Selasa, 22 Mei 2012

Cerpen Cinta I Don't Care Who You Are


I DON’T CARE WHO YOU ARE
Ketika Merryl akan masuk ke kamar kostnya, Helga, cowok penghuni lantai atas, mencegatnya di pintu kamar. Saat itu sudah pukul setengah sebelas malam, dan kebanyakan penghuni kost sudah tidur. Jam malam di tempat kost Merryl sampai jam sebelas malam.
Helga melepas tas dan jaket Merryl hingga jatuh ke lantai. Merryl terkejut dan berusaha mendorong Helga, namun Helga lebih kuat. Helga memeluk Merryl dengan kuat dan kasar. “Merryl, aku menyewamu semalam.” bisiknya parau. Merryl bergetar, tubuhnya tidak dapat bergerak. “Berapa penghasilanmu hari ini?” tanyanya mengejek sambil menatap Merryl.
Merryl balas menatapnya dengan mata berkilat-kilat. “Lepaskan tangan kotormu! Aku bukan pelacur!” Merryl berbisik. Ia menggertakkan giginya.
“Oya? Lalu kenapa kau selalu mengenakan pakaian minim seperti ini? Tank top dan rok mini?” Ia menggendong Merryl ke lantai atas. “Aku akan membayarmu cukup mahal, Madam. Tenanglah.”
Merryl memukul-pukul bahu Helga. Ia merasa takut dan super mual. Ia sangat ketakutan karena Helga menyangkanya seorang pelacur! Merryl berusaha tidak berteriak karena jika para penghuni kost bangun, ia akan lebih malu lagi. Jadi ia hanya memukul-pukul dan menendang-nendang.
Sesampainya di kamar Helga, ia hanya menyalakan lampu di sisi tempat tidur saja. Helga membawa Merryl ke tempat tidur dan membaringkannya. Ia menelungkup di atas Merryl. “Kenapa kau menangis? Kau sering melayani pria lain, tapi kenapa kau menangis sekarang?” Helga menggeram marah.
Merryl menatap Helga dengan hati tertusuk-tusuk. “Teganya kau! Hanya karena kau kaya dan aku miskin, bukan berarti kau bisa seenaknya menuduhku pelacur!”
“Lalu apa pekerjaanmu? Dari pakaianmu….”
“Aku bekerja sebagai….” Merryl berhenti. “Aku tidak perlu menceritakannya padamu. Yang pasti aku bukan pelacur.” Ia memalingkan wajahnya.
Helga bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. “Kau memang baru di tempat kost ini dan tidak ada yang tahu apa pekerjaanmu. Semua penghuni kost menduga-duga apa pekerjaanmu. Dugaan mereka sama denganku….” Helga memerhatikan kulit putih Merryl. “Aku heran Ibu kost mau menerimamu di sini.”
Tentu saja, karena Ibu kost tahu apa pekerjaanku, ujar Merryl dalam hati. “Bukan urusanmu ‘kan?” Merryl membereskan gaunnya dan beranjak dari tempat tidur menuju pintu.
“Kau tidak menamparku?”
“Aku tidak biasa menampar orang, permisi.” Merryl menutup pintu dan berjalan menuruni tangga dengan tubuh gemetar dan lutut lemas. Ia mengambil jaket dan tasnya yang terjatuh di depan kamarnya, membuka pintu, lalu masuk ke kamarnya. Dengan sisa tenaganya ia berganti baju, cuci muka, dan menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Ia terus teringat tatapan Helga yang mengejek dan dipenuhi rasa jijik. Walaupun ia bukan pelacur, tapi ia memang memamerkan kakinya yang putih dan langsing itu. ia bekerja selama 3 jam, melayani pembeli pria di toko baju pria eksklusif. Gajinya lumayan besar untuk kuliah dan biaya hidupnya.
Merryl memejamkan matanya dan membiarkan airmatanya mengalir. Merryl berpikir ia harus segera mencari pekerjaan lain yang lebih baik.
Keesokannya Merryl bangun lebih pagi dari biasanya karena ia tidak ingin bertemu dengan Helga. Namun sial, ternyata Helga sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Merryl langsung waspada.
“Jangan khawatir, aku hanya ingin meminta maaf soal kemarin malam. Biarkan aku mengantarmu kuliah.” Helga memerhatikan pakaian yang dikenakan Merryl: sweatshirt biru laut dan celana panjang cokelat muda. Rambutnya yang lurus hitam sebahu hanya diberi jepitan beruang yang sudah using. Helga menyadari bahwa sepatu, tas, dan pakaian Merryl sudah sering dipakai, sama seperti jepit beruangnya yang sudah usang.
“Apakah kau sedang menilaiku?” Merryl melewati Helga menuju pintu gerbang. Helga mengikutinya, menyamakan langkahnya.
“Kau tidak sarapan? Memangnya kau tidak lapar?”
“Aku biasa makan di kampusku.” Merryl melihat bahwa mobil Helga sudah ada di depan  pintu gerbang kost. Tapi Merryl melewatinya. Helga langsung menarik lengannya, membuka pintu, dan mendorong Merryl masuk ke mobilnya.
Helga memutari mobil dan duduk di sebelah Merryl. “Kau selalu ingin membuatku marah, ya?”
“Maaf, tapi lebih baik aku pergi sendiri, tak usah diantar.”
Helga tidak menanggapi. Ia malah menyalakan mobil dan mobil meluncur ke jalan raya dengan mulus. “Apakah kau tidak akan memaafkan aku?”
Merryl tidak menatapnya, tapi ke jalanan. “Bagaimana menurutmu?”
“Tapi semua orang bisa salah ‘kan? Berarti kau juga tidak memaafkan semua penghuni kost? Mereka juga menduga-duga apa pekerjaanmu.”
“Cukup, aku benci padamu! Tolong turunkan aku di halte.”
“Tidak, aku akan mengantarmu.”
“Kau tidak tahu dimana kampusku.” Merryl tersenyum angkuh.
“Oya? Kita lihat saja.”
Dua puluh menit kemudian Merryl sudah tiba di kampusnya. Ia menatap Helga kesal, lalu membanting pintu mobil tanpa mengucapkan terima kasih.
Helga menatap Merryl menjauhi mobil, menyapa teman-teman kampusnya, lalu hilang dari pandangan. Ia menyeringai geli. Tentu saja ia mengetahui kampus Merryl karena ia bertanya pada Ibu kost. Helga memutar mobilnya dan berlalu menuju café karena masih ada waktu setengah jam sebelum kantornya buka.
***
Merryl merasa perutnya sangat sakit dan ia mual-mual. Ia cukup mengalami kesulitan untuk memasukkan kunci pintu kamarnya.
Tiba-tiba seseorang memeluknya dan mendorongnya ke pintu, sehingga kuncinya terjatuh. Karena ditekan, perutnya semakin sakit. “Siapa kau? Mau apa….”
“Tak perlu banyak bicara!” Cowok tinggi kurus itu bermaksud menciumnya. Merryl berusaha mendorongnya. Ia merasa semakin mual. Merryl memukul-pukul dengan panik, tetapi rasa sakit di perutnya mengalahkannya.
***
Helga menyimpan gitarnya. Ia melihat botol minum di mejanya sudah kosong, lalu ia mengambil botol minum itu dan bermaksud untuk mengisinya dari dispenser di ruang makan di bawah. Saat akan ke dapur, ia melirik ke kamar Merryl. Ia terkejut melihat apa yang sedang terjadi dan segera berlari sambil masih memegang botol minumnya. Joni dan Merryl!
Tanpa pikir panjang ia memukul kepala Joni dengan botol minumnya, menarik jaket Joni, dan meninjunya tepat di muka. Joni terkejut dan terhuyung. Hidungnya berdarah dan bibirnya sobek. “Apa yang kaulakukan?” Helga menatap Joni dengan garang.
“Bukan urusanmu.” Ia memegang bibirnya yang sobek.
“Cepat pergi, atau aku akan meminta Ibu kost untuk memanggil polisi!”
Joni membuang ludah, lalu berlari pergi ke kamarnya di lantai tiga.
Helga berjongkok, mendapati Merryl memegangi perutnya. “Apa kau baik-baik saja?” Helga panik, peluh membasahi dahinya. Ia merapatkan jaket yang dikenakan Merryl.
Merryl menggeleng lalu mual-mual.
Apakah Merryl hamil? Helga tertegun. Lalu ia cepat mencari kunci kamar Merryl, menemukannya di dekat kakinya, lalu membuka pintu. Setelah itu ia menggendong Merryl dan membaringkannya di tempat tidur. Lalu ia menelepon dokter pribadi keluarganya. Setengah jam kemudian dokter itu tengah memeriksa Merryl.
“Bagaimana, Dok?”
“Ia maag.”
“Benar, Dok? Jadi ia tidak hamil?”
Dokter Wiguna menaikkan alisnya. “Gadis ini pacarmu?”
“Eh? Ya, begitulah.” Helga tersenyum nakal.
“Ia tidak hamil, tapi maag.” Dokter Wiguna tersenyum, lalu ia menulis resep dan memberikannya pada Helga. “Suruh ia makan bubur encer dulu. Makannya harus teratur, tidak boleh makan pedas dan masam. Baiklah, aku permisi.” Sebelum menutup pintu ia menambahkan sambil mengedipkan matanya. “Jaga baik-baik pacarmu yang manis itu.”
Helga tersenyum menatap Merryl dan mengelus dahi gadis itu. “Apakah perutmu masih sakit?”
“Kenapa kaubilang kalau aku pacarmu?” Merryl malah balik bertanya.
Helga mengelus pipinya. “Seorang pria berkunjung malam-malam ke kamar wanita, apalagi kalau bukan pacar? Aku tidak ingin Dokter Wiguna menyangka yang macam-macam.”
“Maaf. Aku…aku berterima kasih atas bantuanmu.”
“Sudahlah, lagipula sikap Joni itu sama dengan sikapku beberapa hari yang lalu. Dengar, soal waktu itu, aku benar-benar minta maaf. Dan soal tadi, bahwa aku sempat menyangkamu hamil, aku juga minta maaf. Soalnya kau mual-mual…hanya hamil yang terpikir dalam otakku.”
Merryl menoleh pada Helga. Ia tersenyum hangat, senyum persahabatan. “Terima kasih.” Lalu rasa kantuk mengalahkan rasa sakit di perutnya.
***
Merryl mengikat rambutnya menjadi ekor kuda. Pagi ini ia mengenakan sweatshirt lengan panjang abu-abu dan celana panjang hitam. Ia mengenakan sepatu tenis di bawahnya. Pagi ini sakit maagnya sudah agak baikan. Kemarin malam Helga membuatkannya bubur ketika sekitar pukul 1 dini hari Merryl terbangun. Lalu setelah minum obat, Merryl kembali tidur. Saat ia bangun pukul 5, Helga tengah tidur di kursi di samping tempat tidur.
“Aku sengaja menginap. Lagipula kurasa kau takkan mampu untuk mengunci pintu setelah aku pergi.” ujar Helga tenang. Setelah mengetahui bahwa Merryl sudah baikan, Helga pergi ke kamarnya. Saat Merryl keluar untuk kuliah, Helga menahannya di depan pintu kamar.
“Kau tidak lelah?” tanya Merryl khawatir.
Helga tersenyum. “Aku khawatir padamu. Kau harus sarapan. Masih pagi untuk berangkat kuliah. Bu Mae sudah membuatkan bubur  untukmu.”
“Tapi….”
“Jangan membantah!” Helga menariknya ke dapur. “Kemarin kau pasti tidak sarapan di kantin. Dan kurasa sebenarnya kau tidak pernah sarapan atau kau sering telat makan!” Suaranya terdengar marah. “Karena itu kau maag!”
Setelah itu Merryl tidak membantah lagi. Ia memakan bubur yang dibuatkan Ibu kost, Bu Mae.
“Makanlah yang banyak.” Bu Mae berbicara pada Merryl sambil membuatkan kopi untuk Helga.
Setelah sarapan Helga bersikeras mengantar Merryl ke kampusnya. “Kurasa sebaiknya kau berhenti mengenakan pakaian minim setelah pulang kerja. “Maaf, aku memang bukan pacar atau keluargamu. Tapi kini aku temanmu. Bukannya aku mengatur…berhentilah dari pekerjaanmu.”
Merryl menggigit bibirnya. “Tahu apa kau tentang pekerjaanku! Kau sama sekali tidak tahu tentang kesulitanku! Kau orang berada, aku tahu itu. Kau dapat dengan mudah membiayai hidupmu, tapi bagaimana denganku?” Merryl menatap Helga dengan mata berkilat marah.
“Akan kuberikan kau pekerjaan lain. Aku sudah tahu apa pekerjaanmu. Kau bekerja sebagai SPG di toko pakaian eksklusif.”
“Kau mengorek keterangan dari Bu Mae?” Wajahnya merah padam karena malu dan marah.
Helga membelokkan mobilnya memasuki kampus. “Tidak, kemarin tidak sengaja aku melihatmu di mall. Sebenarnya aku ingin menyapamu, tapi aku tidak ingin membuatmu malu. Lama-kelamaan bukan hanya aku dan Bu Mae yang tahu.” Setelah memarkir mobilnya, Helga menggenggam tangan Merryl yang pucat. “Pulang kuliah aku akan menjemputmu, lalu mengantarmu ke toko itu untuk mengundurkan diri.”
“Tapi….”
“Aku ‘kan sudah bilang, aku akan mencarikan pekerjaan yang lebih baik, aku janji.”
Merryl hanya menghela napas, lalu tersenyum lemah. Ia mengucapkan terima kasih, lalu menghilang di keramaian halaman kampus.
Beberapa minggu kemudian….
“Baiklah, waktu pelajaran sudah selesai. Mimi, Archie, kerjakan peer kalian. Kita akan bertemu Senin depan.” Merryl membereskan peralatan mengajarnya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Baik, Bu Guru!” Mimi menempelkan tangan di dahi, pura-pura hormat. Sedangkan Archie yang pendiam hanya tersenyum.
“Anak-anak, waktunya mandi!” Helga membuka pintu kamar belajar. Mimi dan Archie yang masih kelas 6 dan 7 SD berhamburan memeluk pamannya.
“Paman, antarkan Bu Merryl dengan selamat!” Mimi tersenyum manja.
“Tentu saja!” ujar Helga. Lalu Merryl mengikuti ketiga orang itu ke ruang keluarga. Di sana, Merryl pamitan pada orang tua murid privatnya. Merryl menyukai suami-istri tersebut. Hangat, ramah, dan baik.
Dalam perjalanan, Helga menyalakan radio yang mengalunkan musik-musik lembut.
“Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu.”
“Apa?” Helga mengetuk-ketukkan jarinya pada stir mengikuti irama.
“Kenapa kau begitu baik padaku? Apa kau tidak membenciku karena pekerjaanku yang dulu?”
“Aku memang benci, tapi pada pekerjaanmu, bukan padamu.”
Merryl menunduk. “Aku sangat berterima kasih padamu.”
“Balaslah.”
“Apa?”
“Jadilah istriku.” Helga menepikan mobilnya. Di sekeliling mereka terhampar pepohonan cemara dan pinus, membuat udara menjadi sejuk.
Merryl merasa mendengar suara Guntur. Inilah yang  diharapkannya selama ini! Menikah dengan pria yang ia cintai! Jantung Merryl berdebar tak teratur. Ia merasa melayang. “Apakah ini mimpi?”
“Kau tidak bermimpi, aku melamarmu.” jawab Helga. Rupanya barusan Merryl tidak sadar telah menanyakan isi hatinya.
 “Apakah yang membuatmu ingin melamarku?”
Helga berbisik di telinga Merryl. “Karena cinta. Percayakah kau, sejak kita pertama kali bertemu aku langsung jatuh cinta padamu?”
“Mm…”
“Sungguh… Saat itu aku berusaha tidak jatuh cinta padamu. Sebab kau tahu bukan, semua orang menduga apa profesimu.…”
“Aku…”
Helga menariknya dan memeluknya. “Aku tahu, Merryl. Meskipun kau pelacur, aku tetap akan mencintaimu dan menjadikanmu istriku… .Kau tahu saat dulu kukira kau hamil ‘kan?”
Merryl mengangguk. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu Helga, namun Helga mengangkat dagunya. “Ya,aku tahu. Saat itu kau tidak peduli aku hamil atau tidak. Kau tetap menolongku….“ Ucapan Merryl tertelan oleh ciuman Helga.
Jantung mereka berdebar liar.
“Kau belum menjawab…” ujar Helga.
“Ya, aku bersedia…” Mereka melebur bersama alam pegunungan yang sejuk….
TAMAT
CODET
Monday, March, 3rd 2003




Tidak ada komentar:

Posting Komentar