Selasa, 30 Juli 2013

AQUA MARINE



AQUA MARINE


MODEL: GIAN & NUI
FOTOGRAFER: FIDI

Aqua Marine memandangi bulan penuh yang terpantul di danau di samping vila Dafield. Indah dan memesona seperti aslinya.
                “Marine, kau belum tidur?”
                Marine menoleh. Ia melihat kakak sepupunya, Dafield, melangkah ke balkon dengan canggung.
                Dafield berdiri di dekat pagar besi yang dicat putih di samping Marine. Ia memandang ke arah danau yang berjarak sekitar seratus meter dari vilanya.
                “Mana mungkin aku dapat tidur…” Marine kembali memandang bulan yang terpantul di danau yang berwarna seperti emerald. “Besok hari pernikahan mantanku, pria yang sampai saat ini masih ada di hatiku, mana mungkin aku dapat tidur…” ulangnya pelan, dan ia mulai menangis lagi. “Aku tidak ingin datang, Kak Dafield… tapi aku harus datang.”
                Dafield mengelus bahu sepupunya dengan sayang. “Kau tidak perlu memaksakan diri…”
                Marine menggeleng. “Aku harus datang, agar ia tahu bahwa aku bahagia tanpanya.”
                Dafield tersenyum, ia mencubit hidung bangir Marine. “Kalau kau menangis terus dan matamu sembab begini, mana mungkin Benjamin berpikir kalau kau bahagia tanpanya.”
                Marine menggosok hidungnya. Ia memeluk Dafield sambil terisak. “Aku tidak tahu harus bagaimana! Aku bahagia ia menemukan wanita yang jauh lebih baik dariku, tapi aku juga merasa dadaku seperti tertusuk belati, Kak Dafield! Rasanya seperti bermimpi mendengar bahwa ia akan menikah!”
                Dafield memeluk sepupunya sambil mengelus-elus rambutnya. “Marine, bagaimana kalau besok aku mendampingimu ke pernikahan Benjamin?” Karena tidak mendengar jawaban Marine, Dafield mengulangi penawarannya. Lalu ia mendengar dengkur halus gadis itu. Marine tertidur di pelukannya. Dafield tersenyum. Ia menggendong Marine masuk ke ruang keluarga, berjalan perlahan ke kamar tamu kamar yang biasa ditempati Marine, lalu merebahkannya di tempat tidur berseprai putihnya. Ia menyelimuti Marine sampai dagu, mengecup keningnya, mematikan lampu, kemudian kembali ke balkon dengan view danau berwarna kehijauan yang berlatar belakang gunung berkabut.
                Matanya yang cokelat tajam menatap bulan yang memancarkan cahaya keperakan. “Tuhan, aku senang sainganku berkurang, tapi aku sedih karena Marine menderita. Aku ingin ia bahagia…”
***
Setelah bersalaman dengan pengantin, Marine langsung mengajak Dafield pulang. Air mata yang sedari tadi ditahannya, akhirnya menyerbu keluar. Make up tebal yang berhasil menutupi matanya yang sembab jadi luntur.
                Dafield memeluk bahunya, menuntunnya ke mobil. “Kau berhasil, Marine.”
                “Wanita yang sangat cantik… dan sepertinya sangat baik dan anggun. Pasti Ben bahagia, benar kan?”
                “Ya.”
                Marine terisak. Ia terus menangis sementara mobil tengah melaju di jalan tol. “Seandainya Ben masih bersamaku, sekarang ia pasti belum menikah… karena ibu dan ayahku belum merestui hubungan kami…”
                “Marine…”
                “Kenapa sih, ayah dan ibu tidak mengizinkan aku berpacaran? Usiaku sudah 21 tahun! Aku bukan anak kecil lagi! Seharusnya aku diizinkan untuk berpacaran… dan menikah dengan pria yang kucintai!”
                “Tenanglah, Marine. Suatu saat ayah dan ibumu pasti akan mengerti.”
                “Sampai kapan? Sampai aku tua nanti?”
                Lengan Dafield yang kuat dan kecoklatan mengelus kepalanya dengan lembut. “Marine, jodohmu pasti akan datang. Percayalah, pasti ada jodoh yang terbaik yang telah disiapkan Tuhan untukmu. Mungkin belum waktunya…”
                Marine akhirnya berhenti menangis. Ia terlihat merenung. “Kau sudah 29 tahun, Kak, kenapa kau belum menikah? Banyak yang mengantri kan?” tanyanya tiba-tiba.
                Dafield terkejut mendengar pertanyaan Marine. Ia mengangkat alisnya dan menyeringai. “Memang banyak yang mengantri, tapi wanita cinta pertamaku yang kuinginkan belum sudi untuk menoleh padaku.”
                “Wanita seperti apa yang berani menolakmu?”
                “Ia pujaanku. Permataku.”
                “Hmmm…”
                “Kenapa?”
                Marine akhirnya tersenyum. “Aku penasaran. Apakah aku mengenalnya?”
                “Tidak sama sekali. Kau mau makan sushi? Kau belum makan dari pagi kan.”
                “Ya, aku mau. Terima kasih, Kak Dafield.”
                Dafield hanya tersenyum.
***
Sorenya Dafield mengajak Marine naik sampan mengelilingi danau. “Sampai kapan kau akan di sini, Marine?”
                “Kak Dafield mengusirku?”
                Lengan Dafield terlihat kuat dan seksi di mata Marine saat pria itu mengayuh sampan. “Mengusirmu? Mungkin. Sudah tiga hari kau di sini, sejak kau menerima undangan Ben. Kau tidak rindu pada keluargamu?”
                “Kak Dafield terganggu?”
                “Terganggu? Mungkin.”
                Marine cemberut. “Mungkin-mungkin terus. Apakah aku mengganggu pekerjaanmu? Atau kau merasa tidak bebas untuk membawa teman-teman wanitamu ke rumah karena ada aku?”
                Dafield menghela napas. “Dengar, gadis bodoh, aku tidak pernah membawa teman wanitaku ke rumah.”
                “Aku takkan percaya. Tidak mungkin kau hanya mencintai dan menunggu satu orang saja, Kak Dafield. Kau kan sering digosipkan dengan banyak wanita, kau sering muncul di media.”
                “Terserah kau saja. Besok aku akan mengantarmu pulang. Kau kan harus kuliah, Marine.”
                “Aku libur dua minggu,” ujar Marine tersenyum puas. “Lagi pula… aku ingin bersantai di vila Kak Dafield untuk menghilangkan rasa patah hatiku. O ya, novel tentang apa yang sedang kakak kerjakan?”
                “Seperti biasa, novel misteri.”
                “Aku selalu menyukai novel-novel Kak Dafield!” Marine menatap kakak sepupunya dengan mata berbinar. “Tokoh prianya selalu romantis, meski setiap tokoh yang kakak buat selalu mengalami patah hati di akhir cerita…” Marine mengerjapkan matanya karena Dafield terus memandanginya. “Ada apa?”
                Dafield tersenyum. “Jika permataku menerima cintaku, aku pasti akan membuat kisah tokoh pria dalam novelku berakhir bahagia.”
                Marine menatap Dafield. “Kenapa permatamu tidak mau menoleh padamu?”
                “Karena…”
                “Karena?”
                “Karena permataku itu sangatlah bodoh.”
                “Hah?”
                “Sudahlah. Nanti malam kau mau makan apa?”
                Marine bertepuk tangan. “Apa saja aku mau! Aku selalu suka masakan Kak Dafield!”
Dafield tertawa. “Kalau aku masak batu, kau mau memakannya?”
                Marine tertawa.
                “Akhirnya kau tertawa.”
                Marine menatap Dafield. “Terima kasih Kak Dafield, dari dulu kalau aku ada masalah, aku pasti selalu datang padamu. Lalu kau akan menghibur dan menenangkanku.”
                Dafield berhenti mengayuh dan menatap mata Marine dengan tajam. “Kau kan sepupuku, aku tidak mungkin tidak memedulikanmu. Lagi pula kau selalu seperti gembel yang menderita saat kau datang padaku.”
                “Apa? Gembel? Kak Dafield jahat sekali!”
                “Marine, jangan berdiri, hei!!”
                Marine kehilangan keseimbangan lalu ia tercebur ke danau. Dafield pun ikut terjatuh dan sampan yang mereka naiki terbalik.
***
Marine membuka matanya. “Kak Dafield?”
                “Dasar bodoh, kau mau mati, ya?” Dafield menatapnya tajam. “Kau kan bisa berenang, kenapa kau malah menenggelamkan dirimu?”
                “Maaf…” Marine terisak. “Saat aku tercebur ke danau tadi, aku memang merasa ingin mati saja, kalau kuingat Ben…”
                “Hari ini juga aku akan mengantarmu pulang!” ujar Dafield galak.
                “Tidak, kumohon, Kak Dafield, jangan usir aku! Aku minta maaf, aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti tadi lagi!”
                Dafield mengguncang-guncangkan bahu Marine. “Bukan hal bodoh, tapi tolol! Beraninya kau berniat bunuh diri saat bersamaku! Kalau mau bunuh diri, cari tempat yang jauh dariku!”
                Mata Marine terasa panas, ia mulai menangis. “Maaf, maafkan aku…”
                “Sudahlah, kau tunggu di sini, aku akan membawakan sup hangat untukmu.”
                Marine memakan sup hangat sambil menangis. Ia memakan sup sendirian di kamar karena Dafield masih marah dan tidak ingin menemaninya. Marine menyesali diri. Ia juga marah pada dirinya sendiri yang berniat bunuh diri, menyusahkan Dafield, dan membuat pria itu marah.
***
Esok paginya sampai malam, Dafield mengunci diri di kamar kerjanya.
                Marine susah payah membujuk Dafield namun pria itu belum juga mau keluar dari kamar kerjanya.
                “Kak Dafield, aku sudah menghangatkan sup jagung yang Bi Olin buat, nih. Ayo makan, nanti kau sakit.”
                Hening. Lalu beberapa menit kemudian Dafield keluar. Ia mengambil nampan yang dibawa Marine, masuk kamar, lalu mengunci diri lagi. Dan hal itu membuat Marine kesal.
                “Baik, kalau Kak Dafield memang ingin aku pulang, aku akan pulang sekarang juga!”
                Dafield membuka pintu kamar. “Jangan pulang.”
                “Apa?”
                “Jangan pulang, di sini saja.” Dafield tiba-tiba memeluknya.
                “Kak Dafield, apa-apaan, sih, hei, berat, nih!” Marine merasakan suhu tubuh Dafield yang sangat tinggi. “Kak Dafield, kau demam!”
                “Jangan pulang, Marine, kumohon.”
                Dengan susah payah Marine membawa Dafield ke kamar tidurnya yang terletak tidak jauh dari kamar kerjanya. Ia merebahkan Dafield ke tempat tidur, mengganti bajunya dengan piyama, memakaikannya jaket dan syal, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut super tebal sampai dagu. Dua puluhlima menit kemudian tubuh Dafield sudah basah oleh peluh. Marine kembali mengganti piyamanya lalu melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukannya, sampai Dafield berganti piyama 2-3 kali lagi.
                Selama Dafield tertidur, ia terus-menerus memanggil nama Marine.
                “Iya, Kak Dafield, aku di sini, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak jadi pulang,” bisik Marine sambil mengusap-usap rambut Dafield dengan sayang.
***
Keesokannya ketika Dafield terbangun, Marine sedang membantu Bi Olin menyiapkan sarapan di dapur.
                “Marine?”
                “Eh, Tuan Muda Dafield sudah bangun. Kau sudah sehat?” goda Marine.
                “Tuan Muda apa?” Dafield duduk di kursi meja makan. “Aku masih sedikit pusing. Apa yang terjadi? Aku tidak ingat kalau aku memakai piyama dan baju hangat serta syal ini.” Dafield melepas syal dan menaruhnya di meja.
                Marine cekikikan. “Semalam Kak Dafield demam. Aku yang mengganti bajumu.”
                “Apa?”
                “Tenang saja, aku tidak melihat apa-apa.”
                “Apa aku mengigau?”
                “Tidak.”
                “Sungguh?”
                “Yakin.”
                Dafield mengerutkan keningnya. Ia mengangkat bahu. Ia menyesap perlahan kopi susu hangat yang disodorkan Marine.
                Jantung Marine berdegup dengan kencang saat ia teringat kembali igauan-igauan Dafield semalaman. “Marine, jangan pulang, tetaplah di sini… Aku selalu merindukanmu... Aku mencintaimu…”
                “Nona Marine, wajahmu merah sekali. Jangan-jangan Nona ketularan Tuan Dafield?”
                “Ahhahahaha, tidak, Bi Olin, ini karena uap sup jagung yang panas,” kilah Marine.
                “Begitu, ya?”
                “Iya betul!” ujar Marine gugup. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Dafield, ia menumpahkan semangkuk kecil sup jagung sehingga mengotori bagian depan atasan piyama Dafield.
                “Panas!” erang Dafield terkejut.
                “Ma-maaf!” Marine buru-buru mencari lap dan membersihkan atasan piyama Dafield. Saat Dafield meraih tangan Marine untuk menghentikan perbuatannya, Marine menepisnya. “A-aku mau mandi dulu, memasak membuatku gerah!” Lalu Marine berlari ke kamarnya di lantai dua.
                Marine menggelengkan kepalanya bingung. Kenapa jantungnya jadi berdegup lebih kencang saat ia berada di dekat Dafield? Apa karena igauan Kak Dafield yang tidak masuk akal itu? Tidak mungkin kan aku jatuh cinta pada sepupu jauhku yang lebih tua delapan tahun itu? Aku kan masih mencintai Benjamin!
                Malamnya, Dafield mengajaknya ke balkon, memandangi danau. “Maaf aku marah dan mengurung diri di kamar kerjaku.”
                “Itu karena aku bersikap tolol.”
                “Terima kasih karena telah merawatku selama aku sakit.”
                “Terima kasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku.”
                “Marine…”
                “Ya…?”
                “Kenapa kau duduk jauh sekali dariku? Dan kenapa kau tidak mau menatapku? Apa kau marah?”
                “Tidak…” Wajah putih Marine merona.
                “Hei, Marine…” Dafield merangkulnya, namun Marine menepis tangannya. “Kenapa?”
                “Aku…”
                “Wajahmu merah. Kau demam?”
                “Tidak.”
                Dafield mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti… kenapa kau tidak mau kurangkul seperti biasanya?”
                “Kak Dafield…” Marine menarik napas panjang. “Cium aku.”
                “Apa?” Dafield terkejut. “Ci, apa?”
                “Ah, sudahlah!” Marine mendekat, lalu menarik kerah sweater Dafield dan mencium bibirnya. Jantungnya seolah meledak. Pelipisnya berdenyut nyeri dan napasnya memburu. Saat ia melepaskan ciumannya, tangan Dafield yang besar dan kuat malah menahan kepalanya, menekannya sehingga kini giliran Dafield yang mencium bibirnya. Dalam dan lama.
                “Marine…” bisiknya setelah Dafield melepaskan ciumannya.
                Marine memandangi lantai di bawahnya. “Aku mau pulang…”
                “Kenapa? Marine, kenapa kau menghindariku, menciumku, lalu mengatakan ingin pulang?”
                “Kenapa kau membalas ciumanku?”
                Dafield terdiam.
                “Jawab.”
                Tangan Dafield merangkum wajah Marine yang putih, kontras dengan kulit Dafield yang kecoklatan. “Karena kau adalah permataku… wanita cinta pertama… dan satu-satunya yang selalu… kucintai.”
                Marine terkejut. Ia berusaha untuk menatap mata Dafield. “Benarkah?”
                “Ya.”
                Marine menangis. “Maaf, Kak Dafield, maaf.”
                “Kau tidak perlu meminta maaf. Itu hanya perasaanku saja, kau tidak perlu membalasnya.”
                “Maaf selama ini aku tidak peka…”
                “Ya, kau memang bodoh.”
                “Kau juga bodoh.”
                “Apa?”
                “Aku kan barusan… menciummu, Kak. Mana mungkin aku akan menciummu kalau aku tidak punya perasaan apa-apa padamu.” Marine tersenyum getir. “Aku aneh, ya. Sampai kemarin, aku masih mencintai Ben. Tapi hari ini, aku mulai… mencintaimu.”
                “Kenapa?”
                “Karena Kak Dafield mengigau, menyatakan perasaan terpendammu. Dan tiba-tiba saja hatiku langsung tercuri olehmu.”
                Wajah Dafield memerah. “Kaubilang aku tidak mengigau.”
                “Mana mungkin aku bilang kan?” Marine tersipu.
                Dafield menggenggam tangannya. “Selama ini aku selalu… mencintaimu sepihak. Jika perasaanmu padaku ini ternyata hanya sementara saja, aku tidak akan sakit hati.”
                “Yakin?”
                “Yah…”
                “Ayah dan ibu pasti tidak akan menyetujui hubungan kita.”
                “Marine, maaf…”
                “Maaf kenapa?”
                “Aku… sebenarnya sudah melamarmu pada orang tuamu sejak kau masih berusia 15 tahun, makanya… orang tuamu selalu tidak merestui hubunganmu dengan Benjamin. Tapi aku meminta mereka untuk merahasiakan lamaranku sampai ulang tahunmu yang ke-22 tahun, agar aku bisa langsung menikahimu setelah kau lulus kuliah.”
                Marine terhenyak. “Apa? Kak Dafield bercanda kan?”
                “Aku tidak bercanda.” Dafield menatapnya lurus-lurus. “Kumohon, jangan membenciku. Aku sangat mencintaimu, makanya aku melakukan hal itu…”
                “Dulu, apakah kau tidak berpikir… kalau aku mungkin akan menolak lamaranmu?”
                Dafield menarik napas. Ia mengangkat bahu. “Entahlah, saat itu aku punya kepercayaan diri yang sangat besar kalau kau akan menerima lamaranku.”
                “Sekarang?”
                “Aku tidak tahu…”
                “Kau pesimis?”
                “Ya.”
                “Saat aku berniat menenggelamkan diri, apa yang ada di dalam benakmu?”
                “Aku sangat marah padamu, tapi juga marah pada diriku sendiri. Gara-gara aku, kau hampir kehilangan nyawamu. Saat kau pingsan, aku terus berpikir seandainya aku melepasmu untuk Benjamin. Aku menyuruhmu pulang dengan kasar karena selain aku marah, aku juga berniat untuk menarik kembali lamaranku. Aku tidak ingin membuatmu menderita dengan cara mengikatmu. Aku tahu semua sudah terlambat karena Benjamin sudah menikah…”
                “Kak Dafield jahat, egois,” ujar Marine pelan.
                Ya, aku tahu itu… maafkan aku, Marine…”
                “Kumaafkan.”
                “Kenapa?”
                “Apakah Kak Dafield berjanji akan selalu mencintaiku dan tak akan pernah meninggalkanku?”
                Mata cokelat Dafield menatapnya tajam. Mata itu sedikit berkaca-kaca. “Aku tidak bisa berjanji seperti itu, tapi aku akan berusaha untuk menepatinya…”
                “Baik, kalau begitu… aku menerima lamaran Kak Dafield.”
                Dafield langsung memeluk dan menggendongnya. “Sungguh? Terima kasih, Tuhan!”
                Marine malu karena Dafield menggendongnya. “Kak Dafield…”
                “Ada apa?”
                “Apakah tokoh wanita dalam setiap novelmu itu… adalah aku?”
                “Kau percaya diri sekali…”
                Marine memukul bahu Dafield pelan. “Aku serius, karena setelah kuingat-ingat, sifat tokoh utama wanita di setiap novelmu mempunyai kemiripan denganku. Misalnya dalam novel ‘Misteri di Mercusuar’, tokoh wanitanya jago berenang di laut, lalu dalam novel ‘Kamar Nomor Seratus Tiga’, tokoh wanitanya suka kentut sembarangan, lalu…”
                Tawa Dafield meledak. Ia memeluk Marine dengan erat. “Yah, kau menang. Memang benar, setiap aku membuat novel, aku selalu membayangkanmu…”
                “Hmmm…”
                Dafield menarik Marine mendekat, lalu mencium bibir gadis itu. “Aku mencintaimu.”
                Marine tersipu. “Aku mencintaimu…”
                Dafield kembali mencium bibir Marine, sampai napas gadis itu terengah-engah.
                “Kak Dafield, su-sudah, aku malu…”
                “Maaf, aku…”   
                “Ti-tidak apa-apa. Se-selamat tidur, Kak Dafield.” Marine tersenyum malu, lalu ia berjalan dengan agak tergesa-gesa masuk ke ruang keluarga. Ia hampir menabrak pintu kaca, membuat Dafield terkekeh.
                Dafield bersandar pada pagar besi bercat putih sambil tersenyum sendiri. Setelah didengarnya pintu kamar Marine ditutup, Dafield menyusul masuk ke ruang keluarga. Lalu ia turun ke kamar kerjanya, bermaksud membuat novel terbarunya, novel yang kisah tokoh utama prianya berakhir bahagia tentunya, seperti dirinya.

END
20 January 2013
Codet











Tidak ada komentar:

Posting Komentar