudi.
                “Aku sangat menyesal. Saat aku bangun tadi pagi, kau telah pergi. Aku sangat menyadari bahwa kau mencintaiku, Luna. Aku dapat merasakannya saat kita bercinta semalam. Aku meminta nomor temanmu pada Agust. Maaf, aku menelepon temanmu untuk mencari informasi tentang kehidupan rumah tanggamu. Dan temanmu itu telah menjelaskan semuanya…”
                Luna terisak. “Dulu sewaktu pacaran, Prido sangat baik…”
                Lorcan menghentikan Panther-nya di tepi jalan yang sepi. Lalu pria itu merengkuh Luna ke dalam pelukannya. “Aku mencintaimu, Luna. Dan, sejujurnya…” Lorcan tersenyum lembut, “sejujurnya namamu secantik wajahmu.
                Perlahan bibir Luna tertarik ke atas, membentuk seulas senyum malu. “Aku juga… mencintaimu. Rasanya aneh, baru kemarin kita bertemu, dan aku langsung jatuh cinta padamu. Ini… ini tidak masuk akal…”
                “Ya, memang. Bukankah cinta memang tidak masuk akal?” Lorcan tertawa. “Kita akan mengurus perceraianmu dengan Prido, lalu kita akan menikah.”
                Luna memeluk Lorcan. Ia menangis bahagia. “Terima kasih Tuhan… aku mencintaimu, Lorcan.”
                Lorcan memeluknya dengan erat. “Semoga kita akan berbahagia, Luna, selamanya…”
END
7 April 2005
CodÉt