GABY
“Gaby, aku suka kamu!”
“Tapi
aku tidak, Tondi! Lepaskan aku!” Gaby yang mungil, berkulit eksotis, dan
berwajah manis, menatap Tondi dengan kesal. Ia berusaha untuk melepaskan
pegangan tangan Tondi namun tidak bisa.
“Tapi
kenapa, Gaby? Kita sudah lama akrab, sejak TK. Kukira kau juga menyukaiku.”
Gaby
mengerutkan kening. Percaya diri yang luar biasa sekali! pikir Gaby. “Tondi,
dengar ya, selama ini aku hanya menganggapmu sebagai teman, tidak lebih. Aku
sudah punya seseorang yang kusukai, dan itu jelas bukan kau.” Kali ini dengan
mudah Gaby dapat melepaskan tangannya dari cekalan Tondi. Lalu ia segera
meninggalkan Tondi menuju gerbang sekolah, menyetop angkutan umum, lalu
menaikinya.
Siapa
yang sudi menerima cinta si playboy?
***
Entah sejak kapan Gaby mulai
menyukai Pasha, temannya sejak TK―yang juga teman Tondi. Mungkin
ia mulai menyukai Pasha sejak dua tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di
kelas 1 SMA. Gaby menyukai Pasha yang tampan, tinggi, putih, cerdas, namun
cuek. Gaby tahu Pasha sampai saat ini belum pernah sekali pun memikirkan cinta.
Di pikirannya hanya ada pelajaran dan futsal. Namun entah kenapa, Gaby menyukai
Pasha yang seperti itu. Gaby ingin memiliki Pasha, ingin menjadi gadis yang
dicintai Pasha suatu saat nanti jika Pasha mulai memikirkan cinta.
“Gabyyyyyy!”
“Enyah,
kau, Tondi!” Gaby menatap cowok tinggi yang super tampan, bermata sipit,
berkulit putih, dan berambut agak gondrong di depannya dengan kesal. Kenapa
sih, si playboy ini masih saja
mengikutiku? Padahal kemarin sudah kutolak! pikir Gaby kesal.
“Kau
ini kenapa, sih? Jahat sekali, sih… memangnya aku tidak boleh berada dekat
denganmu? Kita kan teman.” Tondi tersenyum lebar, menampakkan lesung pipinya
yang membuatnya semakin tampan. Kalau cewek lain pasti akan berdebar senang
atau pingsan melihat senyumannya itu, tapi aku tidak!
“Kemarin
menyatakan cinta dan sekarang berubah menjadi teman lagi? Dasar playboy.” Aku mengangkat alis kiriku
yang melengkung indah, gen yang diturunkan dari ayahku.
Senyum
Tondi semakin lebar. “Aku rela selamanya hanya menjadi teman baikmu jika itu
bisa membuatku bisa terus berada di sisimu…”
Gaby
memutar bola matanya bosan. “Terserah. Aku sedang belajar, jangan ganggu aku.”
Gaby mulai melanjutkan membaca buku Biologinya. Sementara Tondi duduk tenang di
sampingnya sambil memperhatikan Gaby yang sedang belajar.
***
“Aku bisa membantumu untuk
mendapatkan Pasha.”
Gaby
berhenti menyapu, ia mengerjapkan matanya menatap Tondi. Wajahnya merona merah.
Ia menatap galak pada Tondi saat berkata, “Bagaimana kautahu kalau aku…?”
Tondi
tersenyum. “Tentu saja aku tahu, karena selama ini aku kan selalu
memperhatikanmu.”
“Memangnya
kau ada waktu untuk memperhatikanku? Selama aku mengenalmu, kau kan selalu
dikelilingi cewek-cewek.”
Mata
Tondi menatap mata Gaby dengan lembut. “Banyak cewek yang mengeliliku, namun
mata dan hatiku hanya tertuju padamu.”
Dasar
perayu ulung! Gaby tersenyum sinis. “Aku tidak memerlukan bantuanmu. Aku bisa
sendiri untuk mendapatkan Pasha.”
Mata
Tondi tetap menatapnya dengan lembut. “Harus cara licik untuk mendapatkan
Pasha.”
“Apa
maksudmu?”
Tondi
tersenyum penuh arti. Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan telunjuknya dan
berkata, “Kau harus mencium bibirnya, maka ia akan luluh padamu.”
Wajah
Gaby terasa terbakar mendengar ucapan Tondi. “Sembarangan saja!” Gaby
melemparkan sapu yang sedang dipegangnya ke arah Tondi―yang langsung ditangkap cowok
itu―lalu
ia buru-buru mengambil tasnya dan pergi ke luar kelas. Ia bersyukur Tondi tidak
mengejarnya. Mencium Pasha? Ada-ada saja!
***
Dengan jantung yang berdebar
sangat kencang, Gaby berdiri di sebelah Pasha yang sedang mencari buku untuk
dibacanya. Saat ini jam istirahat, dan biasanya Pasha bermain futsal di
lapangan atau membaca buku di perpustakaan. Karena tadi Gaby tidak melihat
Pasha di lapangan, jadi ia ke perpustakaan untuk mencari cowok itu.
Pasha
tersenyum padanya, “Hai, Gaby. Mencari buku apa?”
Gaby
menelan ludah, “Eh, aku… buku tentang astronomi.”
“Oh…
sepertinya aku tahu tempatnya, biar kucarikan…”
Dengan
jantung yang seolah memukul-pukul dadanya, Gaby menarik bagian depan seragam
putih Pasha, berjinjit, lalu mencium bibir cowok itu selama dua detik. Lalu
Gaby segera kabur meninggalkan Pasha yang berdiri terpaku di tempat.
Gaby
terus berlari menuju toilet. Lalu ia masuk ke bilik toilet yang kosong.
Napasnya tersengal dan air mata telah membanjiri wajahnya. Dasar Gaby bodoh,
tolol, idiot! Kenapa kau mau saja mengikuti ucapan bodoh Tondi si playboy, sih? Gaby menangisi
kebodohannya sambil berjongkok di lantai.
***
"Jadi kau benar-benar
melakukannya?”
“Ya,
dan aku menyesal telah melakukannya!” Gaby menunduk dengan wajah merah padam
dan mata sembab sehabis menangis.
Tondi
tidak tertawa, ia malah tersenyum, lalu merangkul bahu Gaby dengan lembut.
“Percaya padaku, Pasha akan luluh padamu.”
Gaby
tidak mau memercayai ucapan Tondi begitu saja, seperti sebelumnya. Untungnya
Gaby tidak sekelas dengan Pasha, jadi ia tidak akan sering bertemu dengan cowok
itu. Karena saat ini Gaby belum berani untuk menemui Pasha untuk meminta maaf
soal ciuman itu.
Seminggu
kemudian Gaby sangat terkejut karena Pasha menghampirinya ke kelas saat jam
istirahat. Cowok itu setengah menyeretnya ke perpustakaan. Setelah mereka tiba
di perpustakaan yang lumayan sepi, yang dipenuhi oleh rak-rak buku yang
berjajar rapi, Pasha melepaskan pegangannya pada tangan Gaby. Wajah putih cowok
itu kini merah padam, entah karena marah, entah karena malu, atau keduanya.
“Ak-aku
minta maaf soal kemarin…” Gaby menunduk menatap lantai putih berukuran 40 x 40
di bawahnya. Ia meremas rok abu-abu selututnya. Wajahnya memerah karena malu.
“Kenapa
kau melakukannya?”
“Aku…
aku…” Air mata Gaby ingin menyerbu keluar. Lalu tiba-tiba saja Pasha
mendorongnya ke dinding dan mencium bibirnya. Satu detik. Dua detik… Lima detik.
Pasha
melepaskan ciumannya. Namun tubuhnya masih menekan tubuh Gaby ke dinding. Napas
keduanya tersengal. “Katakan, kenapa kau menciumku kemarin?”
Wajah
Gaby merona. Ia sangat terkejut karena ciuman Pasha. Jantungnya berdebar dengan
sangat kencang. Apakah Pasha sedang balas dendam padanya? “Aku… karena aku
menyukaimu…” Gaby memejamkan matanya.
“Kalau
begitu, maukah kau menjadi pacarku?”
Gaby
membuka matanya dan menatap Pasha tak percaya. “Apa?”
Pasha
tersenyum. Ia memegang kedua tangan Gaby. Matanya yang cokelat terang
menatapnya dengan lembut. “Selama seminggu ini aku tidak bisa melupakan
ciumanmu. Aku tidak bisa berkonsentrasi saat belajar ataupun saat bermain
futsal. Mungkin… sepertinya… aku jadi mencintaimu.”
Apa?
Jadi karena ciuman itu? Gaby menggeleng sedih. “Tidak, Pasha. Yang kaurasakan
padaku bukan cinta… hanya karena ciuman, kau jadi mencintaiku… ini… ini aneh.
Aku tidak mau.” Gaby mendorong Pasha pelan, lalu berjalan cepat meninggalkan
Pasha di belakangnya.
Ini
konyol, hanya gara-gara aku menciumnya, Pasha jadi mencintaiku? Itu bukan
cinta, tapi nafsu! pikir Gaby frustasi. Gaby menghapus air matanya yang
ternyata telah mengalir di kedua belah pipinya.
Sejak
kejadian itu, Gaby terus menerus menghindari Pasha.
“Kenapa
sih kau malah menolak Pasha?”
“Diam
kau, Tondi! Ini semua gara-gara aku mengikuti ide bodohmu! Semua jadi berantakan! Dan aku adalah si bodoh yang
mengikuti ide bodoh itu!”
Tondi
berdehem. Ia memegang bahu mungil Gaby yang berguncang karena gadis itu
menangis. “Aku minta maaf, tapi menurutku Pasha itu benar-benar mencintaimu,
bukan karena nafsu.”
“Kau
salah!” Gaby menepiskan tangan Tondi dari bahunya. “Sebentar lagi ujian, aku
harus konsentrasi belajar.”
Tondi
mengangkat bahu.
***
Satu tahun kemudian…
Gaby tak menyangka ia akan
bertemu kembali dengan Pasha, cinta pertamanya sekaligus cowok yang sampai saat
ini masih memiliki tempat yang istimewa di hatinya. Ia memang mengetahui dari
Tondi bahwa Pasha kuliah di Serang. Tapi ia tak menyangka ia akan bertemu lagi
dengan cowok itu di pantai Anyer saat ia sedang mengadakan diklat dengan klub
taekwondonya.
Pasha
yang saat ini mengenakan kemeja putih yang lengannya dilipat sampai siku,
celana selutut, dan sandal jepit, tersenyum lembut dan ia tidak tampak terkejut
saat ia melihat Gaby. “Kau semakin manis saja.”
Wajah
Gaby merona. “Te… terima kasih…”
“Kau
pasti heran kenapa aku tidak terkejut melihatmu di sini.”
“Y-ya…”
“Itu
karena aku tahu dari Tondi bahwa kau ada di sini.”
“Apa?”
Pasha
tersenyum. “Aku terus mencari informasi tentangmu dari Tondi. Dan aku sangat
senang karena sampai saat ini kau masih jomblo… kenapa?”
Wajah
Gaby memerah. “Aku… tidak tahu…” ujarnya berbohong. Ia membiarkan saja angin
meniup rambut lurus panjangnya sehingga menutupi wajahnya. Dan ia sangat
terkejut karena tangan kuat Pasha menyibakkan rambutnya, merangkum wajahnya,
lalu dengan cepat mencium bibirnya selama tiga detik. “Pa… Pasha?” Jantung Gaby
berdebar dengan kencang dan pipinya terasa panas. Untunglah tidak banyak
pengunjung yang datang sore ini. Ah, tapi bukan itu masalahnya kan! pikir Gaby
kalut.
“Selama
ini aku merenungkan kata-katamu. Dan selama kuliah di Serang, aku mencoba untuk
membuka diri untuk cinta dan berteman dengan para wanita. Tapi… apakah kau bisa
menjelaskan padaku kenapa sampai saat ini aku juga masih jomblo?”
Gaby
menatap mata cokelat terang Pasha, mencari kebohongan di sana, namun ia tidak
menemukannya. “Aku… aku tidak tahu…”
“Dan
apakah kau bisa menjelaskan padaku kenapa sampai saat ini aku tidak bisa
melupakan rasa bibirmu?”
Wajah
Gaby semakin merah padam. Ia menggeleng pelan.
Pasha
kembali merangkum wajah Gaby dan menatap mata Gaby dengan tajam. “Kalau ciuman
tadi belum bisa memberikan penjelasan mengenai perasaan yang kurasakan selama
ini, aku akan menciummu lagi sampai kau dan aku mengetahui jawabannya…” Pasha
menunduk dan mendekatkan wajahnya.
Gaby
mendorong dada Pasha. “Hentikan, dilihat orang!”
Pasha
tersenyum. “Sepi pengunjung, kok…”
“Mu…
mungkin kau memang mencintaiku! Mungkin yang kaurasakan padaku selama ini bukan
nafsu, tapi cinta!” Gaby setengah berteriak sambil memejamkan matanya. Lalu ia
merasakan lengan-lengan kuat mendekapnya erat.
“Ya,
tentu saja. Dan bukan mungkin, Honey,
tapi pasti, sudah jelas.” Pasha mendorongnya pelan lalu menatap matanya
tajam sambil tersenyum. “Selama ini aku mencintaimu, Gaby my Honey… maukah kau menjalin hubungan yang serius denganku?”
Jantung
Gaby seolah akan meledak saat mata cokelat terang Pasha menatapnya tajam dan bibir
merahnya mengucapkan kata-kata sakti
itu. Air mata Gaby menyerbu keluar. “Ya, ya, Pasha, aku mau… aku… aku juga
mencintai…” Ucapan Gaby kembali tertelan oleh ciuman Pasha. Kali ini Pasha
menciumnya lebih lama, dan dalam. Mereka tidak memedulikan segelintir orang di
sekitar mereka yang memperhatikan mereka dengan penuh minat.
***
Huh, padahal dulu aku menyarankan
ide konyol itu pada Gaby agar Pasha membenci Gaby. Tapi kenapa malah membuat
Pasha mencintai Gaby? Tondi menghela napas sambil memperhatikan Gaby dan Pasha
yang sedang berciuman di tepi pantai sambil berpelukan dengan erat. Hmm…
sebaiknya aku juga memakai ide konyol itu untuk memikat cewek yang suatu saat
akan menjadi kekasihku, pikir Tondi sambil mengangkat bahu.
Semoga
kau bahagia, Gaby.
***END***
Bekasi, 15 Agustus 2013
CODÈT