I DON’T CARE WHO YOU
ARE
Ketika
Merryl akan masuk ke kamar kostnya, Helga, cowok penghuni lantai atas,
mencegatnya di pintu kamar. Saat itu sudah pukul setengah sebelas malam, dan
kebanyakan penghuni kost sudah tidur. Jam malam di tempat kost Merryl sampai
jam sebelas malam.
Helga melepas tas dan jaket Merryl hingga jatuh ke lantai.
Merryl terkejut dan berusaha mendorong Helga, namun Helga lebih kuat. Helga
memeluk Merryl dengan kuat dan kasar. “Merryl, aku menyewamu semalam.” bisiknya
parau. Merryl bergetar, tubuhnya tidak dapat bergerak. “Berapa penghasilanmu
hari ini?” tanyanya mengejek sambil menatap Merryl.
Merryl balas menatapnya dengan mata berkilat-kilat.
“Lepaskan tangan kotormu! Aku bukan pelacur!” Merryl berbisik. Ia menggertakkan
giginya.
“Oya? Lalu kenapa kau selalu mengenakan pakaian minim
seperti ini? Tank top dan rok mini?”
Ia menggendong Merryl ke lantai atas. “Aku akan membayarmu cukup mahal, Madam.
Tenanglah.”
Merryl memukul-pukul bahu Helga. Ia merasa takut dan super
mual. Ia sangat ketakutan karena Helga menyangkanya seorang pelacur! Merryl
berusaha tidak berteriak karena jika para penghuni kost bangun, ia akan lebih
malu lagi. Jadi ia hanya memukul-pukul dan menendang-nendang.
Sesampainya di kamar Helga, ia hanya menyalakan lampu di
sisi tempat tidur saja. Helga membawa Merryl ke tempat tidur dan
membaringkannya. Ia menelungkup di atas Merryl. “Kenapa kau menangis? Kau
sering melayani pria lain, tapi kenapa kau menangis sekarang?” Helga menggeram
marah.
Merryl menatap Helga dengan hati tertusuk-tusuk. “Teganya
kau! Hanya karena kau kaya dan aku miskin, bukan berarti kau bisa seenaknya
menuduhku pelacur!”
“Lalu apa pekerjaanmu? Dari pakaianmu….”
“Aku bekerja sebagai….” Merryl berhenti. “Aku tidak perlu
menceritakannya padamu. Yang pasti aku bukan pelacur.” Ia memalingkan wajahnya.
Helga bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. “Kau memang
baru di tempat kost ini dan tidak ada yang tahu apa pekerjaanmu. Semua penghuni
kost menduga-duga apa pekerjaanmu. Dugaan mereka sama denganku….” Helga memerhatikan
kulit putih Merryl. “Aku heran Ibu kost mau menerimamu di sini.”
Tentu saja, karena Ibu kost tahu apa pekerjaanku, ujar
Merryl dalam hati. “Bukan urusanmu ‘kan?” Merryl membereskan gaunnya dan
beranjak dari tempat tidur menuju pintu.
“Kau tidak menamparku?”
“Aku tidak biasa menampar orang, permisi.” Merryl menutup
pintu dan berjalan menuruni tangga dengan tubuh gemetar dan lutut lemas. Ia
mengambil jaket dan tasnya yang terjatuh di depan kamarnya, membuka pintu, lalu
masuk ke kamarnya. Dengan sisa tenaganya ia berganti baju, cuci muka, dan
menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Ia terus teringat tatapan Helga yang mengejek dan dipenuhi
rasa jijik. Walaupun ia bukan pelacur, tapi ia memang memamerkan kakinya yang
putih dan langsing itu. ia bekerja selama 3 jam, melayani pembeli pria di toko
baju pria eksklusif. Gajinya lumayan besar untuk kuliah dan biaya hidupnya.
Merryl memejamkan matanya dan membiarkan airmatanya
mengalir. Merryl berpikir ia harus segera mencari pekerjaan lain yang lebih
baik.
Keesokannya Merryl bangun lebih pagi dari biasanya karena
ia tidak ingin bertemu dengan Helga. Namun sial, ternyata Helga sedang berdiri
di depan pintu kamarnya. Merryl langsung waspada.
“Jangan khawatir, aku hanya ingin meminta maaf soal
kemarin malam. Biarkan aku mengantarmu kuliah.” Helga memerhatikan pakaian yang
dikenakan Merryl: sweatshirt biru laut dan celana panjang cokelat muda.
Rambutnya yang lurus hitam sebahu hanya diberi jepitan beruang yang sudah
using. Helga menyadari bahwa sepatu, tas, dan pakaian Merryl sudah sering
dipakai, sama seperti jepit beruangnya yang sudah usang.
“Apakah kau sedang menilaiku?” Merryl melewati Helga
menuju pintu gerbang. Helga mengikutinya, menyamakan langkahnya.
“Kau tidak sarapan? Memangnya kau tidak lapar?”
“Aku biasa makan di kampusku.” Merryl melihat bahwa mobil
Helga sudah ada di depan pintu gerbang
kost. Tapi Merryl melewatinya. Helga langsung menarik lengannya, membuka pintu,
dan mendorong Merryl masuk ke mobilnya.
Helga memutari mobil dan duduk di sebelah Merryl. “Kau
selalu ingin membuatku marah, ya?”
“Maaf, tapi lebih baik aku pergi sendiri, tak usah
diantar.”
Helga tidak menanggapi. Ia malah menyalakan mobil dan
mobil meluncur ke jalan raya dengan mulus. “Apakah kau tidak akan memaafkan
aku?”
Merryl tidak menatapnya, tapi ke jalanan. “Bagaimana
menurutmu?”
“Tapi semua orang bisa salah ‘kan? Berarti kau juga tidak
memaafkan semua penghuni kost? Mereka juga menduga-duga apa pekerjaanmu.”
“Cukup, aku benci padamu! Tolong turunkan aku di halte.”
“Tidak, aku akan mengantarmu.”
“Kau tidak tahu dimana kampusku.” Merryl tersenyum angkuh.
“Oya? Kita lihat saja.”
Dua puluh menit kemudian Merryl sudah tiba di kampusnya.
Ia menatap Helga kesal, lalu membanting pintu mobil tanpa mengucapkan terima
kasih.
Helga menatap Merryl menjauhi mobil, menyapa teman-teman
kampusnya, lalu hilang dari pandangan. Ia menyeringai geli. Tentu saja ia
mengetahui kampus Merryl karena ia bertanya pada Ibu kost. Helga memutar
mobilnya dan berlalu menuju café karena masih ada waktu setengah jam sebelum kantornya
buka.
***
Merryl
merasa perutnya sangat sakit dan ia mual-mual. Ia cukup mengalami kesulitan untuk
memasukkan kunci pintu kamarnya.
Tiba-tiba seseorang memeluknya dan mendorongnya ke pintu,
sehingga kuncinya terjatuh. Karena ditekan, perutnya semakin sakit. “Siapa kau?
Mau apa….”
“Tak perlu banyak bicara!” Cowok tinggi kurus itu
bermaksud menciumnya. Merryl berusaha mendorongnya. Ia merasa semakin mual.
Merryl memukul-pukul dengan panik, tetapi rasa sakit di perutnya
mengalahkannya.
***
Helga
menyimpan gitarnya. Ia melihat botol minum di mejanya sudah kosong, lalu ia
mengambil botol minum itu dan bermaksud untuk mengisinya dari dispenser di
ruang makan di bawah. Saat akan ke dapur, ia melirik ke kamar Merryl. Ia
terkejut melihat apa yang sedang terjadi dan segera berlari sambil masih
memegang botol minumnya. Joni dan Merryl!
Tanpa pikir panjang ia memukul kepala Joni dengan botol
minumnya, menarik jaket Joni, dan meninjunya tepat di muka. Joni terkejut dan
terhuyung. Hidungnya berdarah dan bibirnya sobek. “Apa yang kaulakukan?” Helga
menatap Joni dengan garang.
“Bukan urusanmu.” Ia memegang bibirnya yang sobek.
“Cepat pergi, atau aku akan meminta Ibu kost untuk
memanggil polisi!”
Joni membuang ludah, lalu berlari pergi ke kamarnya di
lantai tiga.
Helga berjongkok, mendapati Merryl memegangi perutnya.
“Apa kau baik-baik saja?” Helga panik, peluh membasahi dahinya. Ia merapatkan
jaket yang dikenakan Merryl.
Merryl menggeleng lalu mual-mual.
Apakah Merryl hamil? Helga tertegun. Lalu ia cepat mencari
kunci kamar Merryl, menemukannya di dekat kakinya, lalu membuka pintu. Setelah
itu ia menggendong Merryl dan membaringkannya di tempat tidur. Lalu ia
menelepon dokter pribadi keluarganya. Setengah jam kemudian dokter itu tengah
memeriksa Merryl.
“Bagaimana, Dok?”
“Ia maag.”
“Benar, Dok? Jadi ia tidak hamil?”
Dokter Wiguna menaikkan alisnya. “Gadis ini pacarmu?”
“Eh? Ya, begitulah.” Helga tersenyum nakal.
“Ia tidak hamil, tapi maag.” Dokter Wiguna tersenyum, lalu
ia menulis resep dan memberikannya pada Helga. “Suruh ia makan bubur encer
dulu. Makannya harus teratur, tidak boleh makan pedas dan masam. Baiklah, aku
permisi.” Sebelum menutup pintu ia menambahkan sambil mengedipkan matanya.
“Jaga baik-baik pacarmu yang manis itu.”
Helga tersenyum menatap Merryl dan mengelus dahi gadis
itu. “Apakah perutmu masih sakit?”
“Kenapa kaubilang kalau aku pacarmu?” Merryl malah balik
bertanya.
Helga mengelus pipinya. “Seorang pria berkunjung
malam-malam ke kamar wanita, apalagi kalau bukan pacar? Aku tidak ingin Dokter
Wiguna menyangka yang macam-macam.”
“Maaf. Aku…aku berterima kasih atas bantuanmu.”
“Sudahlah, lagipula sikap Joni itu sama dengan sikapku beberapa
hari yang lalu. Dengar, soal waktu itu, aku benar-benar minta maaf. Dan soal
tadi, bahwa aku sempat menyangkamu hamil, aku juga minta maaf. Soalnya kau
mual-mual…hanya hamil yang terpikir dalam otakku.”
Merryl menoleh pada Helga. Ia tersenyum hangat, senyum
persahabatan. “Terima kasih.” Lalu rasa kantuk mengalahkan rasa sakit di
perutnya.
***
Merryl
mengikat rambutnya menjadi ekor kuda. Pagi ini ia mengenakan sweatshirt lengan
panjang abu-abu dan celana panjang hitam. Ia mengenakan sepatu tenis di
bawahnya. Pagi ini sakit maagnya sudah agak baikan. Kemarin malam Helga
membuatkannya bubur ketika sekitar pukul 1 dini hari Merryl terbangun. Lalu
setelah minum obat, Merryl kembali tidur. Saat ia bangun pukul 5, Helga tengah
tidur di kursi di samping tempat tidur.
“Aku sengaja menginap. Lagipula kurasa kau takkan mampu
untuk mengunci pintu setelah aku pergi.” ujar Helga tenang. Setelah mengetahui
bahwa Merryl sudah baikan, Helga pergi ke kamarnya. Saat Merryl keluar untuk
kuliah, Helga menahannya di depan pintu kamar.
“Kau tidak lelah?” tanya Merryl khawatir.
Helga tersenyum. “Aku khawatir padamu. Kau harus sarapan.
Masih pagi untuk berangkat kuliah. Bu Mae sudah membuatkan bubur untukmu.”
“Tapi….”
“Jangan membantah!” Helga menariknya ke dapur. “Kemarin
kau pasti tidak sarapan di kantin. Dan kurasa sebenarnya kau tidak pernah
sarapan atau kau sering telat makan!” Suaranya terdengar marah. “Karena itu kau
maag!”
Setelah itu Merryl tidak membantah lagi. Ia memakan bubur
yang dibuatkan Ibu kost, Bu Mae.
“Makanlah yang banyak.” Bu Mae berbicara pada Merryl
sambil membuatkan kopi untuk Helga.
Setelah sarapan Helga bersikeras mengantar Merryl ke
kampusnya. “Kurasa sebaiknya kau berhenti mengenakan pakaian minim setelah
pulang kerja. “Maaf, aku memang bukan pacar atau keluargamu. Tapi kini aku
temanmu. Bukannya aku mengatur…berhentilah dari pekerjaanmu.”
Merryl menggigit bibirnya. “Tahu apa kau tentang
pekerjaanku! Kau sama sekali tidak tahu tentang kesulitanku! Kau orang berada,
aku tahu itu. Kau dapat dengan mudah membiayai hidupmu, tapi bagaimana
denganku?” Merryl menatap Helga dengan mata berkilat marah.
“Akan kuberikan kau pekerjaan lain. Aku sudah tahu apa
pekerjaanmu. Kau bekerja sebagai SPG di toko pakaian eksklusif.”
“Kau mengorek keterangan dari Bu Mae?” Wajahnya merah
padam karena malu dan marah.
Helga membelokkan mobilnya memasuki kampus. “Tidak,
kemarin tidak sengaja aku melihatmu di mall. Sebenarnya aku ingin menyapamu,
tapi aku tidak ingin membuatmu malu. Lama-kelamaan bukan hanya aku dan Bu Mae
yang tahu.” Setelah memarkir mobilnya, Helga menggenggam tangan Merryl yang
pucat. “Pulang kuliah aku akan menjemputmu, lalu mengantarmu ke toko itu untuk
mengundurkan diri.”
“Tapi….”
“Aku ‘kan sudah bilang, aku akan mencarikan pekerjaan yang
lebih baik, aku janji.”
Merryl hanya menghela napas, lalu tersenyum lemah. Ia
mengucapkan terima kasih, lalu menghilang di keramaian halaman kampus.
Beberapa minggu kemudian….
“Baiklah, waktu pelajaran sudah selesai. Mimi, Archie,
kerjakan peer kalian. Kita akan bertemu Senin depan.” Merryl membereskan
peralatan mengajarnya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Baik, Bu Guru!” Mimi menempelkan tangan di dahi,
pura-pura hormat. Sedangkan Archie yang pendiam hanya tersenyum.
“Anak-anak, waktunya mandi!” Helga membuka pintu kamar
belajar. Mimi dan Archie yang masih kelas 6 dan 7 SD berhamburan memeluk
pamannya.
“Paman, antarkan Bu Merryl dengan selamat!” Mimi tersenyum
manja.
“Tentu saja!” ujar Helga. Lalu Merryl mengikuti ketiga
orang itu ke ruang keluarga. Di sana, Merryl pamitan pada orang tua murid
privatnya. Merryl menyukai suami-istri tersebut. Hangat, ramah, dan baik.
Dalam perjalanan, Helga menyalakan radio yang mengalunkan
musik-musik lembut.
“Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu.”
“Apa?” Helga mengetuk-ketukkan jarinya pada stir mengikuti
irama.
“Kenapa kau begitu baik padaku? Apa kau tidak membenciku
karena pekerjaanku yang dulu?”
“Aku memang benci, tapi pada pekerjaanmu, bukan padamu.”
Merryl menunduk. “Aku sangat berterima kasih padamu.”
“Balaslah.”
“Apa?”
“Jadilah istriku.” Helga menepikan mobilnya. Di sekeliling
mereka terhampar pepohonan cemara dan pinus, membuat udara menjadi sejuk.
Merryl merasa mendengar suara Guntur. Inilah yang diharapkannya selama ini! Menikah dengan pria
yang ia cintai! Jantung Merryl berdebar tak teratur. Ia merasa melayang.
“Apakah ini mimpi?”
“Kau tidak bermimpi, aku melamarmu.” jawab Helga. Rupanya
barusan Merryl tidak sadar telah menanyakan isi hatinya.
“Apakah yang
membuatmu ingin melamarku?”
Helga berbisik di telinga Merryl. “Karena cinta.
Percayakah kau, sejak kita pertama kali bertemu aku langsung jatuh cinta padamu?”
“Mm…”
“Sungguh… Saat itu aku berusaha tidak jatuh cinta padamu.
Sebab kau tahu bukan, semua orang menduga apa profesimu.…”
“Aku…”
Helga menariknya dan memeluknya. “Aku tahu, Merryl.
Meskipun kau pelacur, aku tetap akan mencintaimu dan menjadikanmu istriku… .Kau
tahu saat dulu kukira kau hamil ‘kan?”
Merryl mengangguk. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu
Helga, namun Helga mengangkat dagunya. “Ya,aku tahu. Saat itu kau tidak peduli
aku hamil atau tidak. Kau tetap menolongku….“ Ucapan Merryl tertelan oleh
ciuman Helga.
Jantung mereka berdebar liar.
“Kau belum menjawab…” ujar Helga.
“Ya, aku bersedia…” Mereka melebur bersama alam pegunungan
yang sejuk….
TAMAT
CODET
Monday, March, 3rd
2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar