MARINNA
Marinna melihat pemandangan di sekelilingnya.
Lumayan, tidak membosankan, pikir Marinna. Gedung SMUnya dikelilingi pepohonan
sejuk yang tinggi dan besar, rerumputan tertata rapi tanpa sampah atau dedaunan
kering, dan jalanan aspal. Gedung sekolahnya tiga tingkat, besar, dan panjang.
Hari ini adalah seminggu setelah
MOS. Marinna sedang berjalan-jalan mengelilingi sekolahnya. Saat istirahat di
SMP dulu, Marinna memang jarang jajan, ia lebih suka berjalan-jalan
mengelilingi sekolahnya.
Tiba-tiba seorang siswa
mencegatnya. Marinna menebak ia senior.
“Hai, cewek.” Cowok berponi ala
Tin-tin itu tersenyum jahil dengan batang rumput di sudut bibirnya. Ia
memandangi Marinna dari bawah ke atas. “Daripada berjalan bengong sendirian,
lebih baik kita melakukan hal yang lebih asyik.”
Marinna menyibakkan rambut ikalnya
yang panjang dan lebat dengan sikap angkuh. Kaki kirinya disilangkan ke kaki
kanannya. Tangannya dilipat di depan dada. “Main game?”
Cowok itu maju mendekat. Tangan
kirinya memegang pinggang Marinna dan tangan satunya mengangkat dagu Marinna.
“Lebih asyik dari itu.” Cowok itu memiringkan kepalanya, bermaksud mencium
Marinna.
“Marinna, sedang apa?”
Marinna menoleh ke arah sumber
suara. Ia melihat cowok berkacamata, beralis tebal, hidung agak mancung, dan
bibir semerah darah. Rambutnya pendek, agak bergelombang. Tubuhnya hanya lebih
tinggi beberapa senti dari Marinna. Kulitnya putih, berbeda dari kulit Marinna
yang cokelat.
Senyum mengembang di bibir Marinna,
senyum yang dibuat-buat. Ia segera melepaskan diri dari cowok di hadapannya.
“Sampai nanti!” Marinna mengedip nakal. Lalu ia berjalan melewati cowok
berkacamata itu.
“Kita baru saja menjadi siswa SMU.
Sebaiknya jangan berbuat ulah.” ujar cowok berkacamata tadi, yang Marinna kenal
sebagai anak kampung yang menjabat Ketua Kelas di kelasnya. Lagaknya memang
alim dan sangat sok, tapi tidak kampungan. “Marinna, sebaiknya kau memakai
seragam yang lebih sopan.”
Marinna berbalik dan menatap marah.
“Siapa namamu? Oya, Angga. Jangan hanya karena kau Ketua Kelas!” Marinna
bertolak pinggang. Matanya yang cokelat terang berkilat marah. Jemarinya yang
lentik mendorong bahu Angga. “Atau jangan-jangan kau mencari perhatian karena
ingin berkencan denganku, ya?”
Rona merah muncul di wajah putih
Angga. Sebagian karena malu dan sebagian karena marah. “Cepat kembali ke kelas,
bel sudah berbunyi.” Lalu Angga berjalan mendahuluinya. Larinya cepat dan
tegap.
Marinna tersenyum geli campur
jahil. Lalu ia berjalan ke kelasnya di lantai tiga dengan santai. Di kelas,
Marinna duduk paling belakang, sebab tempat itu strategis untuk tidur dan
menyontek. Sedangkan Angga si Ketua Kelas duduk paling depan, satu jajaran
dengannya. Bangkunya langsung berhadapan dengan meja guru.
“Marinna, mana PRmu?” tanya Angga
yang sedang memegang buku PR anak-anak di tangan kirinya. Marinna heran kenapa
Angga dapat memegang buku sebanyak itu, apalagi buku itu tebal-tebal.
“Tenang sedikit, aku sedang
mengerjakannya.”
“Kau sedang menyontek.”
Marinna tidak memedulikan ucapan
Angga. Setelah selesai, Marinna tersenyum. Ia
menyerahkan buku PRnya ke dada Angga. “Masih untung aku mengerjakan
PRku.”
Angga mengambil buku itu. “PR ini
bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirimu sendiri. Lain kali kerjakan PR di
rumah!” Angga juga mengambil buku PR Astrid, teman sebangku Marinna.
“Hanya kau yang bersikap
membangkang di kelas ini, Rin.”
“Kenapa? Tidak boleh?”
Astrid menghela napas. “Aku tahu
kenapa kau berubah seperti ini, Rin. Karena Fahmi….”
“Dari dulu penampilanku begini.”
“Tapi tidak seseksi dan semurahan
ini. Aku masih bisa diajak curhat, Rin.”
Marinna tersenyum dan merangkul
Astrid. “Trims, Sobat.” Ia menyukai Astrid karena kejujurannya. Mereka
bertetangga dari SMP. Astrid pindahan dari kota sebelah. Ia menyenangkan dan
enak diajak mengobrol.
***
Marinna terdorong ke dinding belakang sekolah.
Tempat itu jarang dilewati orang saat istirahat. Di tempat itu sepeda, motor,
dan mobil diparkir. “Kau! Kau lagi!” Marinna berusaha mendorong Rocky, senior
cowok yang sudah 3 kali mengganggunya. Ia senior kelas tiga yang tidak lulus
tahun sebelumnya. Marinna berhasil membebaskan satu tangannya dan meninju pipi
Rocky. Lalu Marinna menendang perut Rocky dan kabur. Ia berlari tanpa arah,
sampai akhirnya ia tiba di perpustakaan. Napasnya tersengal.
Sembunyi
di mana? Marinna mencari-cari dan matanya menemukan Angga.
Tanpa berpikir panjang Marinna berlari ke arah Angga. “Tolong aku….”
“Marinna? Ada apa?”
“Cepat sembunyikan aku!” bisiknya
panik.
Rocky masuk ke perpustakaan.
Matanya mencari-cari. Karena tidak menemukan Marinna, ia berbalik dan pergi
dengan marah. Marinna menghela napas lega. Ia menggigit bibir saat Angga
menyingkirkan tumpukan buku dari hadapan Marinna.
“Kau cari gara-gara dengan
senior….”
“Aku tidak….!”
“Sssttt!” Ibu petugas perpustakaan
memelototi mereka.
Angga bangkit berdiri sambil
membawa buku yang tadi dibacanya. Marinna mengikuti Angga ke meja petugas lalu
keluar ruangan. Di luar suara riuh bertolak belakang dengan di perpustakaan.
“Kau selalu cari perkara, Marinna.”
“Sudah kubilang, aku tidak….”
Marinna menyamakan langkahnya dengan langkah cepat Angga.
Angga membuka pintu kelas dengan
kesal. “Kau memberinya harapan, kau tahu?” Angga duduk di bangkunya. Di kelas
tidak ada orang karena mereka sibuk di kantin, perpustakaan, lapangan sekolah,
atau di halaman kelas. “Waktu itu kau mengatakan ‘sampai nanti’ dan mengedipkan
mata pada senior itu. Apalagi yang kaulakukan?”
“Kau mau tahu?”
Karena merasa gerah, Angga membuka
jendela yang menghadap ke halaman depan gedung sekolah. Di kiri dan kanan jalan
menuju pintu gerbang berderet pepohonan. “Kau ini susah diatur, sebagai Ketua
Kelas, aku…hei! Aduh!” Angga memegangi kakinya. “Kenapa kau menginjak kakiku?”
“Itu yang kulakukan pada Rocky,
senior itu, pada pertemuan kedua kami. Pada pertemuan ketiga, aku menamparnya.
Dan tadi, aku….”
“Cukup.” Angga menghela napas. Ia
duduk bertumpang kaki dan tangan kanan memegang dahinya. “Lalu apa maumu?
Daritadi kau mengikutiku terus.”
“Jadilah pacarku, lindungi aku dari Rocky.
Dengan begitu kurasa ia akan jera dan menyerah.” Kata-kata itu meluncur begitu
saja dari mulutnya dan tak bisa ditarik kembali. Marinna yakin Angga akan
menolaknya. Oleh karena itu ia terkejut saat Angga menyetujui permintaannya,
tapi dengan syarat Marinna harus bertingkah baik. Marinna mengangkat bahu.
“Akan kucoba.”
Gosip Marinna dan Angga jadian
menyebar cepat seperti virus.
“Hei, kali ini si perek itu
menyabet cowok alim itu.”
“Ya, dulu aku satu SMP dengan
Marinna, pacarnya segudang. Baru kali ini ia jadian dengan yang alim.”
“Kalau begitu aku ada kesempatan?
Tadi kau bilang pacarnya segudang?”
“Aku juga!”
“Hei, apa si alim itu dungu?
Akhirnya ia terkena pelet si nenek sihir!”
“Marinna itu….”
Setiap Marinna melangkah, siswa dan
siswi membicarakannya. Tak masalah dirinya digosipkan karena ia sudah terbiasa.
“Kau membuat Angga sengsara, Rin.”
Marinna menatap Astrid. “Tapi ia
tidak menolakku.”
“Itu untuk menolongmu.” Astrid
menghempaskan diri di tempat tidur Marinna. “Bagaimana dengan Rocky?”
“Aku belum bertemu dengannya lagi.”
“Mungkin dia sudah menyerah. Oya,
selama kalian pacaran, sudah melakukan apa saja? Kau sudah merayunya, ya?”
Marinna melirik sebal. “Aku tidak
begitu. Yah, kuakui meski ia sok, tapi ia ternyata baik.”
“Kau naksir dia?”
Marinna mengangkat kedua alisnya.
“Aku hanya bilang bahwa ia baik, bukan berarti aku naksir padanya!” Suka cowok kampung itu? Yang benar saja!
Keesokannya, Marinna tidak masuk
sekolah karena flu. Siangnya Angga menjenguk. Ia membawakan catatan pelajaran.
Marinna merasa bersalah pada Angga. Ia meminta maaf pada Angga, karena dirinya,
ia digosipkan yang tidak-tidak. Namun Angga malah terseyum.
“Ternyata kau tidak sejahat yang
kukira. Boleh kutahu kenapa penampilanmu begitu?”
Marinna memalingkan wajah dan
memandangi dinding kamarnya yang dicat kuning gading. “Kenapa aku harus
mengatakan alasannya padamu?”
“Aku tak memaksa, hanya ingin tahu
saja.”
“Sewaktu kelas 2 SMP, aku pernah
naksir seorang cowok. Aku menyatakan cinta padanya dan ia menyambut cintaku.
Suatu hari sepulang sekolah, ia memaksa menciumku, tapi aku menolak. Ia tidak
terima, lalu ia….” Marinna mengambil napas. “Ia merobek seragamku. Saat itulah
beberapa siswa yang usai latihan klub masuk ke kelas. Cowok itu menamparku dan
mengatakan bahwa aku perek, bahwa aku telah menggodanya untuk….” Marinna
menghapus air matanya yang ternyata telah turun dari bola matanya yang cokelat
terang. Lalu ia melanjutkan, “akhirnya semua siswa satu sekolah meributkan hal
itu dan terus menyebutku perek. Guru-guru mendiamkan. Tidak membantu dan tidak
mengeluarkan aku dari sekolah, juga tidak mengadu pada orang tuaku. Karena
orang tuaku salah satu penyumbang di SMPku dulu.”
“Lalu?”
“Karena kesal disebut perek, maka
aku merubah dandananku menjadi seperti ini. Lalu aku berpacaran dengan
berandalan di sekolah itu atau anak SMU, atau yang sudah bekerja….” Marinna
mendongak karena Angga memeluknya, menenangkan tangisnya.
“Marinna, jangan menangis….” Angga
menghapus air matanya. Ia mendekatkan bibirnya, seperti akan menciumnya, lalu
tidak jadi. “Lupakan masa lalumu. Mulai besok atau lusa, ganti pakaianmu.” Angga
bangkit. “Sampai besok di sekolah.”
Bibinya memegangi dahinya. “Ya
ampun, kenapa suhu tubuhmu semakin tinggi?” Selama ini karena orangtuanya sibuk
bekerja, bibinyalah yang merawatnya.
Wajah Marinna memerah dan tubuhnya
terasa panas akibat pelukan Angga. Jantungnya berdebar kencang membayangkan
kejadian barusan. Kenapa Angga tidak jadi
menciumnya? Apakah karena bukan pacar
sungguhan? Apakah ia sudah punya
cewek yang disukai? Marinna penasaran. Atau
apakah aku tidak pantas disayangi oleh Angga karena aku telah berpacaran dengan
banyak cowok?
Air mata Marinna mengalir. Meski
berpacaran, Marinna belum membiarkan dirinya dicium, meski di pipi ataupun di
dahi. Karena Marinna tidak mencintai mereka semua.
***
“Oh, jadi di SMP kau pernah berpacaran, ya?” Marinna
memperhatikan kamar Angga yang rapi. Kamar ini memang kamar kost, tetapi Angga
terlihat menjaganya. Dindingnya dibiarkan tanpa tempelan, hanya jam dinding.
Fasilitasnya: satu tempat tidur ukuran single,
meja belajar, lemari pakaian, dan kamar mandi kecil.
“Ya. Kau pasti mengira aku belum
pernah pacaran?”
“Mmm.” Marinna sedari tadi
bertopang dagu. Hatinya merasa agak aneh mendengar bahwa Angga pernah
berpacaran. “Kau, uh, membawa foto mantanmu yang terakhir?”
“Tidak. Tapi kedua mantanku itu
berbeda denganmu.” Angga tertawa. “Mereka pendiam dan lembut.”
“Oh. Cantik?”
“Cantik.”
“Kenapa putus?”
“Merasa tidak cocok saja.” Angga
mengetukkan pensil di meja kayu hitam berukuran rendah. “Kau mau belajar atau
tidak?”
“Eh, ya.”
Malamnya, Marinna menghampiri
bibinya di dapur. Sudah sejak tiga hari yang lalu Marinna ingin mengatakan pada
bibinya, tapi ia malu. “Bi, tolong buatkan seragam yang longgar, ya….”
Mendengar itu bibinya tersenyum dan mengelus kepalanya dengan sayang. Lalu ia
berjanji 2 hari lagi seragamnya sudah jadi.
Selama dua minggu ini Marinna
menghabiskan waktu istirahat di sekolah mengobrol dengan Angga. Tetapi saat ini
Angga sedang rapat OSIS, jadi ia memutuskan untuk berjalan-jalan keliling
sekolah. Ia tidak menyangka akan bertemu Rocky. Marinna bermaksud kabur, namun
Rocky menangkap pergelangan tangannya. “Hei, jangan menolak kalau ingin pacar
culunmu itu baik-baik saja.” Mendengar itu, tubuh Marinna menegang. Ia menatap
Rocky tajam. “Gengku tidak akan menyerang si culun, asal kau menjadi pacarku.”
Marinna tak ingin Angga terluka. Ia
tidak ingin melibatkan Angga lebih jauh lagi. Dulu, mungkin Marinna senang jika
Angga dikeroyok. Tapi sekarang entah kenapa Marinna tidak rela Angga terluka.
“Baiklah, tapi kau harus berjanji takkan melukainya.”
Rocky menyeringai. “Tentu saja, aku
berjanji.”
Dalam waktu satu hari, gosip sudah
sampai di tangan Angga. Usai sekolah, Angga memanggilnya. “Marinna, apa benar
kau jadian dengan senior itu?”
“Hei, jangan kau dekati pacarku
lagi.” Rocky sudah berdiri di depan pintu kelas.
Marinna menatap Angga dengan
angkuh. “Maaf, Angga.”
“Ternyata aku salah. Kukira
ceritamu itu sungguh terjadi. Aku seperti orang bodoh saja, mau percaya.” Angga
menggendong tasnya lalu berjalan melewati keduanya tanpa menoleh, membuat
Marinna merasa sakit.
“Tidak usah menangis. Cewek seperti
kau memang cocoknya denganku. Kenapa seragam ini tidak kau tanggalkan dan ganti
dengan yang biasa?”
“Kau memang pacarku, tapi tidak
berhak mengaturku.”
Astrid menatap Marinna. “Kau tak usah bercerita
tentang hubunganmu dengan Rocky, karena kebetulan aku ada di taman.” Astrid
memegang bahu Marinna. “Kau mencintai Angga.”
“Kalau kau sahabatku, jangan cerita
pada Angga.”
“PRmu?”
“Aku sedang menyontek, apa kau
tidak lihat?” Dengan santai Marinna menyontek PR Astrid.
“Bagaimana hubunganmu dengan
Rocky?” Wajah Angga tegang. “Aku, uh, masih peduli karena kita teman.”
“Baik-baik saja. Ini, sudah
selesai.” Marinna menumpuk PRnya dan PR Astrid di tangan Angga yang sudah
penuh. “Kenapa masih peduli? Aku sudah jahat padamu.”
Angga tersenyum. “Wajar saja, aku
Ketua Kelasmu. Lagipula kita hanya berpura-pura pacaran, jadi aku tak
seharusnya marah padamu waktu itu, maaf ya. Yuk!” Angga menepuk bahunya dengan
lembut dan akrab sebelum keluar kelas. Bisakah
aku melupakan Angga?
“Hentikan, Rocky! Jangan
coba-coba!” Marinna mendorong Rocky.
Rocky melepaskan pelukannya.
“Kenapa? Aku hanya ingin menciummu. Oke, aku mengerti bahwa kau tidak
mencintaiku. Tapi kini kau milikku.” Rocky mencabuti rumput di halaman sekolah
dan melemparkannya.
“Apakah kau kesal karena pacarmu
sudah lulus duluan?”
Rocky tertawa. Ia lalu tersenyum
lembut dan Marinna baru melihatnya. “Aku tidak peduli pacarku lulus atau tidak.
Tapi aku lebih suka tidak bertemu dengannya. Karena aku tidak mencintainya.”
Rocky merebahkan diri di rerumputan. “Aku benci cewek yang pura-pura. Emma, ia
pura-pura baik padaku, pura-pura mencintaiku.” Rocky tertawa sinis. “Aku tahu
ia hanya kasihan padaku. Ia mau berpacaran denganku karena kasihan. Aku ini
berandalan, tak punya teman, hanya punya anak buah. Ia kasihan karena aku
adalah sampah masyarakat….”
Marinna mendengar nada sedih dalam
suara Rocky. “Kau bohong. Kau mencintainya. Kau kesal karena Emma hanya kasihan
padamu.”
“Jangan sok tahu!” bentaknya.
“Kenapa Emma diam saja saat kupeluk atau kucium? Kenapa ia tidak menolak
seperti yang selalu kaulakukan padaku? Ia tomboy dan jago olahraga.”
“Itu karena ia mencintaimu!
Seharusnya ia meninjumu saat kaucium. Atau menendangmu. Tapi ia tidak
melakukannya karena ia sungguh mencintaimu, Rocky. Kau saja yang selalu
berburuk sangka.”
Air mata Rocky mengalir. “Aku telah
berkata kasar padanya. Aku memutuskannya dengan kasar. Dan ia tidak menangis.
Saat aku tidak lulus, ia menangis. Ia memandangku dengan iba….”
“Bukan iba, tapi sedih karena tidak
lulus bersama.” Marinna agak bingung karena Rocky menangis. Seorang berandalan
menangis karena cintanya pada Emma….”Percaya padaku, ia mencintaimu.”
“Bagaimana kautahu?”
“Kau tak mau pergi ke kampusnya
untuk mencari tahu?”
***
“Kau semakin asyik dengan pacarmu, ya?” tanya Angga
seminggu kemudian. “Kudengar Rocky berusaha keras untuk lulus.”
Marinna tersenyum. “Ia memang
berusaha keras, tapi bukan karena aku. Ia berusaha untuk dirinya sendiri, dan
pacarnya, Emma, yang sudah lulus tahun lalu. Aku sudah putus dengan Rocky, dan
sekarang kami berteman. Nih PRku, aku mengerjakannya di rumah. Agar kau tidak
cerewet lagi.” Marinna tersenyum. Ia lalu pergi keluar kelas karena sudah
waktunya istirahat. Marinna pergi ke atap. Lama berselang Angga menyusulnya.
“Angga?”
Angga berlari dan memeluk Marinna.
Ditekannya kepala Marinna ke dadanya. Dadanya naik turun dengan cepat. “Dasar
bodoh, kenapa tak bilang padaku?”
“Soal apa?”
“Kaukira aku lemah?” Angga
merangkum wajah Marinna. “Seharusnya kau biarkan Rocky dan gengnya menghajarku.
Seharusnya kau tidak menerima persyaratan Rocky itu!”
“Bagaimana kautahu?”
“Tadi Astrid menceritakan semua
padaku. Dengar, Marinna, aku bisa membela diriku sendiri. Di SMP aku pernah
belajar bela diri. Katakana Marinna, kenapa kau menerima persyaratan itu?”
Marinna tersipu. “Kau ‘kan sudah
tahu. Karena aku tidak ingin terluka, karena…aku sadar kalau aku mulai jatuh
cinta padamu….”
Dahi Angga menyentuh dahi Marinna.
“Sejak pertama kali melihatmu, pandanganku tak pernah lepas darimu.” Angga
berdehem. “Oleh karena itu aku membuntutimu jalan-jalan keliling sekolah waktu
kau pertama bertemu Rocky….”
Marinna mengangkat alisnya tak
percaya. “Sungguh?”
“Benar.” Angga mengecup bibir
Marinna dalam waktu satu detik, membuat wajah Marinna merah padam dan panas. “Aku
jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, Marinna….” Angga menatapnya tajam
dari balik kacamatanya. Membuatnya berdebar. “Aku tak peduli masa lalumu.
Maukah menjadi pacarku yang sebenarnya?”
Marinna menangis dan mengangguk.
Lalu memeluk Angga. “Ya, aku mau.” Saat bel berdentang, Marinna berusaha
mendorongnya namun Angga tetap memeluknya. “Sudah bel masuk.”
“Sekali-kali bolos tidak masalah
‘kan.”
Marinna tersipu. “Ayo masuk kelas.
Kau ‘kan Ketua Kelas, masa bolos.”
Angga tertawa. Ia menggandeng
tangan Marinna. “Baiklah. Ayo, Nyonya Ketua Kelas.”
TAMAT
CODET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar