YANG TERBAIK
Debira
memandang ke halaman belakang rumahnya melalui jendela kamarnya yang berbingkai
cokelat muda dan bertirai biru laut. Ia memperhatikan mawar putih, kuning, dan
merah, yang tumbuh dengan anggun di sebelah melati. Agak jauh dari tumbuhan mawar
ada pohon mangga, cengkeh, dan flamboyan yang membuat halaman menjadi teduh. Di
belakangnya berdiri tembok setinggi 2 meter lebih.
Tiba-tiba ketenangannya terusik karena kedatangan seorang
tamu tak diundang. “Halo, Sayang!”
Debira tetap pada posisinya, bertopang dagu pada bingkai
jendela. Matanya memandang remeh pada pria di hadapannya. Ia memperhatikan
penampilan pria itu: rambutnya bergelombang dan acak-acakan, wajah persegi
dengan hidung mancung, kaos putih longgar dengan celana jean pudar dan robek di
lutut, dipadu sandal jepit yang sudah sangat jelek. “Sayang kepalamu, pergi
sana!”
“Kau ini selalu tidak sopan padaku, padahal aku lebih tua
lima tahun darimu. Lagipula, aku ‘kan tetanggamu.” Pria itu tersenyum.
“Tepatnya tetangga baru.”
Sebelum Debira sempat membalas kata-kata pria itu, Rani
menarik tangan pria itu. “Kak Heru, sudahlah, jangan menggoda kakakku! Debira
memang tidak suka pada pria!”
Heru mengangkat alisnya yang hitam dan tebal. “Benarkah?
Berarti Debira tidak normal, dong?”
Debira tidak memedulikan ucapan Heru dan menjauh dari
jendela lalu duduk di tempat tidur. Ia meraih majalah lalu membacanya.
“Lihat saja, aku pasti akan membuatmu normal, Nona!” Heru
sempat berteriak sebelum akhirnya menghilang karena diseret adiknya.
Debira berusaha membaca majalah Donal Bebek di tangannya,
tapi tidak berhasil. Akhirnya ia menyerah dan berbaring menatap langit-langit
kamarnya. Bukan benci cowok, tapi tidak
bisa bergaul, pikir Debira murung. Dulu ia pernah menyatakan cinta pada
seniornya di SMP, lalu seniornya itu menolaknya dengan alasan tidak ingin
pacaran dulu. Tetapi beberapa hari kemudian seniornya itu malah berpacaran
dengan adik kelas Debira yang sangat cantik.
Debira memejamkan matanya. Apa salahnya jika penampilannya
seperti kutu buku? Memakai kacamata minus satu setengah dan rambut dikepang
dua, dengan rok seragam melewati lutut? Bukankah yang terpenting adalah
kerapihan?
“Debie!”
“Ada apa, Bu?” Debira bangkit dari tempat tidur dan
menghapus air matanya yang ternyata telah mengalir.
Ibunya memintanya untuk membantu menyiapkan makan siang.
Debira berjalan ke dapur dan membantu Ibunya. “Ada perayaan, Bu? Kok masak
mewah?”
“Kita akan menyambut tetangga yang baru pindah dua hari
yang lalu, Heru dan Rama.” Ibunya tersenyum. “Agar lebih akrab.”
Debira mengernyit. “Tapi, Bu, mereka ‘kan hanya
mengontrak….”
“Jangan tidak ramah, Sayang. Meski mengontrak, mereka ‘kan
tetangga kita.”
Debira mengangkat bahu.
Heru dan Rama, tetangga baru yang masih bujangan. Heru
yang sulung, bekerja sebagai guru di SMP favorit. Jika memakai seragam
kerjanya, ia terlihat rapi, tetapi di luar seragam, ia seorang yang tidak rapi,
sembarangan, meskipun tidak kotor. Sedangkan Rama kebalikannya. Ia merupakan
cowok yang rapi, bersih, hangat, dan sopan. Cowok itu sebaya dengannya, kelas 2
SMU, namun tidak satu sekolah.
Rani yang duduk di kelas 1 SMP sangat tergila-gila pada
Heru. Sesaat setelah kepindahan Heru, Rani selalu membicarakan pria itu. Debira
terpaksa mendengarkan ucapan-ucapan adiknya itu. Sebaiknya Debira tidak ikut
campur dengan mengatakan bahwa itu hanyalah cinta monyet. Debira sayang pada
adiknya, dan tidak mau menyakiti perasaan cinta adiknya itu.
Saat makan siang, Debira mengenakan kaos putih lengan
panjang dan rok putih. Rambutnya yang kini panjang sepinggang, lurus, dan
hitam, dijalin satu ke belakang. Kecamatanya sekarang minus 2¼ kiri-kanan.
Rani membukakan pintu dan menggandeng Heru masuk. Rama
mengikuti di belakangnya. Kali ini Heru cukup rapi. Ia mengenakan kaos putih.
di luarnya ia mengenakan sweater tipis biru laut dan kemeja hitam yang tidak
dikancingkan. Di bawahnya ia mengenakan celana panjang hitam. Sementara Rama
mengenakan sweater putih motif garis-garis berleher tinggi dengan celana
panjang hitam.
Acara makan siang berjalan dengan lancar. Selama makan, Debira
hanya sesekali menjawab pertanyaan Heru dan Rama. Setelahnya ia diam saja dan
tidak balik bertanya. Ia hanya menunduk sambil menikmati makanannya atau
mendengar percakapan keluarganya dengan tetangga baru mereka itu.
Sorenya, Ibunya memasak agar-agar dan menyuruh Debira
untuk mengantarkannya ke rumah Heru dan Rama.
“Rani saja. Aku tidak begitu akrab dengan mereka.”
“Kau ini…bergaul, dong!” Ibunya tersenyum ramah. “Adikmu
sedang les.”
Akhirnya Debira mengantarkan agar-agar ke tetangganya. Ia
memencet bel sekali dan Heru langsung keluar. Heru mengenakan kaos putih dan
celana panjang hitam. Rambutnya acak-acakan. “Debira?”
“Aku mengantarkan agar-agar buatan Ibuku.”
Heru menerima agar-agar itu dengan senyum hangat. “Terima
kasih. Mau masuk?”
Debira menggeleng. Lalu ia berbalik untuk pergi, namun
Heru menarik lengannya. “Ada apa?”
“Kau cantik, tapi sayang kau tidak suka pada pria.”
“Terima kasih. Tapi maaf, aku tidak punya uang receh─kau?” Debira tersentak
karena Heru menariknya dan mengecup tepat di pipi kanannya.
“Itu saja sebagai ganti uang receh.” Heru nyengir.
Debira marah dan akan menampar Heru, namun ia melihat
tetangganya, Bu Wanda. Ia tersenyum ke arah keduanya. “Kalian pacaran, ya?
Enaknya yang masih muda.” Lalu ia pamitan.
Debira mengentakkan kakinya lalu pulang ke rumahnya. Ia
membanting pintu rumah dan pintu kamar dengan kesal, membuat Ibunya keheranan.
“Sayang, kau baik-baik saja?”
“Kurasa aku sakit! Aku ingin sendirian!”
“Oke….” Ibunya menjauhi kamar Debira. “Apakah aku telah
melakukan kesalahan?” Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali ke
ruang keluarga.
Debira membenamkan wajahnya ke bantal yang bersarung putih
polos dan bersih, serasi dengan warna seprainya. Debira menangis. Ia kesal pada
Heru. Apakah kelakuan guru seperti itu?
Oke, Heru juga manusia biasa, dan lagipula ia adalah guru muda. Bukan, bukan
itu masalahnya! Masalahnya adalah belum pernah ada pria yang mengatakan dirinya
cantik, atau menciumnya, selain keluarganya!
Debira tidak suka dibohongi dan dipermainkan. Sudah jelas,
cowok yang pernah ia sukai tidak menganggapnya cantik sama sekali!
Malamnya, saat Debira memandangi bunga-bunga kesukaannya, Heru
berdiri di samping jendela kamar Debira. Debira terkejut karena ia tadi mengira
Heru adalah hantu. Ia memegangi dadanya.
Heru menyeringai. “Maaf membuatmu kaget.” Heru memasukkan
tangan ke saku jean belelnya. Rambutnya yang acak-acakan dan
dipotong pendek, tertiup angin malam yang sejuk. “Aku mau minta maaf.”
Debira menjauhi jendela. “Tak perlu. Lagipula kau ‘kan
sengaja melakukannya.” ujarnya dingin.
Heru tidak beranjak. “Karena itu aku ingin minta maaf.
Tapi aku tidak menyesal melakukannya. Kau cantik, membuatku ingin mengecup
pipimu yang selembut dan seharum mawar.”
“Hentikan! Kalau kau bilang aku cantik lagi….”
“Memang kenapa? Kau memang cantik.”
“Aku tidak cantik! Kau bohong!”
Heru tersenyum. Ia menghela napas. “Kemarilah, jangan
takut begitu. Aku takkan menggigitmu. Ayolah….”
Entah kenapa, saat menatap ke dalam mata Heru yang hitam,
ia seperti terhipnotis. Ia berjalan perlahan ke jendela. Heru merangkum
wajahnya dan melepaskan kacamata Debira. Lalu ia mengambil cermin kecil dari
belakang celana jeannya. “Lihatlah,
mata cokelat mudamu sangat indah, bening dan seperti selalu berair. Dan apakah
kau tidak melihat bahwa bulu matamu lentik?”
Debira memandang wajahnya di cermin. Selama ini ia memang
tidak pernah lama-lama bercermin.
“Kacamata menyembunyikan kecantikanmu, dan wajahmu itu,
seharusnya kau selalu tersenyum. Kau jarang tersenyum, lebih sering cemberut
atau diam. Cobalah untuk tersenyum dan lihat di cermin!” Heru tersenyum. “Benar
‘kan? Kau cantik. Saat pertama kali kita bertemu, kau mengenakan kacamata. Tapi
tadi siang kau lupa mengenakannya. Dan aku melihat kecantikan di matamu.”
Wajah Debira memerah. Tiba-tiba jantungnya berdebar lebih
cepat dari biasanya saat melihat senyuman Heru. Debira mengambil kacamatanya
dan mengenakannya kembali. Saat ia hendak mundur, Heru menggenggam kedua
tangannya. “Mulai sekarang kau harus lebih percaya diri. Oke, aku pulang dulu,
selamat malam!”
Debira memandang punggung Heru. Hangat dan besar. Debira
menggelengkan kepalanya. Bodoh, jangan cepat terpesona! Mungkin Heru hanya
mempermainkannya!
Keesokannya di sekolah, Debira memulai dengan senyum.
Kapan terakhir aku tersenyum pada temanku? Mungkin saat menyatakan cinta di SMP
pun aku tidak tersenyum, pikir Debira murung.
“Hai, Deb, pagi ini kau manis sekali.” ujar Rifky, teman
sekelasnya, yang merupakan cowok keren pemain basket, membuat Debira melongo.
“Kurasa ia tidak bohong, Deb.” Meri memerhatikan wajah
Debira. “Selama ini kau ‘kan tidak pernah tersenyum. Tertawa pun tidak.”
“Benarkah? Apa aku memang tidak pernah tersenyum?”
“Wajahmu selalu cemberut dan jutek. Aku sering
mengatakannya ‘kan?” Meri tersenyum.
Debira tersenyum pada sahabatnya itu.
Pulang sekolah Rifky menghampirinya. “Aku ingin ke
rumahmu. Boleh ‘kan?”
“Ke-kenapa?”
“Aku ingin tahu rumahmu.” Rifky berdehem. “Mungkin malam
minggu besok aku bisa ke rumahmu untuk kencan?”
Debira tidak dapat menahan senyumnya. Mungkin kini saatnya
ia membuka diri. “Oke.”
***
“Akhir-akhir
ini kakak suka keluar rumah, dan, ng…kakak terlihat cantik. Kenapa, ya? Apakah
ia sedang jatuh cinta pada cowok itu?” Rani mengerutkan keningnya.
“Mungkin kakakmu sudah normal lagi. Ia tak lagi benci pada
pria. Oya, apakah kakakmu memang pacaran dengan cowok itu?” tanya Heru ragu.
Rani mengangkat bahu. “Entahlah….” Ia melirik jam di
dinding. “Makasih, Pak Guru Heru, atas bantuan peernya.” Rani tersenyum manja.
“Aku pulang dulu, sudah malam, Bye!”
Heru menghela napas. Ia terlihat bingung dan resah.
Rama masuk dan menyalakan televisi. “Apa kau sedang jatuh
cinta?”
Heru terkejut mendengar pertanyaan adiknya. “Apa? Maksudmu
aku jatuh cinta pada Rani?”
“Bukan, tapi kakaknya. Tadi aku bertemu dengannya. Ia
cantik sekali saat menyapaku dengan senyum. Saat pertama bertemu, wajahnya
sangat sangar.”
Tentu saja, aku yang merubahnya, ujarnya dalam hati. Heru
tersenyum bangga. Rama melihat senyum kakaknya. “Tuh ‘kan, kakak jatuh cinta
pada Debira!”
Heru merasa perutnya ditinju. Ah, rupanya aku memang jatuh cinta pada gadis itu! Tapi jika aku
menyatakan cintaku…Heru menangkupkan wajah pada kedua tangannya. Tidak! Jika aku melakukannya, senyum di
wajah Debira pasti lenyap lagi! Di samping Debira jatuh cinta pada cowok lain,
Debira juga membenciku….
Keesokannya tanpa sengaja Debira bertemu dengan Heru di
halte bus. Melihat Heru, jantungnya jadi berdebar tak menentu. Ia sangat senang
bertemu dengan Heru.
“Hai, Debira.” sapa Heru tenang. Padahal ia bersorak
girang dalam hati. Dengan atau tanpa kacamata, Debira tetap cantik, pikir Heru.
Debira membuka kacamatanya dan menyimpannya di saku.
“Berkatmu, aku jadi disenangi dan menyenangi teman cowok.” Debira tertawa
memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Matanya yang cokelat bening berair
terlihat berbinar-binar. “Minus di kacamataku jadi satu, dan akan terus
berkurang karena aku rajin meminum jus wortel.”
“Oh. “
Alis kanan Debira terangkat. Hanya Oh? Tak ada komentar lain?
Apakah Heru tidak peduli sama sekali? tanya Debira dalam hati. Ia kecewa.
“Kudengar, kau pacaran dengan adikku.”
“Apa? Tidak. Apa Rani yang mengatakannya? Aku hanya
menganggapnya adik.” Heru tergelak, membuat Debira terpesona. “Bukankah kau
yang sudah punya pacar?”
Debira tersipu. “Pacar? Siapa?”
Heru mengangkat bahu. “Rani bilang kau suka pergi
jalan-jalan dengan seorang cowok….”
“Oh, Rifky. Ia bukan pacarku. Kami hanya berteman. Ah,
busku sudah datang.” Debira mengangkat bahu, lalu segera naik ke bus.
Debira menghela napas. Wajahnya berseri-seri karena
mengetahui bahwa Heru dan Rani tidak berpacaran.
Sorenya saat Debira sedang menyiram bunga di halaman
belakang, Heru berkunjung.
“Biar kubantu.” Heru meraih selang dan bermaksud menyiram
bunga. “Lho, airnya kok…aduh!” Air menyembur dari selang dan membasahi seluruh
tubuh Heru, membuat Debira terbahak. Debira memang sengaja menginjak selang
tadi agar air tidak mengalir.
Heru menyiraminya dan Debira kembali terbahak. “Hei,
hentikan, Heru!” Debira tersandung selang dan jatuh ke belakang. Heru melompat
memeluknya agar tubuh Debira tidak membentur tanah berumput di bawahnya.
Kacamata Debira jatuh tak jauh dari keduanya.
“Lihat, apa yang kauperbuat?”
“Maaf….” Debira berada di bawah tubuh Heru yang basah.
“Kenapa memandang seperti itu?”
“Aku suka padamu.”
Jantung Debira berdebar. “Bohong, ah!”
Heru menggeleng. Ia menyingkirkan sejumput rambut yang
basah dari wajah Debira. “Aku cemburu karena kini…bukan aku saja yang bisa
menikmati kecantikanmu.”
Debira tersipu. “Aku tidak cantik.”
“Bagiku kau cantik. Aku suka padamu.” Heru tersenyum, lalu
mengecup hidung Debira. Ia terdiam sebelum bertanya, “maukah kau menjadi
pacarku?”
Debira menatap ke dalam bola mata Heru. Hatinya sangat
bahagia dan senang. Meskipun tubuhnya basah namun ia tidak merasa kedinginan.
“Aku bersedia, Heru….”
Heru memeluknya. Mereka berpelukan, saling melepas kasih
dan rindu. Hingga mereka mendengar suara Rani.
“Kalian lagi mandi atau tiduran, sih?”
Wajah Debira tersipu. Heru tersenyum dan membantunya
berdiri. Ia mengambilkan kacamata Debira dan Debira memakainya. “Menurutmu,
kami sedang apa?” tanya Heru.
Rani tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya. Ia menyimpan
kedua tangannya di belakang kepala. “Melakukan hal yang membuatku broken heart. Huh, ternyata gebetanku
diambil oleh kakakku yang sama sekali tidak berpengalaman!” Lalu ia berjalan ke
dalam rumah sambil bersenandung.
Heru masih memeluknya. “Debie, maaf kalau aku berantakan,
tidak rapi….”
Debira menggeleng. “Bukan masalah. Kau yang terbaik di
antara semua cowok yang pernah kukenal.”
Heru tersenyum senang. “Sebaiknya kau mandi, nanti masuk
angin.”
“Aku baik-baik saja, hatsyiii!”
Heru menepuk kepalanya dengan sayang. “Bodoh, ayo!”
Debira memeluk pinggang Heru sambil berjalan ke dalam
rumah. “Nanti malam main ke rumah, tidak?”
“Tentu saja. Malam minggu. Sekaligus memberitahukan orang
tuamu.”
“Melamar?”
Heru terlihat berpikir. “Masih lama, kau ‘kan masih
sekolah.”
“Lulus SMU aku bisa langsung menikah!”
“Aku ingin kau kuliah dan meraih cita-citamu dulu. Aku tak
ingin merebut kebebasanmu.”
Debira tersenyum dan merapat. “Kau memang yang terbaik.
Tapi jika lulus SMU menikah pun aku tidak keberatan.”
“Akan kupikirkan.” Heru mengelus kepalanya dengan sayang
sebelum membiarkan Debira masuk ke dalam rumah.
Debira masuk rumah dan mengajak Ibunya yang sedang memasak
untuk menari. “Sayang, ada apa ini? Kau sedang senang?”
“Aku sedang bahagia, Bu! Aku mau mandi!”
“Kau bahagia karena ingin mandi?” Ibunya menatap putrinya
menari-nari ke kamar mandi. Ia menggeleng-geleng bingung, mengambil lap pel,
lalu mengepel lantai yang basah akibat perbuatan putrinya itu.
TAMAT
CODET
Sunday,
March, 2nd 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar