Kamis, 31 Mei 2012

Cerpen Remaja The Heart Thief

THE HEART THIEF
“Eh, pura-pura menjadi pacarmu?” Rindu Prasetyo nyengir. Ia mengunyah permen karetnya lalu ditiupnya hingga sebesar kepala burung. Ia menggoyangkan kepalanya sambil berpikir. Lalu digaruknya kepalanya yang rada gatal. “Alasannya apa?”
Melly menggigiti bibirnya. “Eh, kau tahu Rifi ‘kan? Kau juga tahu bahwa ia naksir berat padaku ‘kan?”
Rindu mengangkat alisnya, ia mulai mengerti maksud Melly. “Agar Rifi tidak mengejarmu lagi?”
Melly mengangguk senang. “Kau boleh minta apa saja, sebatas kemampuanku. Misalnya dtraktir sushi setiap hari, atau kau mau jaket, baju, sepatu….” Melly menghitung dengan jari. “Terserah kau, deh, pokoknya!”
“Lho, Mel, aku ‘kan belum bilang setuju.”
“Jadi….” Wajah Melly langsung lesu. “Ya sudah….” Melly berbalik, namun Rindu menahannya.
“Aku mau kok, menolongmu, Mel. Tadi aku hanya bercanda.”
Melly menatap Rindu dengan mata berbinar. “Benarkah? Aku senang sekali, Rindu! Nah, apa syaratmu?”
“Aku akan memikirkannya dulu.”
Melly menjabat senang tetangganya itu yang sekaligus merupakan teman sekelasnya di SMA. “Oke, aku pulang dulu.”
Sudah tiga hari Rindu berpura-pura pacaran dengan Melly namun Rifi masih mengejar Melly.
“Apa kita kurang mesra, ya?” tanya Melly pada suatu siang yang cerah tanpa awan mendung. Mereka sedang asyik mengobrol dan bermain di kamar Rindu. Kamar Rindu mengarah ke halaman belakang. Melly dapat menikmati pemandangan di belakang rumah Rindu karena rumah Rindu terletak di atas bukit. Sedangkan rumah Melly di bawah bukit.
Rindu yang sedari tadi membaca majalah Donald Duck sambil tiduran di tempat tidurnya yang berseprai putih bersih, menengok. “Entahlah, yang kutahu dua cewek kelas satu yang suka padaku, patah hati. Kemarin dan dua hari yang lalu, mereka memberi surat cinta padaku. Yah, aku terpaksa menolak mereka.” Rindu nyengir.
Melly bangkit dari duduknya di kisi jendela lalu menghampiri sahabatnya sejak SMP itu. Melly duduk di sisi tempat tidur.
“Melly, mau apa?” Rindu menutup majalahnya. Ia tersenyum kaku. “Apakah kau mau mengajakku bermes….”
Melly memukul wajah Rindu dengan bantal. “Tentu saja tidak!” Melly menatap Rindu iba. “Maaf, gara-gara aku, kau kehilangan dua cewek yang ingin menjadi pacarmu….”
“Bukan masalah, masih banyak yang suka padaku.”
Melly mengernyitkan hidungnya. “Pede sekali, kau! Aku pulang dulu, sampai besok!” Melly melompat keluar dari jendela kamar Rindu dan berlari menuruni bukit.
***
Rindu meremas-remas surat di tangannya. Oke, Rifi menantangku untuk berkelahi dengannya. Boleh saja! Rindu melempar surat dari Rifi ke tempat sampah yang berjarak 2 meter dari tempatnya berdiri.
“Surat dari siapa?” tanya Melly yang baru dari kantin.
“Ah, hanya surat iseng.”
“Surat iseng bagaimana?”
Untunglah bel masuk telah berbunyi sehingga Rindu tidak perlu repot menjawab pertanyaan Melly.
Usai sekolah Melly mengajaknya untuk pulang bareng, tapi Rindu menolaknya. Ia mengatakan bahwa ia harus ikut rapat OSIS. Melly mengangkat bahu sambil tersenyum. “Jangan lama-lama, nanti sore aku ke rumahmu, ya!”
Rindu mengangguk. Ia cepat-cepat pergi ke halaman belakang sekolah setelah semua siswa pulang. Di halaman belakang sepi karena sudah pukul setengah tiga, waktu bagi siswa untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Rindu melihat Rifi sudah menunggunya di tempat itu. Rifi bersandar pada batang pohon mangga, kaki kanannya disilangkan dan tangannya dilipat di depan dada.
“Kau benar-benar memuakkan, Rindu!”
Rindu meletakkan tasnya di tanah berumput yang dipangkas rapi. Rindu menatap Rifi tajam. “Kenapa? Apa salahku? Karena aku berpacaran dengan Melly?”
“Tentu saja!” Kini Rifi berdiri tegak. Ia maju menghadapi Rindu dan menarik kerah kemeja Rindu. “Kau dan semua siswa di sekolah ini tahu kalau aku sudah lama naksir Melly! Lalu tiba-tiba saja kau merebut Melly!”
Rindu tertawa. “Kau bisa lihat ‘kan kalau Melly telah memilihku.”
“Kurang ajar!” Rifi memukul Rindu tetapi Rindu dapat menangkisnya.
“Kau harus mengakui kekalahanmu! Melly kini milikku. Jelas-jelas ia tidak memilihmu untuk menjadi pacarnya, Rif. Sebaiknya kau menyerah saja….”
Rifi kembali memukulnya. Rindu lengah dan ia jatuh ke belakang. Ketika Rifi akan menginjaknya, Rindu menjegal kaki Rifi sehingga Rifi terjerembab. Rindu bangun dan ia pasang kuda-kuda. Rifi ikut bangun. Ia mengusap celana seragamnya. “Kaukira aku sendirian, heh?” Rifi tersenyum licik. “Doni, Alfred, Bun, keluar kalian!” Rifi menepuk tangannya lalu muncullah ketiga temannya itu yang bertampang sangar dari lahir. Doni bertubuh pendek dan kurus, sedangkan Alfred dan Bun bertubuh tinggi kekar. “Serang!”
Tanpa dua kali diperintah, ketiga teman Rifi langsung maju untuk menyerang Rindu. Rindu berusaha menghindar dan membalas semua serangan mereka. Peluh mulai membasahi tubuh Rindu dan napasnya mulai tersengal.
Sial, ini gara-gara aku terlalu sombong dan banyak bicara! Tapi apa boleh buat, aku tidak boleh menyerah! Aku tidak mau memberikan Melly pada Rifi yang sok jago! makinya dalam hati. Dengan jurus karate yang dipelajarinya sejak SD, Rindu terus melawan mereka. Rindu membanting Doni ke tanah, lalu berturut-turut Alfred dan Bun.
Rifi membelalak. “Hei, kalian, ayo bangun! Kita pergi!” Rifi menunjuk Rindu. “Awas kau, lain kali kau akan kalah!” Lalu ia dan teman-temannya melarikan diri.
Rindu berlutut, napasnya tersengal. Ia memegang lengannya yang bengkak akibat pukulan Bun si tangan besar. Rindu mengambil tasnya lalu berjalan ke tempat parkir untuk mengambil motornya. Rindu mendengus kesal dan memukul jok motor. Ban motornya bocor. Sial, Rifi benar-benar licik!
***
“Sejak masuk SMA, baru kali ini kau berkelahi lagi. Kakak masih ingat, perkelahianmu yang pertama di SMP. Dulu kau berkelahi untuk menolong Melly yang digoda anak cowok dari SMP tetangga. Sekarang juga karena Melly ‘kan?” Ella, kakaknya yang kini kuliah jurusan Sastra Jepang semester tiga, tengah mengobati luka di wajah, lengan, dan kaki Rindu.
Rindu mengangguk mengiyakan.
“Kau naksir Melly ‘kan?” Ella nyengir.
“Sembarangan. Aku tidak naksir Melly. Melly itu tetangga, teman, sekaligus sahabatku. Wajar kalau aku menolongnya ‘kan? Melly itu lemah dan ia membutuhkan bantuanku.”
“Nah, selesai!” Ella memukul luka di tangan Rindu sehingga Rindu meringis dan mengumpat. “Sok pahlawan!”
Rindu melempar bantal pada kakaknya, namun hanya mengenai pintu karena Ella keburu kabur keluar kamar sambil membawa kotak P3K. Rindu jengkel. Ia membuka majalah musik namun pikirannya tidak di situ. Ia ingat kejadian di sekolah tadi dan wajahnya tiba-tiba memerah. Apa yang kupikirkan saat berkelahi dengan  Rifi cs? Bahwa aku takkan menyerahkan Melly pada Rifi? Konyol sekali aku!
“Hai, Rindu!” Melly membuka pintu kamar Rindu. Ia membawa plastik putih yang berisi jeruk manis.
“Hai….” Rindu merasa dirinya tidak waras karena jantungnya tiba-tiba berdebar saat melihat Melly. “Tumben bawa jeruk?”
Melly tampak sedih. Ia meletakkan plastik jeruk di meja di samping tempat tidur Rindu, lalu ia duduk di sisi tempat tidur. Rindu melihat airmata di sudut mata Melly.
“Melly? Kenapa menangis?”
“Sebaiknya kita tidak usah berpura-pura pacaran lagi, Rindu….”
“Eh? Kenapa?”
“Aku akan menerima Rifi. Aku tahu dari Rizal, kau berkelahi dengan Rifi cs. Luka-lukamu….” Melly meraba balutan di lengan Rindu.
Jadi Rizal melihat kami! Dasar, kenapa tidak menolongku? gerutu Rindu dalam hati. “Apa kau serius akan menerima Rifi?” Rindu merasa bersalah. Ada perasaan tidak rela di hatinya.
“Aku akan mencoba.”
Rindu memegang tangan Melly dan menatap matanya. “Mencoba apa? Mel, aku tidak apa-apa babak belur. Aku akan tahan, Mel, untuk melindungimu.”
“Tapi kau tidak mencintaiku!” Melly terisak. “Sudahlah, aku mau pulang.”
Rindu tetap memegangi tangan Melly. Ia menarik Melly ke dalam pelukannya. “Aku mencintaimu, Mel!” Rindu kaget akan ucapannya sendiri. Tapi saat ini ia benar-benar sadar. Ia mencintai Melly dan tak ingin memberikannya pada siapa pun!
“Kau bohong! Sejak kapan kau mencintaiku? Mengucapkannya saja kau belum pernah! Padahal aku telah mencintaimu sejak SMP! Apakah kau tidak sadar, aku lebih memilihmu dari semua teman cowokku untuk berpura-pura menjadi pacarku! Aku….”
“Ssstt, Mel, tenanglah.” Rindu mengusap-usap rambutnya. “Aku baru sadar akan perasaanku, Mel. Maafkan aku….” Rindu mengangkat dagu Melly. “Aku baru sadar bahwa selama ini ternyata kau telah mencuri hatiku. Pantas saja aku merasa malas berpacaran dengan cewek manapun….” Rindu tersenyum. “Kita akan tetap berpacaran. Dan soal Rifi, biar kuhadapi, kau cukup memikirkan aku saja.”
 “Aku mengerti….” Melly memejamkan matanya. Jantung Rindu berdebar semakin kencang saat ia akan mengecup pipi gadis itu. Namun Ella keburu datang mengganggunya, membuat Rindu dan Melly salah tingkah.
TAMAT
CODET
25 Maret 2002

Cerpen Cinta Gadisnya Tora


GADISNYA TORA
Pertengahan Agustus 2002.
“Tor, elo mau antar gue jemput adik gue, gak?”
Aku melepaskan headset dari telinga. “Boleh juga. Lagian masa gue ditinggal, sih? Ini kan rumah lo.”
“Ya sudah, buru.” kata Anton sambil keluar dari rumah dan masuk ke mobil.
Aku mengikutinya dari belakang. “Memangnya kalau elo gak libur, siapa yang jemput adik lo?”
“Mang Ujang. Yah kebetulan saja, pas Mang Ujang lagi minta cuti, gue libur.”
Aku mengangguk. “Baguslah.” kataku sambil kembali memasang headset di telinga. Tak kurang dari dua puluh menit kami sudah tiba di sekolah Ayu, adik Anton. “Gue tunggu di mobil, ya.” kataku sambil memandang sekeliling. “Tempat kayak gini sih, gak bisa dipake buat ngeceng, isinya anak ingusan semua….” lanjutku acuh tak acuh.
Anton hanya tertawa mendengar alasanku. “Lagian gue juga gak turun, lagi. Tuh, adik gue!” kata Anton menunjuk ke arah dua orang gadis, yang salah satunya jelas adik Anton.
“Hey, Kak Tora ikut juga?” tanya Ayu sambil membuka pintu tengah mobil. “Oh iya Kak, anterin temen Ayu sekalian, ya?”
Anton mengangguk. “Iya, beres.”
Aku menoleh ke belakang. Sumpah, nih cewek manis banget! Gue tarik omongan gue tadi…. “Hey, gue Tora, siapa namamu?” tanyaku tanpa malu-malu pada teman Ayu.
“Ng…Gadis.” jawab perempuan itu sambil menyambut uluran tanganku.
“Oh, boleh minta nomor handphone-nya?”
Gadis tampak sedikit keberatan. “Boleh, tapi nanti lewat Ayu saja ya Kak….”
Aku tersenyum. Masih polos banget….”Oke kalau begitu.” kataku sambil berbalik dan kembali duduk normal.
Awal September 2002.
“Gila lo, Man! Gadis itu masih kelas 2 SMP…masa lo mau jadiin dia bokin lo? Memangnya adik kelas di sekolahan kita gak ada yang nyantol satupun? Man, kita ini kelas 3 SMA….”
Aku tersenyum memandang sahabat kentalku itu. “Yah elo, bukannya suport gue…lagian masa elo nggak ngeh,sih? Gadis tuh kan beda sama cewek-cewek seumurannya….”
“Lebih dewasa maksud lo? Itu sih cuma penampilannya doang kali, lagian elo kan belum tahu bener  tentang dia.”
“Pokoknya gue yakin sama intuisi gue….”
“Ya sudahlah, terserah lo….”
Aku memainkan kunci motor sambil mendengarkan lantunan lagu yang sedikit nge-rock lewat ponselku.
“Tor, tuh si Gadis!” kata Anton sambil menepuk pundakku.
Aku segera melepas headset dan memasukkannya ke dalam saku seragam kemudian megnghampirinya. “Hai, Dis….”
Gadis tersenyum menanggapiku. Benar-benar manis.
“Aku anterin pulang, ya?” tawarku penuh harap. Aku menyikut Anton sambil tersenyum bisik-bisik.
“Iya, deh….” jawab Gadis walaupun sedikit sungkan.
Aku menyembunyikan kegiranganku dengan berdeham. “Ya sudah, ayo….” kataku pada Gadis. “Man, thanks, ya!” bisikku pada Anton yang menggelengkan kepala tak percaya. “Ayu, Kak Tora duluan!”
“Iya, Kak. Hati-hati, ya….” kata Ayu sambil melambai.
Sepanjang perjalanan aku hanya menikmati perasaanku yang tak karuan. Gadis benar-benar berbeda bagiku. Aku menghentikan motorku di depan rumahnya dan melepaskan helm.
Gadis turun sambil memberikan helm padaku. “Makasih ya, Kak….”
Aku tersenyum. “Eh, nanti malam boleh aku telepon?”
Gadis tersenyum dan mengangguk.
Yeah! “Ya sudah, masuk, gih…biar aku pastikan kau sampai ke dalam rumah dengan selamat.” kataku sambil memakai helm lagi.
Gadis tersenyum sesaat sebelum menghilang di balik pagar rumahnya. Sumpah! Senyumnya itu benar-benar membuatku sedikit sesak napas saking senangnya!!
***
“Halo.”
“Hey, ini aku Tora….”
“Oh, Kak Tora….”
“Sori, aku ganggu kamu gak nih?” tanyaku berharap jawabannya tidak.
“Nggak, kok. Kan tadi siang Kakak sudah bilang dulu….”
“Oh, jadi kalau gak bilang dulu gak boleh nelpon, dong?”
“Bukan…bukan itu maksud Gadis….”
Aku terkekeh. “Iya, aku bercanda, kok…Dis, Sabtu besok ada acara, gak?”
“Nggak ada, sih….”
“Gak ada? Kalau begitu, mau gak kamu jalan sama aku?”
Diam sejenak, sepertinya Gadis sedang berpikir. “Boleh saja, sih….”
“Bener? Kalau begitu, besok pulang sekolah aku jemput kamu di rumah, ya?”
“Iya….”
“Thanks ya, met malam, Dis….” kataku menutup pembicaraan. Terima kasih, Tuhan!
***
Aku melihat pantulan bayanganku dan Gadis di cermin restaurant. Kupikir sangat serasi, lagian mana ada yang nyangka kalau Gadis ini anak kelas 2 SMP, tapi….dia kelihatan polos banget….kataku dalam hati, mengagumi  perempuan yang sedang tersenyum di sampingku ini.
Aku menggeser kursi yang akan diduduki Gadis dan kemudian duduk berhadapan dengannya. “Bagaimana hari ini?”
“Gadis senang banget, thanks ya!” kata Gadis sambil mengangkat bungkusan berisi boneka lumba-lumba super besar yang kuberikan padanya hasil dari bermain di TimeZone.
Aku tersenyum dan meraih tangannya. “Dis, mau gak kamu jadi pacarku?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa Kakak nggak akan menyesal?”
“Loh, kenapa menyesal? Aku gak akan pernah menyesal dan aku juga janji bakal selalu melindungi kamu.”
Gadis terlihat sedikit gugup. Lama ia menunduk. “Iya, deh….” jawab Gadis.
“Iya apa?” tanyaku sedikit menggoda.
“Iya, Gadis mau jadi pacar Kak Tora….”
Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal. “Thaks ya, Dis!”
Gadis hanya tersenyum sambil terus menatapku….
Februari 2003.
“Kenapa, lo Tor? Suntuk amat….”
Aku menghela napas berat. “Elo benar, Ton, kami memang gak nyambung, dia masih kecil….” keluhku.
“Maksudnya, lo sama Gadis?”
“Ya iyalah, masa sama Ayu….”
“Sori, Man, itu sih sudah jelas kelihatan dari dulu…tapi bukannya elo yang selalu berpikir positif, nah, sekarang kenapa elo yang jadi negatif begini?”
“Yah, dia selalu gak bisa ngertiin apa yang gue mau…masa kalau nge-date, tempat yang kita datengin cuma TimeZone doang, sudah gitu gak ada saat mesra-mesranya, lagi!”
Anton tertawa geli.
“Elo kok malah ketawa, sih?” protesku sedikit kesal.
“Ya iyalah gue ketawa…secara, gitu, bokin lo kan anak SMP! Pake acara mesra-mesraan, tidur saja masih dinina boo-in kali….”
“Sialan, lo, memangnya dia anak SD! Ya gak segitunya kali…lagian ‘mesra-mesraan’ yang ada di otak lo apaan, sih? Dasar piktor!”
Anton menggelengkan kepala. “Elo sudah ngapain dia sih?”
“Dasar memang piktor, lo, otak udang! Paling parah sebatas cium pipi sama kening doang, kok.”
“Gue gak percaya, secara Tora Evan, cowok paling populer di sekolahan yang dekat dengan cewek-cewek and doyan banget nonton blue film, cuma sebatas cium pipi sama kening? Gak mungkin….”
“Bangsat, lo! Sialan pake tambah-tambahin! Kata ‘doyan’ kayaknya gak perlu, lagian elo juga kan suka nonton film gituan, muna lo….”
“Bercanda, Man! Masukkin ke hati amat, sih….Oke, deh, balik lagi…so, sekarang lo mau apa?”
“Kayaknya gue mau bubar saja, deh, sama dia…lagian gue juga mau fokus dulu sama ujian kali….”
“Elo yakin?”
Aku mengangguk yakin. Memang, sih gue benar-benar sayang pada Gadis, tapi sifatnya yang kekanakan itu bikin gue merasa jauh sama dia, gue serba salah…dia memang terlalu polos buat gue, gue jadi selalu merasa terbebani untuk selalu bisa menjaga dan melindungi dia, jujur…gue takut dia rusak karena gue….
***
“Dis, kita sudahan saja, ya….” kataku tanpa basa-basi saat tengah bermain di taman ria. Gadis melepaskan genggaman tanganku tanpa berkomentar. “Sori, bukan maksud aku…jangan nangis, dong….” pintaku saat melihat Gadis menggigit bibirnya sambil menangis.
Gadis menyeka air matanya dan berusaha tersenyum. “Kalau begitu anterin Gadis pulang sekarang, ya….”
“Ya sudah….” kataku. Sori ya Dis…
.”Dis, jangan nangis lagi, ya. Nanti Mama kamu nyangka yang nggak-nggak lagi….”
Gadis menghela napas. “Tenang saja, Gadis sudah cukup besar untuk mendapat kepercayaan Mama, kok!” kata Gadis sambil membuka pintu mobil.
“Dis….” panggilku merasa bersalah. Tapi Gadis tidak menoleh dan terus turun dari mobil. Aku terus menatapnya sampai ia menghilang di balik pagar. Gadis, aku benar-benar sayang kamu….
***
Saat ini….
Aku bangun dari bangku karena sudah tiba di terminal tujuan. Saat melangkah keluar dari busway, tasku tersangkut tas perempuan di sebelahku. “Sori, ya, nanti di depan gue benerin.” kataku tanpa melihat perempuan di sebelahku dan menariknya ke tempat yang lengang. Aku mencopotkan gantungan kunci yang terkait pada retsleting tas perempuan itu. “Sori…eh? Gadis?”
Gadis mendongakkan kepala menghadapku. “Kak Tora…?”
Aku mengangguk. “Kebetulan banget ya, bertemu di sini. Mau ke museum juga? Atau mau ke mana?”
“Ke museum. Lagi ngerjain tugas akhir….”
“Oh, kalau begitu bareng saja, yuk. Aku juga mau ke sana.”
Gadis mengangguk.
Aku memerhatikan Gadis lekat-lekat. Sekarang dia tambah manis, tapi justru terlihat imut dan kekanakan dengan poni dan rambutnya yang panjang dan bergelombang melewati bahu. aku segera memalingkan wajah saat Gadis menoleh padaku.
“Kak Tora mau apa ke museum?”
“Oh, cuma mau lihat-lihat saja, kok. Daripada bengong di rumah….”
Gadis tersenyum geli.
“Kok malah ngetawain, sih?”
“Lucu saja, masa anak cowok yang jenuh di rumah perginya ke museum, apalagi anak cowok yang tampangnya sedikit bad boy kayak Kak Tora….”
“Wah, pelecehan namanya….” kataku pura-pura tersinggung.
“Iya deh maaf, bukan maksud hati, kok….” Gadis tetap tersenyum.
Hari ini aku benar-benar bersenang-senang dengan Gadis. Dan kelihatannya dia malah lebih enjoy daripada aku….Mungkin kebetulan ini merupakan keberuntungan buat gue, ya?
***
“Apa? Elo mau nembak Gadis lagi?” tanya Anton yang benar-benar terkejut dengan pernyataanku. “Gue yakin, dia pasti bakal nolak lo, Man!”
“Memangnya atas dasar apa kau bilang begitu?”
“Secara, lo sudah pernah nyakitin hati dia, elo yang minta dia jadi cewek lo, dan elo juga yang mutusin dia…eh sekarang elo malah mau nembak dia lagi? Apa kesannya gak kayak lagi mainin?”
“Wah, melankolis banget, sih, terlalu dramatis, nih….” kataku berusaha mengelak. Iya, sih, kalau dipikir-pikir gue memang sudah menyakiti hati Gadis…tapi apa salah aku memutuskan hubunganku dengannya karena alasan yang kupikir masuk akal?
“Kak Tora….” tegur Ayu sedikit manja. “Cie, minggu kemarin ketemu sama Gadis, ya?”
“Tahu darimana, Yu?”
“Gadis yang cerita. Uh, CLBK, dong Kak!” goda Ayu sambil menyenggol bahuku.
Bukan CLBK, tapi gue memang selalu memendam perasaan gue buat Gadis! ujarku dalam hati. “Yu, Gadis sudah punya cowok, belum?”
“Yang naksir sih banyak, tapi tahu deh, ditolakin melulu tuh! Kemarin saja, KM kelas Ayu yang nembak dia ditolak! Kalau dia nembak Ayu, pasti Ayu terima!”
“Itu sih karena elo naksir!” ejek Anton pada adiknya.
“Yee, sirik! Makanya cepet cari cewek, dong!” balas Ayu sambil berteriak. “Oiya, Kak, kayaknya sih Gadis masih suka sama Kakak….” bisik Ayu serius.
“Sok tahu kamu….”
“Yah, dibilangin…soalnya selama hampir tiga tahun di SMA ini kayaknya Gadis gak pernah curhatin cowok yang serius gitu ke Ayu, palingan kalau kagum-kaguman sama cowok sih pernah…tapi yang serius, Ayu belum pernah dengar.”
“Ah, yang benar, Yu?”
“Suer! Memangnya kenapa, Kak?”
“Ng…kalau misalnya Kak Tora nembak Gadis lagi, gimana?”
“Serius? Wah, Ayu sih dukung banget! Secara, kalian berdua tuh cocok banget! Tapi…kalau menurut Ayu, kayaknya mesti spesial banget, deh, soalnya ini bukan yang pertama, dan dulu Kak Tora kan pernah nyakitin Gadis….”
“Tuh kan, apa kata gue! Elo sudah nyakitin dia!” sembur Anton yang baru balik dari dapur.
“Iya, gue tahu…so apa elo berdua bisa bantuin gue?” tanya Tora saat terlintas ide cemerlang di benaknya.
***
“Ngapain sih kita ke sini?” tanya Gadis sedikit riskan saat diajak ke rumah Tora.
“Ayo, dong Dis, bentar doang kok…ini kan masih jam delapan. Apa salahnya sih masuk sebentar?” bujuk Ayu saat tiba di depan rumah Tora.
“Tapi tadi lo bilangnya mau ke rumah lo, ko malah ke rumah Kak Tora?” protes Gadis kesal.
“Iya, deh sori. Tapi please, kali ini saja elo mau dengerin gue, masuk yuk….”
Gadis diam sejenak. “Nggak mau ah, elo saja yang masuk sendiri, gue tunggu di mobil saja.”
Please, ayo dong Dis…masa elo tega sama gue? Padahal minggu kemarin elo cerita sama gue kalau elo seneng banget ketemu sama Kak Tora….”
“Tapi kan bukan berarti gue sudah memaafkannya.”
“Iya gue ngerti, tapi please,elo mau turun, ya….”
Gadis memandang sahabatnya lama. “Oke, gue turun…tapi ini bukan buat Tora, tapi buat lo….”
Ayu tersenyum lega. Yang penting elo turun! pikir Ayu sambil turun dari mobil.
Saat pagar rumah terbuka, Gadis benar-benar terkejut. Garasi mobil berukuran 7 x 6 meter itu diubah menjadi padang mawar yang sangat indah. Dan di tengah padang mawar tersebut tertulis lengkap namanya, Rosalie Gadis Olita yang berarti seorang Gadis yang seharum mawar.
Ayu mendorong Gadis untuk melangkah ke jalan setapak yang sudah disiapkan. “Apa-apaan, sih, Yu?”
“Sudah, lo masuk saja. Buru….” kata Ayu terus mendesak Gadis.
Gadis menarik napas mengatasi debaran jantungnya. Ia mulai melangkah melewati garasi dan masuk ke halaman rumah Tora yang jugasudah dihias semanis mungkin. Di tengah halaman rumahnya telah disiapkan meja dan dua buah kursi serta makanan lengkap dengan lilinnya. Di setiap sudut halaman terlihat mawar dengan berbagai warna, tetapi mawar itu bukan mawar batangan, melainkan mawar hidup. Di hadapan semua keindahan itu, pandangannya tetap terpaku pada satu sudut dekat ayunan, Tora….
“Maaf, kalau mungkin ini gak indah di mata kamu, tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuatmu suka….”
“Tapi untuk apa?”
“Malam ini, aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku masih sayang kamu, aku ingin kita berdua  mulai semuanya dari awal lagi….”
“Aku hargain semua ini, tapi tidak segampang itu untuk menerima kamu lagi….” kata Gadis sambil memijat dahinya kesal. “Kamu sudah menyakitiku, dulu kamu bilang kalau kamu nggak akan pernah menyesal jadi cowok aku, tapi kamu tetap meninggalkan aku….Apa semuanya akan kauulangi lagi?” sindir Gadis.
Tora berjalan perlahan mendekati Gadis. “Dulu kamu masih kecil, Dis, aku gak bisa…aku takut aku gak bisa menjagamu seperti janji aku….”
“Tapi itu menurutmu, jangan mentang-mentang dulu aku masih SMP, jadi kamu menganggapku masih kecil. Lalu kamu pikir aku nggak bisa terluka, kamu salah besar….”
“Iya, aku tahu aku salah…sekarang aku ingin memperbaiki semua. Jadi please, kasih aku kesempatan.” Aku memohon sambil meraih tangan Gadis.
Gadis menepisnya. “Kesempatan untuk menyakitiku lagi?”
Aku berlutut di hadapan Gadis, menepis semua perasaan dan harga diriku. “Aku mohon, Dis, aku benar-benar ingin mengulanginya dari awal….”
Gadis melangkah mundur. “Bangun….”
“Tapi Dis….”
“Bangun….”
Aku menghela napas dan berdiri. “Tapi paling nggak, kamu dinner dulu, ya. Sayang kan makanannya kalau gak dimakan….” pintaku belum menyerah.
Gadis menatapku lama. “Ya sudah….”
Tiga puluh menit berlalu tanpa sepatahkata pun. Aku benar-benar tidak menikmati makan malam ini jika hanya menjadi makan malam terakhir.  “Dis, sekali lagi aku ingin bertanya, mau gak kamu menjadi cewek aku lagi?”
Gadis meneguk sirupnya. Ia hanya tersenyum dan tidak menjawab. “Berapa lama kamu menghabiskan waktu untuk mendekor semua ini?”
Aku menunduk pasrah. Ya sudahlah….”Dua sampai tiga hari.”
“Maaf ya, jadi buang waktu kamu sia-sia….”
Aku berusaha tersenyum. “Gak sia-sia kok…karena kamu sudah mau datang saja, cukup buat aku.”
“Yang benar? Padahal aku berniat menerima kamu, lho….”
“Iya…apa?”
Gadis tersenyum. “Aku mau memulai semuanya dari awal lagi sama kamu….”
“Serius?”
“Atau kamu mau aku berubah pikiran?”
Aku menggeleng dan segera mendekat pada Gadis lalu mengajaknya berdiri.
“Sifat to the point kamu nggak pernah berubah, ya…selalu saja mengungkapkan apa yang ada di otak kamu tanpa permisi, selalu seenaknya saja….”
Aku tertunduk menatap gadis di hadapanku. Gadis yang benar-benar menawan….
“Kenapa kamu berubah pikiran?”
“Aku nggak berubah pikiran, kok. Aku memang masih sayang kamu….”
“Terus, yang awal tadi kamu ngomong panjang lebar itu apa?”
“Itu hanya unek-unekku saja, habis….”
Aku mengecup bibir Gadis agak lama. “Inilah sebabnya kenapa aku mutusin kamu, aku gak mau kalau aku merusak kepolosan kamu…nanti aku malah dibilang kena kasus pelecehan di bawah umur, lagi….”
Gadis hanya terpaku atas perlakuanku.
“Kok bengong, sih?”
“Ini yang pertama untuk aku! Gimana, sih, padahal aku sudah menyiapkan ciuman pertamaku ini untuk suamiku!” protes Gadis sambil memukul dadaku.  “Dasar bodoh, bego!” Gadis hendak menjauh, tapi aku menahannya. “Apa lagi?”
Aku mengambil kotak kecil dari saku jeansku dan menarik lengan Gadis. “Setalah lulus nanti, akulah suamimu….” Kataku sambil memasangkan cincin emas putih di jari manis Gadis. “Karena untuk selamanya, kamulah Gadisku….”
THE END
Annisa Haryono
2002








Cerpen Remaja Biarkan Aku Mencintaimu


BIARKAN AKU MENCINTAIMU
Saat pertama kali berbicara dengan Randika, ucapannya begitu sombong, terkesan meremehkan orang lain. Memang wajahnya sangat tampan, berkulit putih, dan tinggi atletis. Rambutnya yang lurus dan hitam berstyle korea sangat keren di mataku. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Oke, aku tidak munafik, aku memang suka wajahnya yang tampan. Tapi aku lebih suka pada sikapnya yang sedikit angkuh, penuh percaya diri, jujur, setia kawan, dan berpengetahuan luas.
Entah kenapa, baru kali ini aku sangat nyambung dan nyaman berbicara dengan cowok. Rasanya aku ingin terus mengobrol dengannya, soal apa saja. Mulai dari obrolan yang sangat tidak penting, sampai obrolan yang sedikit penting. Rasanya waktu di kampus untuk mengobrol dengannya sangat sedikit. Aku ingin bertemu setiap saat, ingin mengobrol setiap saat.
Saat aku mengirim sms padanya untuk pertama kalinya, jantungku berdebar tidak karuan. Apalagi saat ia membalas smsku, jantungku sepertinya hampir melompat keluar. Meskipun ucapannya pedas, tapi ia sering menasihatiku tentang banyak hal. Seperti misalnya, “Kau tahu, semua lelaki itu pembohong besar. Banyak rayuan dan tipu muslihat. Sebaik-baiknya lelaki, pasti punya tipu muslihat. Mulut manis tapi hati berkata lain. Ya seperti aku aku ini.”
“Yah, aku tahu.” ujarku malas-malasan.
“Aku serius. Yah, lelaki yang benar-benar baik memang ada, tapi sangaaaat jarang. Seperti temanku, Key.”
Aku tertawa menanggapi. Menurut Randika, Key yang baik, pendiam, dan pemalu menyukaiku. Tapi aku tidak suka padanya. Tentu saja, saat ini kan aku sedang tertarik pada Randika!
“Benar, Key itu baik. Kenapa kau tidak mencoba dengannya?”
“Sudahlah, jangan bercanda terus.”
“Coba saja tanya padanya. Atau kau dekati dia lalu kaulihat apa reaksinya.”
Aku menatapnya dengan senyum. “Aku tidak suka padanya.”
Randika mengangkat bahu.
Aku bersaing secara sportif dengan Hana, temanku, untuk memperebutkan Randika. Lucu sekali….
“Hai, lagi pada ngapain, nih?” Seorang perempuan datang mendekat dengan gayanya yang tomboy dan menyenangkan, Deswita. Aku, Hana, dan Deswita berteman dan ia tahu bahwa aku dan Hana menyukai Randika. Ia sangat dekat dengan Randika. Deswita menyayangi dan memanjakan Randika seperti adiknya sendiri, meskipun ia sudah mempunyai pacar, Farhan namanya. Tapi terkadang aku melihat Deswita lebih senang bersama Randika dibanding dengan pacarnya sendiri. Tapi tentu saja itu hanya pikiranku sendiri, karena tidak ada yang tahu isi hati orang.
Aku dan Hana sangat penasaran dengan isi hati Randika terhadap Deswita.
“Aku hanya menganggapnya kakak.”
“Bohong, ah.” Aku menatap matanya yang cokelat, mencari kebenaran.
“Kalian ini, kenapa selalu menanyakan hal itu terus-menerus, sih?” Randika tertawa. “Aku jadi tidak nafsu makan nih.”
“Maaf….”
Randika tertawa. “Aku hanya bercanda, kok.” Lalu ia meneruskan makan nasi gorengnya di kantin yang ramai.
Saat ulang tahun Randika, kami bertiga; Deswita, aku, dan Hana merencanakan ulang tahunnya diam-diam. Membuat pesta kejutan kecil-kecilan dengan kue dan kado. Sebenarnya ini rencana Deswita. Aku dan Hana hanya memberinya kado sedangkan Deswita memberi kado sekaligus kue ulang tahun. Aku sedikit iri, tapi aku mencoba menelan rasa iriku itu. Randika sangat terkejut dan terharu. Apalagi saat Deswita memberinya kado. Aku menatap wajah Randika yang berseri-seri saat menatap Deswita.
 Bebarapa minggu kemudian aku mendengar kabar bahwa Deswita putus dengan Farhan, membuat hatiku was-was. Aku selalu melihat Randika menenangkan hati Deswita yang sedih. Banyak cewek yang mencemooh Deswita, mengatakan bahwa Deswita putus dari Farhan karena Randika. Tapi aku tidak memercayainya, karena aku tahu sifat Deswita. Ia mungkin sedikit suka pada Randika, tapi itu bukan cinta. Aku tahu Deswita memang akrab dengan banyak lelaki karena itu aku tahu Deswita tidak menganggap Randika lebih daripada adik.
“Munafik, Deswita itu cintanya pada Randika, bukan Farhan.” ujar Tasya, sahabat Farhan.
“Tidak begitu. Deswita hanya menganggap Randika adik.”
“Kau temannya, jelas kau membelanya!”
“Kau juga teman Farhan, jelas kau membelanya. Mungkin ada alasan lain kenapa mereka putus.” Aku menatap kesal pada Tasya.
Aku kembali bertanya tentang isi hati Randika. Dan ia tetap menjawab, “Hanya kakak.”
“Sungguh?”
Ia mengangguk.
“Ada cewek yang kausuka?”
“Tidak ada.”
Aku tersenyum senang mendengarnya. Tapi entah kenapa aku begitu polos entah bodoh percaya saja pada ucapannya. Karena dua minggu kemudian (aku baru saja datang dari kampung halamanmenghabiskan liburan) aku mendengar kabar dari Hana bahwa  Randika dan Deswita jadian. Aku sangat shock mendengarnya. “Kau bohong, kan, Na?”
“Aku tidak bohong. Aku tahu hatimu sangat sakit saat ini. Tapi kau harus tenang. Deswita tidak bilang padamu karena ia menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya padamu. Ia tidak ingin gara-gara ini kau memusuhinya.”
“Kau sendiri bagaimana? Bukankah kau sangat menyukai Randika?”
“Aku menyukai Randika yang menyukai Deswita.” ujarnya tenang.
“Apa maksudmu?” Airmataku sudah tak terbendung lagi. Mata juga hatiku terasa panas.
Deswita memegang bahuku dengan sabar. “Aku sudah punya feeling dari dulu bahwa Randika menyukai Deswita. Tapi aku diam saja, aku tidak ingin membuatmu putus harapan. Dengar, Tiwi, kau jangan mengungkit apa pun pada Deswita sampai ia sendiri bicara padamu.”
Aku menggigit bibirku, aku terisak saat berkata, “aku tidak mau percaya ini, Na!” Aku menangis di bahu Hana, lalu ia menepuk-tepuk bahuku.
***
“Kau pengkhianat.” Aku menatap benci pada Deswita.
“Maaf…tapi aku tidak mengkhianati siapa-siapa.” Deswita menatapku.
“Kaubilang kau tidak menyukainya! Kaubilang kau hanya menganggapnya adik! Dan kau sangat tahu perasaanku padanya!”
“Tiwi….” Deswita tetap menatapku. “Aku sudah berulang kali menolak pernyataan cintanya, karena aku hanya menganggapnya adik, percayalah.”
“Lalu kenapa  akhirnya kau terima cintanya?”
“Ia bilang ingin diberi kesempatan untuk masa percobaan….” Deswita menatapku dengan bola matanya yang hitam dan meneduhkan. “Setelah aku putus dengan Farhan, ia terus menghiburku. Lalu ia bilang padaku bahwa ia menyukaiku sejak pertama kali bertemu, namun mulai jatuh cinta padaku saat aku memberinya kue ultah dan kado. Ia terharu dan salah paham akan perhatianku itu….” Deswita tersenyum. “Aku ingin mencoba mencintainya, Tiwi.”
Aku menarik napas, mencoba menahan airmataku yang hampir tumpah. “Baiklah, aku mengerti.” Lalu aku langsung pergi meninggalkan Deswita yang duduk termangu di bangku taman kampus.
Malamnya aku melihat Deswita dan Randika berduaan di taman kampus. Hatiku terasa sakit melihatnya. Dengan menahan airmata kuucapkan selamat pada mereka berdua. Lalu aku permisi ke kantin. Airmataku kembali menetes untuk kesekian kalinya.
“Tegar, dong, Tiwi.”
“Aku nggak bisa secepat itu tegar, Na. Aku ingin pulang kampung lagi, menenangkan diri.”
“Pengecut.”
“Apa kaubilang?”
“Jangan lari dari masalah! Kau harus hadapi kenyataan, kalau kau kalah bersaing dengan Deswita. Lagipula…masih banyak cowok yang jauh lebih baik dari Randika.”
Aku menatap Hana dengan pandanganku yang buram karena airmata. Aku melihatnya berdiri tenang, mencoba mencari tahu isi hatinya. Mungkin ia lebih sakit hati dariku? Bagaimana ia bisa bersikap tenang begitu? Bagaimana cara Hana menyembunyikan isi hatinya yang galau? “Butuh waktu untuk memulihkan rasa sakit hatiku….”
Malam itu aku tidak bisa tidur. Lalu keesokannya aku menemui Deswita. “Kalian memang pacaran, tapi izinkan aku untuk menyukai Randika.”
“Tiwi, jangan begitu….”
“Aku takkan mengganggu. Jadi biarkan aku mencintainya. Sampai aku menemukan cinta yang lain.”
“Baiklah, terserah kau saja.” ucap Deswita akhirnya, dengan sedikit rasa cemburu.
Aku tersenyum. Lalu aku permisi ke kantin untuk membeli es teh manis, sekedar menghilangkan kegugupanku. Di sana aku bertemu Randika yang sedang makan siang.
“Kau belum pedekate juga pada Key?”
“Ah…aku malas untuk berpacaran….” dalihku.
“Sekarang ini ada lelaki yang sedang menyukaimu dan mengharapkanmu. Kenapa tidak menyambutnya? Nanti giliran kau mulai menyukai Key, Key malah berpaling pada cewek lain dan meninggalkanmu.”
“Sadis sekali kata-katamu.” Aku agak takut juga mendengar nasihatnya.
Randika tertawa. “Percayalah padaku.”
“Aku tidak ingin terburu-buru…biar waktu yang menjawab, Dika.”
Randika mengangkat bahu lalu melanjutkan makannya. Aku tersenyum memerhatikan Randika yang makan. “Apa, lihat-lihat? Sana pergi, ganggu orang makan saja.” Randika pura-pura mengusirku. Aku tertawa lalu aku pergi meninggalkannya menuju kelas untuk kuliah.
Tidak apa-apa kan jika aku mencintai Randika? Mungkin aku bodoh, tapi saat ini aku masih ingin mencintainya, masih ingin mengobrol dan bercanda dengannya, menikmati ucapannya yang pedas serta nasihat-nasihatnya yang meyakinkanku….
TAMAT
CODET
Mei 2012






Cerpen Remaja Pengagum Rahasia


PENGAGUM RAHASIA
“Siapa namanya?” tanyaku pada salah seorang temanku, sambil menunjuk seorang lelaki yang sedang berolahraga di lapangan. Yang kutahu ia adalah kakak kelasku.
“Yang memakai kaus biru itu? Kak Fachri. Kenapa Ris?”
Senyum penuh arti tak sadar kulakukan, sampai aku sadar Tias menunggu jawabanku.
“Yah? Tidak apa-apa, aku hanya bertanya.”
Beberapa hari setelah UAS selesai, seorang kakak kelas yang baru kuketahui ternyata bernama Fachri muncul dan mencuri perhatianku. Tak perlu waktu lama, aku pun mulai penasaran akan dirinya. Setiap hari kulihat semua status-statusnya yang ia tulis di akun facebooknya dan berusaha untuk memahami dan menjawab setiap pertanyaan yang ia tulis, meski aku tahu itu bukan untukku.
Suatu hari keinginanku untuk dekat dengan Kak Fachri menjadi semakin besar. Tidak, tidak untuk menjadi pacarnya.
“Kirim email saja supaya dia bisa mengenaliku.” ucapku tersenyum dan mulai mengetik dan merangkai kata demi kata. Hari demi hari berlalu dengan indah, Kak Fachri selalu hadir untuk aku kagumi. Entah ini hanya perasaan atau memang benar, ia melihatku di setiap pertemuan yang kubuat tak sengaja ini. Ternyata, ia menyadari kehadiranku, aku begitu gembira! Gembira yang tak dapat kutunjukkan di hadapannya. Sampai suatu hari, temanku memberitahuku bahwa Kak Fachri sedang mendekati Nisa, seorang gadis manis yang sering mendapat perhatian lelaki.
Aku sadar, di sini aku hanya berperan sebagai pengagum rahasia, bukan menjadi tokoh utama dalam kehidupan kak Fachri. Aku pun memutuskan untuk mundur dan melupakan kak Fachri secara perlahan, walaupun kutahu cinta Nisa sudah untuk lelaki di seberang pulau sana.
Di suatu pagi, acara perpisahan untuk kelas 12 yang diadakan di sekolahku digelar. Terbesit di pikiranku untuk bisa berfoto dengan Kak Fachri, tapi ide ini ku tepis jauh-jauh. Sudut mataku mencari-cari kehadirannya saat acara sudah dimulai. Aku berdiri di lantai atas sekolahku saat sebuah suara yang kukenal menggema, ya, itu Kak Fachri di atas panggung sedang bernyanyi seorang diri dan menciptakan momen tak terlupakan untuk acara ini! Kemeja kuning dan jas krem tampak melekat dan sangat serasi di tubuhnya.
Alunan nada yang ia dendangkan sungguh membuatku tersenyum, entah apa makna dari sebuah senyumanku. Aku melihatnya yang tersenyum dan mengenakan pakaian yang sungguh membuatnya semakin tampan.
Acara demi acara berlalu, tapi aku dengan setia menunggu sampai akhir acara saat semua orang sedang sibuk mengabadikan momen bahagia ini. Kulihat banyak teman-temanku mengabadikan momen melalui sebuah pose bersama kakak kelas 12, membuat ide yang tadi kutepis jauh-jauh kini kembali muncul dan memaksaku untuk melakukannya.
Kuajak temanku untuk meminta Kak Fachri tersenyum sekejap bersamaku yang diabadikan oleh satu kali jepretan. Setelah tekadku sudah bulat, kucari Kak Fachri dari ujung ke ujung. Sampai tiba saatnya aku memintanya untuk berfoto denganku. Ini adalah foto yang pertama dan mungkin yang terakhir pula. Aku tak perlu malu untuk mengajaknya berfoto karena memang sudah banyak adik kelasnya yang mengajaknya berfoto bersama. Kak fachri memang kakak kelas yang dikagumi oleh adik-adik kelasnya, ya, termasuk olehku.
Saat aku memintanya untuk berfoto, tak ada sepatah kata dan senyum darinya, tak kuambil pusing asalkan ia bisa tersenyum bersamaku. Satu kali jepretan membutuhkan waktu yang lama karena kegrogianku dan juga temanku. Akhirnya sebuah kenangan dan impian yang dari dulu aku inginkan kudapatkan. Kuucapkan terima kasih padanya dan kuajaknya mengobrol, tidak, ini hanya ada dalam pikiranku dan tak ada maksud untuk mewujudkannya karena aku tak mempunyai keberanian itu.
Foto yang kudapat tak henti-hentinya kuperlihatkan pada semua teman yang aku temui, bahkan dunia pun akan kuberitau, tapi tentu saja aku tak ingin Kak Fachri mengetahui apa yang aku lakukan saat ini. Bahkan aku pun memajang foto ini di layar BlackBerry-ku meskipun foto yang sebenarnya tidak sempurna ini karena aku tersenyum begitu kaku dan Kak Fachri mungin bisa dikatakan tak berekspresi. Menurutku kemungkinan ia terkejut karena secara terang-terangan aku megajaknya berfoto karena kutahu ia mengetahui keberadaanku jauh-jauh hari.
Senyum tak pernah luntur sesudah aku berfoto dengan Kak Fachri. Ketika sebuah masalah menerpa, di saat aku melihat foto itu, aku tersenyum dan siap untuk menyelesaikan masalahku.
Setelah acara perpisahan itu, tiba saatnya pengumuman kelulusan bagi kelas 12 yang berarti perpisahanku dan Kak Fachri semakin dekat. Ia berbaris di jajaran ujung tempat kelasnya. Kuawasi Kak Fachri lewat sudut mataku dari lantai atas sekolahku. Saat semua kakak kelasku bergembira mengetahui mereka menuntaskan pendidikan di almamater tercinta ini, aku pun bahagia sampai ingin rasanya kuteteskan sebutir air dari mataku dan tentu saja ingin kuucapkan selamat dan doa-doaku pada Kak Fachri.
Aku tak tau apakah aku akan berjumpa dengannya lagi jika tidak disekolah. Mungkin ia akan merantau jauh dari sekolah seperti yang dilakukan banyak orang. Entahlah, aku merasa Kak Fachri special buatku meski ia tak melakukan suatu hal khusus buatku.
Inilah akhir cerita dari seorang gadis remaja bernama Risa, iya itu aku. Yang gagal untuk mewujudkan keinginannya mendekati kakak kelasnya karena keterbatasan waktu dan juga keterbatasan ruang yang mempengaruhi kelancaran hubungan ini. Karena dari sebuah pertemuan, akan terlahir pula sebuah perpisahan yang mungkin tak seorang pun rela untuk bertemu dengannya. Mungkin Tuhan belum mengizinkannya, mungkin tidak untuk sekarang. Tapi aku percaya ada rencana indah Tuhan dibalik ini semua.
TAMAT

PROFIL PENULIS
Nama:Miiko
TTL:Kuningan,19Agustus1996
email: asri.agustin@yahoo.com