Selasa, 30 Juli 2013

LUNA



LUNA
“Kau pasti Luna.”
                “Ya.” Luna tersenyum bisnis. “Dan kau pasti Lorcan.” Luna memperhatikan bahwa pria di hadapannya ini memiliki mata terindah yang pernah dilihatnya. Mata itu berwarna cokelat keemasan. Dan mata itu kini tengah menatapnya dengan tajam.
                “Sebenarnya, sebelum kita mulai… ada yang ingin kutanyakan. Apa nama aslimu Luna?”
                Luna sedikit mengerutkan keningnya. Ia tersenyum. “Tentu saja.”
                “Ah…” Mata pria itu menelusuri tubuh Luna yang mengenakan kemeja katun putih yang lengannya dilipat sampai ke siku. “Kurasa nama itu tidak pantas… mengingat profesimu.”
                Luna menatap marah pria di hadapannya ini. Ingat, Luna, pria ini kaya. Bayarannya mahal. Luna tetap memasang senyum bisnis. Ia meraih segelas jus jeruk di hadapannya dan menyiramkannya ke wajah Lorcan.
                Lorcan menjerit kaget. “Kurang ajar!”
                “Kau yang kurang ajar!” Luna bangkit dan hendak meninggalkan café, namun Lorcan mencekal lengannya. “Lepaskan, brengsek!”
                “Kau sudah membuatku rugi. Jus jeruk terbuang, dan kau sama sekali belum menyentuh makananmu, tetapi aku tetap harus membayar pada kasir,” desisnya tajam. “Aku tidak ingin waktuku terbuang hanya untuk mencari wanita lain. Kau harus ikut aku!”
                Luna berhenti meronta karena Lorcan sangat kuat memeluk pinggangnya walaupun hanya dengan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain memberikan dua lembar seratus ribuan pada kasir.
Dengan kasar Lorcan mendorong Luna masuk ke Panther-nya. Lalu ia mengitari mobil dan duduk di belakang kemudi.
                “Kau pria kaya pelit.”
                Lorcan meliriknya sebelum menjalankan mobil. “Sebenarnya bukan masalah uang jus jeruk dan lasagna yang kaupesan. Aku telah membayar mahal pada temanku yang merekomendasikanmu. Ternyata kau wanita yang tidak punya etika.”
                “Kau yang tidak punya etika.” Luna menahan amarahnya.
                “Aku hanya mengemukakan pendapatku. Lagipula… pembeli adalah raja, bukan?” Lorcan tersenyum dingin.
                “Lalu, apa maumu?”
                “Sebentar.” Lorcan menghubungi sebuah nomor handphone. “Halo, Gust! Di mana kau?” tanyanya marah. “Aku tidak menginginkan Luna! Aku meminta uangku kembali, atau kau harus mencarikanku wanita lain!”
                Luna terkejut saat Lorcan melempar handphone-nya keluar jendela ke jalanan. “Agust menghubungiku dan ia bilang padaku bahwa ada temannya yang membutuhkan jasaku. Tapi aku tidak benar-benar mengenal Agust. Kami hanya berkencan dua kali, dan itu pun sudah seminggu yang lalu.”
                “Sialan! Katanya kau hebat di tempat tidur! Tapi ia tidak bilang bahwa kau sama sekali tidak punya etika!”
                “Kau yang cari gara-gara! Seandainya kau bersikap lebih baik, pasti segalanya akan berjalan lancar.” Luna menatap marah pada Lorcan yang sedang mengemudi. “Kalau dilihat, tampangmu itu lumayan tampan.”
                “Bukan lumayan tampan, tapi sangat tampan.”
                Luna nyengir. “Ngomong-ngomong… kau pria haus seks, ya?”
                Meskipun sedikit terkejut, pandangan Lorcan tetap fokus pada jalanan di depannya. “Aku sedang stres. Pacarku yang sangat kupuja… selingkuh.”
                “Ya, ampun, kasihan sekali…”
                Lorcan tahu Luna sedang menyindirnya. Tapi entah kenapa, ia ingin mencurahkan isi hatinya pada seseorang. Dan kini di dekatnya hanya ada seorang pelacur. “Aku benar-benar sakit hati.”
                “Aku bersedia menghiburmu, sepertinya kau sangat menderita.”
                Lorcan menghentikan Panther-nya di tepi jalan. Ia menoleh pada Luna dan menatapnya. “Benar, aku sangat menderita. Brengsek!” Lorcan meninju stir mobil. “Padahal aku memercayai mereka, tapi…”
                “Mereka? Apakah pria yang menjadi selingkuhan itu… sahabatmu?”
                Lorcan menggeleng muram. “Kakakku.”
                Luna sangat terkejut mendengar jawaban Lorcan. Spontan tangannya terulur untuk mengelus rambut Lorcan yang lembut dan bergelombang, serta sangat hitam.
                Lorcan meraih tangan Luna. Matanya yang cokelat keemasan menatap Luna tajam dan entah kenapa, membuat jantung Luna tiba-tiba berdebar dengan sangat kencang. Bibir pria itu yang berlekuk sensual mendarat kasar di bibir Luna. “Ayo ke hotel.”
                Dengan kasar Luna mendorong Lorcan, membuat keduanya sama-sama terkejut. “Eh, aku… aku tidak mau…”
                “Apa maksudmu?” Lorcan menautkan alisnya yang hitam tebal sehingga menyatu di tengah. “Bukankah tadi kaubilang bahwa kau bersedia untuk menghiburku?”
                “I… iya…. ” Luna mundur ke pintu mobil. “Tapi aku berubah pikiran. Aku… akan mencarikan temanku untukmu.”
                “Aku tidak punya waktu. Aku menginginkan… wanita… sekarang.” Lorcan menarik tangan Luna.
                Luna berusaha bertahan. “Tidak, kumohon!” Mata Luna berkaca-kaca. Wajahnya terasa panas dan jantungnya berdegup dengan kencang. Kepalanya terasa pusing dan dadanya terasa sesak. Luna bingung dengan apa yang sedang terjadi padanya. “Aku mau turun di sini!”
                “Ada apa denganmu?”
                Luna menggigit bibirnya. “Kumohon, biarkan aku turun!”
                “Tenanglah…” Lorcan tetap memegang tangan Luna. “Bukankah kau sudah terbiasa melakukannya?”
                Luna berusaha untuk bernapas dengan tenang. Suaranya bergetar saat berkata, “Aku tidak tahu… saat ini aku merasa pusing. Aku… aku tidak enak badan.”
                “Kau… sedang hamil? Mau ke dokter?”
                “Aku tidak mau ke dokter! Dan aku tidak hamil. Aku… selalu minum pil.”
                “Baiklah…” Lorcan melepaskannya. “Telepon temanmu, tapi yang bagus dan… beretika.”
***
Luna memandangi pantulan dirinya di cermin kamarnya.
                “Luna, hari ini kau dapat berapa?”
                Luna berbalik. “Hari ini aku tidak dapat.”
                “Bodoh!” Prido menjambak rambutnya. “Kalau kau jarang mendapat pemasukan, aku tidak bisa membayar uang kuliahku!”
                “Lepaskan, aku sudah muak, Prido! Seharusnya kau yang bekerja, bukan aku!”
                “Gara-gara menikah denganmu, aku jadi menderita!”
                “Jika kau tidak membuatku hamil, kau tidak perlu menikahiku!”
                “Aku? Bukankah kau juga menginginkannya? Kau sangat menikmati pelukanku!”
                Luna menggigit bibirnya menahan tangis.
                “Sekarang, pergi cari uang! Kalau kau belum mendapatkannya, jangan pulang!”
                Luna mengambil tasnya dan bergegas pergi. Ia berjalan menyusuri gang sempit dan becek menuju tempat pemberhentian bus. Lalu ia melihat Agust.
                “Hai. Di mana Lorcan? Handphone-nya tidak aktif. Saat tadi ia menghubungiku, aku sedang rapat, jadi aku tidak bisa berbicara terlalu lama dengannya.”
                “Dia… bersama temanku.”
                “Oh, begitu. Eh, kau menangis? Apa Lorcan berlaku kasar padamu?” tanya Agust khawatir.
                “Tidak.”
                “Mau menemaniku?”
                Luna memandangi trotoar di bawahnya. “Baiklah.”
***
Air mata Luna menetes dan mengalir ke pipinya yang lembut. Ia bangkit dan meraih jubah tidurnya. Ia berjalan ke balkon. Langit di atasnya hitam kelam tanpa bintang, namun ada sepotong bulan menemani. Luna memandangi jalanan di bawahnya. Saat ini ia berada di lantai 6 sebuah hotel termahal di kotanya.
                “Luna?”
              Luna menoleh. Ia terkejut mendapati Lorcan di balkon di sebelah kamar hotel yang sedang ditempatinya. “Lorcan…” Jantungnya langsung berdegup dengan kencang.
                “Kau benar-benar tidak tahu etika!”
                “Ap-apa?” Luna melangkah mundur.
                Lorcan melompat ke balkon Luna. “Kau ini kenapa? Kau melakukannya dengan pria lain, tetapi kenapa kau tidak mau melakukannya denganku?”
                “Aku…”
                “Kita sepertinya berjodoh.”
                “Lepaskan!” Luna tidak berani menatap mata Lorcan.
                “Luna, ada apa?”
                “Agust!” Lorcan terkejut melihat Agust. “Aku tidak peduli kau sudah melakukannya atau belum dengan Luna, aku menginginkan Luna sekarang!” Lorcan menarik Luna masuk ke dalam kamar.
                “Hei, sebentar, Sob, kenapa kau ada di kamarku?”
                “Apa pedulimu?” Lorcan menarikhampir menyeretLuna ke arah pintu kamar.
                “Aku belum membayar Luna!”
                “Aku yang akan membayarnya!” Lorcan membanting pintu kamar tepat di depan hidung Agust. Lalu ia menarik Luna ke kamar hotelnya. Setelah mereka berada di dalam kamar, pria itu mengunci pintu kamarnya. Ia mengurung Luna ke pintu kamar hotel. “Aku tidak mengerti…”
                “Di mana temanku?”
                “Sudah pulang.”
                “Setelah bercinta dengan temanku, apa kau masih haus seks?”
                “Ya. Padamu!”
                Wajah Luna terasa panas. Ia berharap dalam kamar yang temaram ini Lorcan tidak dapat melihat wajahnyayang pasti memerahdengan jelas.
                “Jelaskan padaku! Kenapa kau tidak mau tidur denganku?”
                “Tidak…” Jantung Luna berdegup dengan kencang di bawah tatapan tajam Lorcan.
                “Kau… jatuh cinta padaku?”
                “Itu tidak mungkin!” Luna berteriak. Lalu ia menggigit bibirnya.
                “Aku… tidak bisa melakukannya dengan temanmu.” Napas Lorcan yang beraroma mint menerpa wajah Luna.
                “Kenapa?”
                Tangan Lorcan yang besar dan kuat mengelus pipi lembut Luna. Ia tersenyum lembut menatap Luna. “Kami hampir melakukannya, tapi tiba-tiba saja aku mengingatmu. Aku sendiri tidak mengerti…” Lorcan menjauh. “Sejak kita berpisah sore tadi… aku…”
                “Tidak usah merayuku…”
                “Aku tidak sedang merayumu.” Suara Lorcan terdengar sangat lembut di telinga Luna. “Maukah kau meninggalkan pekerjaanmu dan… menikah denganku?”
              Luna membelalak terkejut. Ia mencoba melihat mata Lorcan, apakah pria ini sedang bercanda atau serius. “Kenapa?”
                “Aku juga tidak tahu… tapi aku tidak bercanda. Aku sungguh-sungguh, Luna.”
                “Aku kotor…”
                “Aku tidak peduli, Luna. Aku ingin kau menjadi istriku, ibu dari anak-anak kita nanti. Tadinya aku bermaksud untuk mencarimu, tapi kebetulan kita bertemu di sini.”
                “Aku tidak bisa.” Luna merasa sesak. “Aku tidak bisa, Lorcan. Aku sudah menikah…”
                “Aku tidak peduli!” Lorcan tertegun. Ia menatap Luna bingung. “Kau sudah menikah?”
                “Ya, karena itu…”
                “Apa maksudmu? Kau sudah menikah, tapi melacurkan diri? Apakah suamimu mengetahuinya?”
                Luna menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
                “Luna…”
                “Biarkan aku pergi, Lorcan.”
                “Tidak, sebelum aku puas denganmu!” Dengan kasar Lorcan menyentakkan jubah Luna sehingga menampakkan tubuh telanjangnya.
***
“Uangnya banyak sekali, Luna!” Prido tertawa senang.
                “Ya, dan aku mau kita bercerai, Prido!”
                “Cerai? Kau sudah menghancurkan hidupku lalu kau mau pergi begitu saja?”
                “Aku mohon padamu, Prido. Biarkan aku pergi…” Luna menahan tangisnya.
                “Tidak!”
                “Sudah tidak ada cinta di antara kita. Kau hanya menyakitiku saja, Prido.”
                Prido tersenyum licik. “Boleh. Asal kau harus membayarku dua puluh juta untuk uang cerai.”
                “Apa kau gila? Seharusnya kau yang memberiku uang!”
                “Luna!”
                Luna membelalak terkejut mendengar suara Lorcan. Ia menoleh ke arah pintu rumahnya. “Lorcan?”
                Lorcan menatap Prido dengan tatapan yang belum pernah Luna lihat sebelumnya. “Kau suami Luna?”
                “Ya. Siapa kau sembarangan masuk ke rumah orang? Oh, kau pelanggannya?”
                “Bajingan!” Dengan cepat Lorcan meninju Prido.
                “Lorcan, hentikan!” Luna berteriak panik.
                Darah segar mengalir dari hidung dan mulut Prido. Tiga giginya patah. “Kau…!”
                “Kau harus menceraikan Luna! Dia istrimu dan kau memperlakukannya seperti sampah! Aku tahu yang kauinginkan adalah uang! Ini lima puluh juta!” Lorcan melempari berlembar-lembar uang kertas seratus ribuan. “Kami akan datang lagi untuk mengurus surat perceraianmu dan Luna!” Lorcan menarik tangan Luna. “Ayo pergi!”
                “Lorcan?”
                Lorcan membawa Luna menyusuri gang dan membawanya ke mobil yang diparkir di depan sebuah mini market. Lorcan menghela napas. “Aku mau minta maaf, Luna. Aku telah memperlakukanmu dengan buruk di hotel semalam…”
                “Tidak apa-apa, aku mengerti…” Luna menunduk selama Lorcan mengemudi.
                “Aku sangat menyesal. Saat aku bangun tadi pagi, kau telah pergi. Aku sangat menyadari bahwa kau mencintaiku, Luna. Aku dapat merasakannya saat kita bercinta semalam. Aku meminta nomor temanmu pada Agust. Maaf, aku menelepon temanmu untuk mencari informasi tentang kehidupan rumah tanggamu. Dan temanmu itu telah menjelaskan semuanya…”
                Luna terisak. “Dulu sewaktu pacaran, Prido sangat baik…”
                Lorcan menghentikan Panther-nya di tepi jalan yang sepi. Lalu pria itu merengkuh Luna ke dalam pelukannya. “Aku mencintaimu, Luna. Dan, sejujurnya…” Lorcan tersenyum lembut, “sejujurnya namamu secantik wajahmu.
                Perlahan bibir Luna tertarik ke atas, membentuk seulas senyum malu. “Aku juga… mencintaimu. Rasanya aneh, baru kemarin kita bertemu, dan aku langsung jatuh cinta padamu. Ini… ini tidak masuk akal…”
                “Ya, memang. Bukankah cinta memang tidak masuk akal?” Lorcan tertawa. “Kita akan mengurus perceraianmu dengan Prido, lalu kita akan menikah.”
                Luna memeluk Lorcan. Ia menangis bahagia. “Terima kasih Tuhan… aku mencintaimu, Lorcan.”
                Lorcan memeluknya dengan erat. “Semoga kita akan berbahagia, Luna, selamanya…”
END
7 April 2005
CodÉt
               
               
               
               
               
               
               

               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar