YOUR EYES
“Aku pulang!”
“Hai, Zee, apa kabarnya kampus?”
tanya Joanna, kakaknya.
“Biasa-biasa saja, sampai aku
bertemu dengan pria itu.” Zee membuka sepatu ketsnya dan meletakkannya di rak
sepatu di dekat pintu masuk. Ia merebahkan dirinya di sofa. “Dia dosen mata
kuliah Kebudayaan Jepang.” Zee mengerang. “Dia genit sekali! Dia masih muda,
sekitar 25 tahun.” Zee tidak senang melihat senyum kakaknya. “Ada apa? Oke, dia
memang tampan dan populer di kalangan mahasiswa maupun dosen. Tetapi dia
bertingkah menyebalkan selama mengajar!”
Joanna menyesap kopinya. Kakaknya
itu memang penggemar kopi. “Dia mengedipimu?” Saat adiknya menjawab bahwa dosen
itu menatapnya terus-menerus selama mengajar, Joanna memperhatikan adiknya.
Hari ini adiknya mengenakan jeans
biru pudar dan kaos oranye tanpa lengan. Zee mempunyai mata yang tajam, berbulu
mata tebal, dan berkesan angkuh. Alisnya tebal dan bagian kirinya lebih tinggi.
Hidungnya kecil mancung dan bibirnya berwarna pink alami serta tipis. Jika
tersenyum, hanya satu sudut yang tertarik ke atas. Rambutnya berponi. Jika
tidak diurai, rambut itu akan diikat ekor kuda. “Itu wajar saja ‘kan?”
“Itu tidak wajar.” Zee memasang
tampang cemberut. Alisnya berkerut dan bertemu di tengah. “Dia sudah menikah.
Ada cincin di jari manis tangan kirinya. Oh, dia benar-benar brengsek!”
“Bahaya….” Joanna menatap adiknya yang balas
menatapnya penuh tanda tanya. “Bahaya, karena kau bisa saja akan jatuh cinta
padanya.”
Zee memukul meja. Matanya yang
tajam dan angkuh menatap kakaknya. “Itu tidak mungkin terjadi! Jika ya, berarti
salju akan turun di Jakarta!” Joanna kembali menyesap kopinya. Ia hanya
tersenyum sambil memandang kebun mawar di halamannya.
***
“Kalian semua boleh pulang, kecuali Azya.”
Zee menyandar di kursinya. Ia
melipat lengan dan menumpangkan kaki.
Matanya yang tajam menatap white board.
“Sudah saya bilang, jangan memakai
topi di kelas.” August, dosen Kebudayaan-nya, mengambil topi dari kepala Zee,
membuat Zee menatapnya marah, dan merebut kembali topinya.
“Bapak tidak sopan.” Zee menepuk-tepuk
topinya terlebih dulu sebelum memakainya kembali. “Ini sudah bukan jam kuliah,
saya berhak mengenakan topi! Nah, silahkan, kenapa Bapak menyuruh saya agar
tidak meninggalkan kelas?”
“Sebentar…” August meraih topi Zee
dan mengenakannya terbalik. “Nah, dengan begini saya dapat melihat mata Anda
yang indah, yang tersembunyi di balik topi Anda.”
Mata Zee menyorot galak. Kurasa aku harus merebus topiku dulu sebelum
kupakai lagi. Atau kubuang saja….
“Azya, sepertinya Anda membenci
saya….”
“Kenapa Bapak berpikir begitu?”
“Entahlah, sepertinya selama tadi
saya memberikan kuliah, Anda selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan saya.
Tapi sayang, saya dapat menjawab semua pertanyaan Anda tadi. Dan sepertinya
Anda kesal karena saya cerdas.”
Zee menarik sudut bibir kanannya.
“Bukankah itu sudah sewajarnya? Saya bertanya karena saya tidak tahu dan ingin
tahu. Sedangkan Bapak menjawab karena Bapak adalah dosen. Orang yang sudah
banyak pengalaman dan pengetahuan. Lebih dari saya sebagai mahasiswa.”
“Apa yang membuat Anda membenci
saya?” tanyanya serius.
Senyum
genitnya membuatku muak. Biarpun semua peremuan memuja ketampananmu tetapi aku tidak! Zee
bangkit dari kursinya, menghampiri dosennya yang menyandar pada meja dengan
santai sambil masih mengenakan topi Zee. “Dengar, ya, Pak. Saya tidak suka
Bapak lihat-lihat saya.”
August malah tersenyum, bukan
marah. “Ini mata saya, Azya.”
Zee menarik tangan kanan August.
“Apa Bapak tidak malu dengan cincin ini? Apa Bapak tidak merasa berdosa? Bapak
sudah menikah. Seharusnya Bapak tahu diri!” Zee mengambil tasnya. “Saya mau
pulang.”
Tetapi August menarik siku Zee.
“Jika saya belum menikah, saya boleh memandangi Anda?”
“Tolong lepaskan saya, Pak. Istri
Anda kasihan sekali.” Mata Zee menatap August tajam dan penuh keangkuhan. “Jika
Bapak belum menikah mungkin saya akan sedikit memikirkannya.”
“Baiklah.” August membalikkan tubuh
Zee dan dengan cepat mendaratkan kecupan singkat di bibir pink gadis itu.
“Kuharap kau benar-benar memikirkannya.”
Tamparan Zee sangat keras dan nyaring.
“Saya sangat merasa kasihan pada istri Bapak.” Lalu Zee membanting pintu kelas.
Ia pergi ke toilet dan menggosok-gosok bibirnya dengan air keran wastafel.
Tangan kirinya mencuci tangan kanannya. Manusia
yang sangat menjijikkan!
***
Zee ingin sekali bolos pada kuliah kebudayaan
Jepang, namun karena Kebudayaan hanya berjatah 1 minggu sekali, Zee
mengurungkan niatnya. Jika bukan karena
mengincar absen, aku takkan masuk kelasnya!
Sial nasib Zee, saat masuk kelas,
kelas masih kosong. Lima belas menit telah lewat dari jadwal namun
teman-temannya belum datang. Malah August yang datang. “Mana yang lain?”
Zee membuka topinya. “Saya tidak
tahu.”
August mengerutkan dahinya. “Anda
tidak tahu? Anda tidak bareng dengan teman yang lain?”
“Tidak, istirahat saya ke
perpustakaan sendiri. Bisa kita mulai kuliah? Atau pulang?”
“Kita mulai.” August menerangkan
religi masyarakat Jepang. Setelah selesai, ia menoleh pada Zee. “Ada yang ingin
ditanyakan?”
“Ya, begini…tiga puluh menit lagi
waktu Bapak mengajar akan habis. Teman-teman saya yang lain belum datang juga.
Jadi….”
August melipat lengannya. “Mengenai
yang barusan saya terangkan, Azya. Apakah ada pertanyaan?”
Zee berdiri dari kursinya dengan
cepat. “Saya mau pulang saja.”
August menghmpiri Zee sehingga
mereka berdiri berhadap-hadapan. August tersenyum. “Saya suka mata Anda. Sangat
menawan, apalagi saat marah. Karena itulah saya jatuh cinta pada Anda.”
Ucapan August benar-benar membuat
Zee naik darah. “Beraninya Bapak mengatakan cinta, padahal istri Bapak menunggu
dengan setia di rumah!”
“Jika saya tidak punya istri di
rumah, bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Bapak
menjijikkan!”
“Saya akan membuat Anda jatuh cinta
pada saya.” August mengembalikan topi ─ yang diambilnya minggu lalu ─ pada Zee.
“Takkan pernah!” Zee benar-benar
geram pada August sehingga malamnya ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.
Sekitar pukul 1 dini hari, Joanna mengetuk pintunya. Zee mempersilahkannya
masuk. “Ada apa, Kak?”
“Kau belum tidur? Begini, Zee, aku…aku
dilamar oleh teman kantorku. Baru satu bulan aku mengenalnya. Tetapi ia telah
mengetahui tentangku sejak setahun yang lalu, sejak aku baru masuk dan bekerja
di sana. Dan eh, ia tahu bahwa aku baru saja putus dari Thomas dua bulan yang
lalu….”
Mata Zee yang tajam menatap
kakaknya. “Lalu? Baru satu bulan Kakak mengenalnya ‘kan? Apa kakak jatuh cinta
padanya? Apa kakak akan menerima lamarannya?”
“Karena itu aku ke sini. Kupikir,
kau pasti takkan setuju….Ia baik dan aku sangat mencintainya. Tetapi jika kau
tak mau aku menerima lamarannya, aku….”
“Tunggu dulu! Jika Kakak menikah
dan Kakak akan bahagia, silahkan saja.”
“Aku memang bahagia. Tetapi setelah
menikah, aku dan Rai akan tinggal di rumah kontrakannya yang sekarang. Dan kau
harus ikut.”
Zee tergelak. “Aku tinggal di rumah
kontrakan ini saja. Kakak, aku tidak mau mengganggu. Kakak tidak usah
mencemaskanku, aku akan baik-baik saja. Kapan kakak akan menikah?”
Joanna tersipu. “Entahlah. Menurut
Rai, jika aku menerima lamarannya, pernikahan akan dilangsungkan secepatnya.”
“Kak Jo tidak sedang hamil ‘kan?”
Joanna tersenyum mengerti akan
kekhawatiran adiknya. “Seratus persen belum.”
Dua hari kemudian Joanna mengajak Zee ke rumah Rai. Zee
memperhatikan ruang tamu keluarga Rai. Sangat besar, mewah, dan indah. Joanna
memperhatikan adiknya. “Aku tidak tahu kalau keluarga Rai sangat kaya, Zee.”
“Orang kaya biasanya sombong.”
celetuk Zee asal.
“Siapa yang sombong?”
Zee menoleh. Ia nyengir. “Kak
Rai….”
Rai merupakan pria tampan dengan
postur tubuh tinggi, 6 pacs, dan mempunyai senyum menawan. Kali ini pun ia sedang
memperlihatkan senyumnya itu. “Jo, Zee, ini Ayah, Ibu, dan adikku, Ratu.”
Ibu Rai langsung menghampiri
Joanna. “Wah, kau lebih cantik dari fotomu, Sayang!”
Zee bersalaman dengan Ayah dan adik
Rai, yang menurut Zee masih kelas 1 SMU. Setelah itu ia dipeluk Ibu Rai. Ibu
Rai bertanya pada Joanna dan Rai mengenai tanggal pernikahan. Ia kelihatan
sangat memperhatikan Joanna. Syukurlah,
pikir Zee.
“Aku ingin meminta pendapat Agi.”
Rai menoleh pada calon istrinya. “Sebab aku sangat menghormati kakakku itu.” Rai
meremas tangan Joanna sayang. “Bagaimana menurutmu, Jo, Ayah, Ibu?”
Joanna mengangguk tersenyum. “Aku
ikut saja.”
“Terserah kalian saja kalau begitu.” ujar
Ayahnya.
“Tapi cepat, ya!” Ibunya
menepuk-tepuk bahu Joanna sayang. Sebenarnya Ibu sangat ingin menimang cucu.”
Ratu protes. “Ibu ini bagaimana,
sih? Kan masih ada aku yang lucu!”
“Lucu sih lucu. Tapi kau terlalu
berat untuk Ibu gendong.”
Semuanya tertawa.
Zee mengerutkan kening
memperhatikan Ratu. Sepertinya ia mengenal wajah dan tawa itu, entah dimana.
Sekitar pukul 7 malam mereka pergi
ke ruang makan untuk makan malam sementara Zee dan Ratu sudah akrab. “Ya,
begitulah. Aku tidak tahu kapan Agi akan punya pacar lagi. Aku sangat
mengkhawatirkannya. Semoga makan malam kali ini Agi datang.”
Zee tersenyum menanggapi. Jadi Agi ditinggal kekasihnya. Ia pasti
sangat sedih sekali. Tapi kurasa ia mengagumkan sebab ia pernah mencintai
sedalam itu. aku saja belum pernah jatuh cinta!
“Agi datang!” Ratu berlari dan
langsung memeluk Agi yang baru datang. Zee ingin melihat seperti apa Agi. Ia
menerobos kerumunan dan langsung terhenyak. Agi
adalah Pak August! August terlihat bingung dan sama terkejutnya dengan Zee.
“Azya ini mahasiswaku.” ujar August salah tingkah. Zee memperhatikan
August. Pantas saja aku merasa mengenal
Ratu, ternyata wajah Ratu mirip dengan August! “Eh, ayo Azya, ada yang
ingin saya bicarakan.” August menariknya dari kerumunan. “Kalian makan malam
duluan saja, aku dan Azya akan menyusul.” August membawanya ke taman di
belakang rumah. Di tengah taman terdapat ayunan bercat putih. Tercium aroma
mawar merah yang segar dan manis, seperti di kebun kecil milik kakaknya.
Zee memperhatikan jari manis tangan
kiri August. “Kenapa hari ini tidak mengenakan cincin? Saya tahu dari Ratu kalau
Bapak belum menikah.”
“Tolong dengarkan saya, Azya.”
August mengeluarkan cincin dari sakunya. “Ini cincin yang diberikan pacar
pertama saya, Arrifah. Sejak ia meninggal, saya berjanji pada diri saya sendiri
takkan pernah jatuh cinta lagi. Jika saya jatuh cinta, itu sama saja saya
mengkhianati Arafah. Selama Sembilan tahun saya bertahan, namun entah kenapa
saat melihat mata Anda….”
“Mata saya mirip dengan mata Arrifah?”
Entah kenapa, dada Zee terasa sakit.
August tersenyum sedih. Ia menggeleng
lalu menatap Zee. “Mata Anda telah membuat dada saya bergemuruh lagi, sejak
sembilan tahun lamanya terasa hampa. Dan saya sadar saya telah jatuh cinta pada
Anda. Kaulihat cincin ini? Hanya sebagai benteng, agar tidak ada wanita yang
berharap lebih pada saya.” Tatapan matanya melembut. “Ironisnya, saya malah
jatuh cinta pada Anda.”
“Banyak yang jatuh cinta pada mata
saya. Terima kasih. Saya…mengagumi cinta Bapak. Tentu Arrifah sangat beruntung
dicintai Bapak. Setelah Sembilan tahun, kenapa justru saya? Saya tidak pernah
mencintai seseorang sebelumnya. Banyak orang ingin mengajak saya pacaran tetapi
saya tidak merasakan apa-apa.” Jantung Zee tiba-tiba berdebar dengan kencang. “Tapi
entah kenapa, sekarang saya merasa sesak dan berdebar….”
“Bolehkah saya melabuhkan hati saya
pada Anda, Azya? Saya ‘kan belum menikah.”
Azya tersenyum cerah. “Boleh saya
memikirkannya dulu?”
“Tentu saja, pikirkanlah secara
perlahan.” August mengulurkan tangannya. “Ayo kita makan malam.”
Zee menyambut uluran tangan August.
Hangat. Tanpa terasa air mata Zee menetes. Aku
telah jatuh cinta….
End
CODET
12 Februari 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar