MODEL: GIAN & NUI
FOTOGRAFER: FIDI
FOTOGRAFER: FIDI
Aqua Marine memandangi bulan penuh yang terpantul di danau di samping vila Dafield. Indah dan memesona seperti aslinya.
“Marine,
kau belum tidur?”
Marine
menoleh. Ia melihat kakak sepupunya, Dafield, melangkah ke balkon dengan
canggung.
Dafield
berdiri di dekat pagar besi yang dicat putih di samping Marine. Ia memandang ke
arah danau yang berjarak sekitar seratus meter dari vilanya.
“Mana
mungkin aku dapat tidur…” Marine kembali memandang bulan yang terpantul di
danau yang berwarna seperti emerald. “Besok hari pernikahan mantanku, pria yang
sampai saat ini masih ada di hatiku, mana mungkin aku dapat tidur…” ulangnya
pelan, dan ia mulai menangis lagi. “Aku tidak ingin datang, Kak Dafield… tapi
aku harus datang.”
Dafield
mengelus bahu sepupunya dengan sayang. “Kau tidak perlu memaksakan diri…”
Marine
menggeleng. “Aku harus datang, agar ia tahu bahwa aku bahagia tanpanya.”
Dafield
tersenyum, ia mencubit hidung bangir Marine. “Kalau kau menangis terus dan
matamu sembab begini, mana mungkin Benjamin berpikir kalau kau bahagia
tanpanya.”
Marine
menggosok hidungnya. Ia memeluk Dafield sambil terisak. “Aku tidak tahu harus
bagaimana! Aku bahagia ia menemukan wanita yang jauh lebih baik dariku, tapi
aku juga merasa dadaku seperti tertusuk belati, Kak Dafield! Rasanya seperti
bermimpi mendengar bahwa
ia akan menikah!”
Dafield
memeluk sepupunya
sambil mengelus-elus rambutnya. “Marine, bagaimana kalau besok aku
mendampingimu ke pernikahan Benjamin?” Karena tidak mendengar jawaban Marine,
Dafield mengulangi penawarannya. Lalu ia mendengar dengkur halus gadis itu.
Marine tertidur di pelukannya. Dafield tersenyum. Ia menggendong Marine masuk
ke ruang keluarga, berjalan perlahan ke kamar tamu ―kamar yang biasa ditempati Marine,
lalu merebahkannya di tempat tidur berseprai putihnya. Ia menyelimuti Marine sampai dagu, mengecup
keningnya, mematikan lampu, kemudian kembali ke balkon dengan view danau berwarna kehijauan yang
berlatar belakang gunung berkabut.
Matanya
yang cokelat tajam menatap bulan yang memancarkan
cahaya keperakan. “Tuhan, aku senang sainganku berkurang, tapi aku sedih karena
Marine menderita. Aku ingin ia bahagia…”
***
Setelah bersalaman
dengan pengantin, Marine langsung mengajak Dafield pulang. Air mata yang sedari
tadi ditahannya, akhirnya menyerbu keluar. Make
up tebal yang berhasil menutupi matanya yang sembab jadi luntur.
Dafield
memeluk bahunya, menuntunnya ke mobil. “Kau berhasil, Marine.”
“Wanita
yang sangat cantik… dan sepertinya sangat baik dan anggun. Pasti Ben bahagia,
benar kan?”
“Ya.”
Marine
terisak. Ia terus menangis sementara mobil tengah melaju di jalan tol.
“Seandainya Ben masih bersamaku, sekarang ia pasti belum menikah… karena ibu
dan ayahku belum merestui hubungan kami…”
“Marine…”
“Kenapa
sih, ayah dan ibu tidak mengizinkan
aku berpacaran?
Usiaku sudah 21 tahun! Aku bukan anak kecil lagi! Seharusnya aku diizinkan untuk berpacaran… dan menikah
dengan pria yang kucintai!”
“Tenanglah,
Marine. Suatu saat ayah dan ibumu pasti akan mengerti.”
“Sampai
kapan? Sampai aku tua nanti?”
Lengan Dafield yang kuat dan kecoklatan mengelus
kepalanya dengan lembut.
“Marine, jodohmu pasti akan datang. Percayalah, pasti ada jodoh yang terbaik
yang telah disiapkan Tuhan untukmu. Mungkin belum waktunya…”
Marine
akhirnya berhenti
menangis. Ia terlihat
merenung. “Kau sudah 29 tahun, Kak, kenapa kau belum menikah? Banyak
yang mengantri kan?” tanyanya tiba-tiba.
Dafield
terkejut mendengar
pertanyaan Marine. Ia
mengangkat alisnya dan
menyeringai. “Memang
banyak yang mengantri, tapi wanita cinta pertamaku yang kuinginkan belum sudi untuk menoleh padaku.”
“Wanita
seperti apa yang berani menolakmu?”
“Ia
pujaanku. Permataku.”
“Hmmm…”
“Kenapa?”
Marine
akhirnya tersenyum. “Aku penasaran. Apakah aku mengenalnya?”
“Tidak
sama sekali. Kau mau makan sushi? Kau
belum makan dari pagi kan.”
“Ya,
aku mau. Terima kasih, Kak Dafield.”
Dafield
hanya tersenyum.
***
Sorenya Dafield mengajak Marine naik sampan
mengelilingi danau. “Sampai kapan kau akan di sini, Marine?”
“Kak
Dafield mengusirku?”
Lengan
Dafield terlihat kuat dan seksi di mata Marine saat pria itu mengayuh sampan. “Mengusirmu? Mungkin.
Sudah tiga hari kau di sini, sejak kau menerima undangan Ben. Kau tidak rindu pada
keluargamu?”
“Kak
Dafield terganggu?”
“Terganggu?
Mungkin.”
Marine
cemberut. “Mungkin-mungkin terus. Apakah aku mengganggu pekerjaanmu? Atau kau
merasa tidak bebas untuk membawa teman-teman wanitamu ke rumah karena ada aku?”
Dafield
menghela napas. “Dengar, gadis bodoh, aku tidak pernah membawa teman wanitaku
ke rumah.”
“Aku
takkan percaya. Tidak mungkin kau hanya mencintai dan menunggu satu orang saja,
Kak Dafield. Kau kan sering digosipkan dengan banyak wanita, kau sering muncul
di media.”
“Terserah
kau saja. Besok aku akan mengantarmu pulang. Kau kan harus kuliah, Marine.”
“Aku
libur dua minggu,” ujar
Marine tersenyum puas.
“Lagi pula… aku
ingin bersantai di vila Kak Dafield untuk menghilangkan rasa patah hatiku. O ya, novel tentang apa yang sedang
kakak kerjakan?”
“Seperti
biasa, novel misteri.”
“Aku
selalu menyukai novel-novel Kak Dafield!” Marine menatap kakak sepupunya dengan
mata berbinar. “Tokoh prianya selalu romantis, meski setiap tokoh yang kakak
buat selalu mengalami patah hati di akhir cerita…” Marine mengerjapkan matanya
karena Dafield terus memandanginya. “Ada apa?”
Dafield
tersenyum. “Jika permataku menerima cintaku, aku pasti akan membuat kisah tokoh pria dalam
novelku berakhir bahagia.”
Marine
menatap Dafield. “Kenapa permatamu tidak mau menoleh padamu?”
“Karena…”
“Karena?”
“Karena
permataku itu sangatlah bodoh.”
“Hah?”
“Sudahlah.
Nanti malam kau mau makan apa?”
Marine
bertepuk tangan. “Apa saja aku mau! Aku selalu suka masakan Kak Dafield!”
Dafield
tertawa. “Kalau aku masak batu, kau mau memakannya?”
Marine
tertawa.
“Akhirnya
kau tertawa.”
Marine
menatap Dafield. “Terima kasih Kak Dafield, dari dulu kalau aku ada masalah,
aku pasti selalu datang padamu. Lalu kau akan menghibur dan menenangkanku.”
Dafield
berhenti mengayuh dan menatap
mata Marine dengan tajam. “Kau kan sepupuku, aku tidak mungkin tidak
memedulikanmu. Lagi pula
kau selalu seperti gembel yang menderita saat kau datang padaku.”
“Apa?
Gembel? Kak Dafield jahat sekali!”
“Marine,
jangan berdiri, hei!!”
Marine
kehilangan keseimbangan lalu ia tercebur ke danau. Dafield pun ikut terjatuh
dan sampan yang mereka naiki terbalik.
***
Marine membuka
matanya. “Kak Dafield?”
“Dasar
bodoh, kau mau mati, ya?” Dafield menatapnya tajam. “Kau kan bisa berenang,
kenapa kau malah menenggelamkan dirimu?”
“Maaf…”
Marine terisak. “Saat aku tercebur ke danau tadi, aku memang merasa ingin mati
saja, kalau kuingat Ben…”
“Hari
ini juga aku akan mengantarmu pulang!” ujar Dafield galak.
“Tidak,
kumohon, Kak Dafield, jangan usir aku! Aku minta maaf, aku tidak akan melakukan
hal bodoh seperti tadi lagi!”
Dafield
mengguncang-guncangkan bahu Marine. “Bukan hal bodoh, tapi tolol! Beraninya kau
berniat bunuh diri saat bersamaku! Kalau mau bunuh diri, cari tempat yang jauh
dariku!”
Mata
Marine terasa panas, ia mulai menangis. “Maaf, maafkan aku…”
“Sudahlah,
kau tunggu di sini, aku akan membawakan sup hangat untukmu.”
Marine
memakan sup hangat sambil menangis. Ia memakan sup sendirian di kamar karena
Dafield masih marah dan tidak ingin menemaninya. Marine menyesali diri. Ia juga
marah pada dirinya sendiri yang berniat bunuh diri, menyusahkan Dafield, dan
membuat pria itu marah.
***
Esok paginya
sampai malam, Dafield mengunci diri di kamar kerjanya.
Marine susah payah membujuk Dafield
namun pria itu belum juga mau keluar dari kamar kerjanya.
“Kak
Dafield, aku sudah menghangatkan
sup jagung yang Bi Olin buat, nih. Ayo makan, nanti kau sakit.”
Hening.
Lalu beberapa menit kemudian Dafield keluar. Ia mengambil nampan yang dibawa Marine,
masuk kamar, lalu mengunci diri lagi. Dan hal itu membuat Marine kesal.
“Baik,
kalau Kak Dafield memang ingin aku pulang, aku akan pulang sekarang juga!”
Dafield
membuka pintu kamar. “Jangan pulang.”
“Apa?”
“Jangan
pulang, di sini saja.” Dafield tiba-tiba memeluknya.
“Kak
Dafield, apa-apaan, sih, hei, berat, nih!” Marine merasakan suhu tubuh Dafield yang sangat tinggi. “Kak
Dafield, kau demam!”
“Jangan
pulang, Marine, kumohon.”
Dengan
susah payah Marine membawa Dafield ke kamar tidurnya yang terletak tidak jauh
dari kamar kerjanya. Ia merebahkan Dafield ke tempat tidur, mengganti bajunya
dengan piyama, memakaikannya jaket dan syal, lalu menutupi tubuhnya dengan
selimut super tebal sampai dagu. Dua puluhlima menit kemudian tubuh Dafield sudah
basah oleh peluh.
Marine kembali mengganti piyamanya
lalu melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukannya, sampai Dafield
berganti piyama
2-3 kali lagi.
Selama
Dafield tertidur, ia terus-menerus memanggil nama Marine.
“Iya,
Kak Dafield, aku di sini, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak jadi pulang,”
bisik Marine sambil mengusap-usap rambut Dafield dengan sayang.
***
Keesokannya ketika Dafield
terbangun, Marine sedang membantu Bi Olin menyiapkan sarapan di dapur.
“Marine?”
“Eh,
Tuan Muda Dafield sudah bangun. Kau sudah sehat?” goda Marine.
“Tuan
Muda apa?” Dafield duduk di kursi meja makan. “Aku masih sedikit pusing. Apa yang terjadi? Aku
tidak ingat kalau aku memakai piyama dan baju hangat serta syal ini.” Dafield
melepas syal dan menaruhnya di meja.
Marine
cekikikan. “Semalam Kak Dafield demam. Aku yang mengganti bajumu.”
“Apa?”
“Tenang
saja, aku tidak melihat apa-apa.”
“Apa
aku mengigau?”
“Tidak.”
“Sungguh?”
“Yakin.”
Dafield
mengerutkan keningnya. Ia mengangkat bahu. Ia menyesap perlahan kopi susu
hangat yang disodorkan Marine.
Jantung
Marine berdegup dengan kencang saat ia teringat kembali igauan-igauan Dafield
semalaman. “Marine, jangan pulang, tetaplah di sini… Aku selalu merindukanmu...
Aku mencintaimu…”
“Nona
Marine, wajahmu merah sekali. Jangan-jangan Nona ketularan Tuan Dafield?”
“Ahhahahaha,
tidak, Bi Olin, ini karena uap sup jagung yang panas,” kilah Marine.
“Begitu,
ya?”
“Iya
betul!” ujar Marine gugup. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Dafield, ia
menumpahkan semangkuk kecil sup jagung sehingga mengotori bagian depan atasan piyama Dafield.
“Panas!”
erang Dafield terkejut.
“Ma-maaf!”
Marine buru-buru mencari lap dan membersihkan atasan piyama Dafield. Saat Dafield meraih tangan
Marine untuk menghentikan perbuatannya, Marine menepisnya. “A-aku mau mandi
dulu, memasak
membuatku gerah!” Lalu Marine berlari ke kamarnya di lantai dua.
Marine
menggelengkan kepalanya bingung. Kenapa jantungnya jadi berdegup lebih kencang saat ia berada
di dekat Dafield? Apa karena igauan Kak Dafield
yang tidak masuk akal itu? Tidak mungkin kan aku jatuh cinta pada sepupu jauhku
yang lebih tua delapan tahun itu? Aku kan masih mencintai Benjamin!
Malamnya,
Dafield mengajaknya ke balkon, memandangi danau. “Maaf aku marah dan mengurung
diri di kamar kerjaku.”
“Itu
karena aku bersikap tolol.”
“Terima
kasih karena telah merawatku selama aku sakit.”
“Terima
kasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku.”
“Marine…”
“Ya…?”
“Kenapa
kau duduk jauh sekali dariku? Dan kenapa kau tidak mau menatapku? Apa kau
marah?”
“Tidak…”
Wajah putih Marine merona.
“Hei,
Marine…” Dafield merangkulnya, namun Marine menepis tangannya. “Kenapa?”
“Aku…”
“Wajahmu
merah. Kau demam?”
“Tidak.”
Dafield
mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti… kenapa kau tidak mau kurangkul seperti
biasanya?”
“Kak
Dafield…” Marine menarik napas panjang. “Cium aku.”
“Apa?”
Dafield terkejut. “Ci, apa?”
“Ah,
sudahlah!” Marine mendekat, lalu menarik kerah sweater Dafield dan mencium bibirnya. Jantungnya seolah meledak. Pelipisnya
berdenyut nyeri dan napasnya memburu. Saat ia melepaskan ciumannya, tangan
Dafield yang besar dan kuat malah menahan kepalanya, menekannya sehingga kini
giliran Dafield yang mencium bibirnya. Dalam dan lama.
“Marine…”
bisiknya setelah Dafield
melepaskan ciumannya.
Marine
memandangi lantai di bawahnya. “Aku mau pulang…”
“Kenapa?
Marine, kenapa kau menghindariku, menciumku, lalu mengatakan ingin pulang?”
“Kenapa
kau membalas ciumanku?”
Dafield
terdiam.
“Jawab.”
Tangan
Dafield merangkum wajah Marine yang putih, kontras dengan kulit Dafield yang
kecoklatan. “Karena kau adalah permataku… wanita cinta pertama… dan
satu-satunya yang selalu… kucintai.”
Marine
terkejut. Ia berusaha untuk menatap mata Dafield. “Benarkah?”
“Ya.”
Marine
menangis. “Maaf, Kak Dafield, maaf.”
“Kau
tidak perlu meminta maaf. Itu hanya perasaanku saja, kau tidak perlu
membalasnya.”
“Maaf
selama ini aku tidak peka…”
“Ya,
kau memang bodoh.”
“Kau
juga bodoh.”
“Apa?”
“Aku
kan barusan… menciummu, Kak. Mana mungkin aku akan menciummu kalau aku tidak
punya perasaan apa-apa padamu.” Marine tersenyum getir. “Aku aneh, ya. Sampai
kemarin, aku masih mencintai Ben. Tapi hari ini, aku mulai… mencintaimu.”
“Kenapa?”
“Karena
Kak Dafield mengigau, menyatakan perasaan terpendammu. Dan tiba-tiba saja
hatiku langsung tercuri olehmu.”
Wajah
Dafield memerah. “Kaubilang aku tidak mengigau.”
“Mana
mungkin aku bilang kan?” Marine tersipu.
Dafield
menggenggam tangannya. “Selama ini aku selalu… mencintaimu sepihak. Jika
perasaanmu padaku ini ternyata hanya sementara saja, aku tidak akan sakit
hati.”
“Yakin?”
“Yah…”
“Ayah
dan ibu pasti tidak akan menyetujui hubungan kita.”
“Marine,
maaf…”
“Maaf
kenapa?”
“Aku…
sebenarnya sudah melamarmu pada orang tuamu sejak kau masih berusia 15 tahun,
makanya… orang tuamu selalu tidak merestui hubunganmu dengan Benjamin. Tapi aku
meminta mereka untuk merahasiakan lamaranku sampai ulang tahunmu yang ke-22
tahun, agar aku bisa langsung menikahimu setelah kau lulus kuliah.”
Marine
terhenyak. “Apa? Kak Dafield bercanda kan?”
“Aku
tidak bercanda.” Dafield menatapnya lurus-lurus. “Kumohon, jangan membenciku.
Aku sangat mencintaimu, makanya aku melakukan hal itu…”
“Dulu,
apakah kau tidak berpikir… kalau aku mungkin akan menolak
lamaranmu?”
Dafield
menarik napas. Ia mengangkat bahu. “Entahlah, saat itu aku punya kepercayaan
diri yang sangat besar
kalau kau akan menerima lamaranku.”
“Sekarang?”
“Aku
tidak tahu…”
“Kau
pesimis?”
“Ya.”
“Saat
aku berniat menenggelamkan diri, apa yang ada di dalam benakmu?”
“Aku
sangat marah padamu, tapi juga marah pada diriku sendiri. Gara-gara aku, kau hampir kehilangan
nyawamu. Saat kau pingsan, aku terus berpikir seandainya aku melepasmu untuk
Benjamin. Aku menyuruhmu pulang dengan kasar karena selain aku marah, aku juga
berniat untuk menarik kembali lamaranku. Aku tidak ingin membuatmu menderita
dengan cara mengikatmu. Aku tahu semua sudah terlambat karena Benjamin sudah
menikah…”
“Kak
Dafield jahat, egois,” ujar Marine pelan.
“Ya, aku tahu itu…
maafkan aku, Marine…”
“Kumaafkan.”
“Kenapa?”
“Apakah
Kak Dafield berjanji akan selalu mencintaiku dan tak akan pernah
meninggalkanku?”
Mata
cokelat Dafield menatapnya tajam. Mata itu sedikit berkaca-kaca. “Aku tidak
bisa berjanji seperti itu, tapi aku akan berusaha untuk menepatinya…”
“Baik,
kalau begitu… aku menerima lamaran Kak Dafield.”
Dafield
langsung memeluk dan menggendongnya. “Sungguh? Terima kasih, Tuhan!”
Marine
malu karena Dafield menggendongnya. “Kak Dafield…”
“Ada
apa?”
“Apakah
tokoh wanita dalam setiap novelmu itu… adalah aku?”
“Kau
percaya diri sekali…”
Marine
memukul bahu Dafield pelan. “Aku serius, karena setelah kuingat-ingat, sifat
tokoh utama wanita di setiap novelmu mempunyai kemiripan denganku. Misalnya
dalam novel ‘Misteri di Mercusuar’, tokoh wanitanya jago berenang di laut, lalu
dalam novel ‘Kamar Nomor Seratus Tiga’, tokoh wanitanya suka kentut
sembarangan, lalu…”
Tawa
Dafield meledak. Ia memeluk Marine dengan erat. “Yah, kau menang. Memang benar,
setiap aku membuat novel, aku selalu membayangkanmu…”
“Hmmm…”
Dafield
menarik Marine mendekat, lalu mencium bibir gadis itu. “Aku mencintaimu.”
Marine
tersipu. “Aku mencintaimu…”
Dafield
kembali mencium bibir Marine,
sampai napas gadis itu
terengah-engah.
“Kak
Dafield, su-sudah, aku malu…”
“Maaf,
aku…”
“Ti-tidak
apa-apa. Se-selamat tidur, Kak Dafield.” Marine tersenyum malu, lalu ia
berjalan dengan agak tergesa-gesa masuk ke ruang keluarga. Ia hampir menabrak
pintu kaca, membuat Dafield terkekeh.
Dafield
bersandar pada pagar besi bercat
putih sambil tersenyum sendiri. Setelah didengarnya pintu kamar Marine
ditutup, Dafield menyusul masuk ke ruang keluarga. Lalu ia turun ke kamar kerjanya,
bermaksud membuat novel terbarunya, novel yang kisah tokoh utama prianya berakhir bahagia tentunya, seperti
dirinya.
END
20
January 2013
Codet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar