Selasa, 22 Mei 2012

Cerpen Cinta Yang Terbaik


YANG TERBAIK
Debira memandang ke halaman belakang rumahnya melalui jendela kamarnya yang berbingkai cokelat muda dan bertirai biru laut. Ia memperhatikan mawar putih, kuning, dan merah, yang tumbuh dengan anggun di sebelah melati. Agak jauh dari tumbuhan mawar ada pohon mangga, cengkeh, dan flamboyan yang membuat halaman menjadi teduh. Di belakangnya berdiri tembok setinggi 2 meter lebih.
Tiba-tiba ketenangannya terusik karena kedatangan seorang tamu tak diundang. “Halo, Sayang!”
Debira tetap pada posisinya, bertopang dagu pada bingkai jendela. Matanya memandang remeh pada pria di hadapannya. Ia memperhatikan penampilan pria itu: rambutnya bergelombang dan acak-acakan, wajah persegi dengan hidung mancung, kaos putih longgar dengan celana jean pudar  dan robek di lutut, dipadu sandal jepit yang sudah sangat jelek. “Sayang kepalamu, pergi sana!”
“Kau ini selalu tidak sopan padaku, padahal aku lebih tua lima tahun darimu. Lagipula, aku ‘kan tetanggamu.” Pria itu tersenyum. “Tepatnya tetangga baru.”
Sebelum Debira sempat membalas kata-kata pria itu, Rani menarik tangan pria itu. “Kak Heru, sudahlah, jangan menggoda kakakku! Debira memang tidak suka pada pria!”
Heru mengangkat alisnya yang hitam dan tebal. “Benarkah? Berarti Debira tidak normal, dong?”
Debira tidak memedulikan ucapan Heru dan menjauh dari jendela lalu duduk di tempat tidur. Ia meraih majalah lalu membacanya.
“Lihat saja, aku pasti akan membuatmu normal, Nona!” Heru sempat berteriak sebelum akhirnya menghilang karena diseret adiknya.
Debira berusaha membaca majalah Donal Bebek di tangannya, tapi tidak berhasil. Akhirnya ia menyerah dan berbaring menatap langit-langit kamarnya. Bukan benci cowok, tapi tidak bisa bergaul, pikir Debira murung. Dulu ia pernah menyatakan cinta pada seniornya di SMP, lalu seniornya itu menolaknya dengan alasan tidak ingin pacaran dulu. Tetapi beberapa hari kemudian seniornya itu malah berpacaran dengan adik kelas Debira yang sangat cantik.
Debira memejamkan matanya. Apa salahnya jika penampilannya seperti kutu buku? Memakai kacamata minus satu setengah dan rambut dikepang dua, dengan rok seragam melewati lutut? Bukankah yang terpenting adalah kerapihan?
“Debie!”
“Ada apa, Bu?” Debira bangkit dari tempat tidur dan menghapus air matanya yang ternyata telah mengalir.
Ibunya memintanya untuk membantu menyiapkan makan siang. Debira berjalan ke dapur dan membantu Ibunya. “Ada perayaan, Bu? Kok masak mewah?”
“Kita akan menyambut tetangga yang baru pindah dua hari yang lalu, Heru dan Rama.” Ibunya tersenyum. “Agar lebih akrab.”
Debira mengernyit. “Tapi, Bu, mereka ‘kan hanya mengontrak….”
“Jangan tidak ramah, Sayang. Meski mengontrak, mereka ‘kan tetangga kita.”
Debira mengangkat bahu.
Heru dan Rama, tetangga baru yang masih bujangan. Heru yang sulung, bekerja sebagai guru di SMP favorit. Jika memakai seragam kerjanya, ia terlihat rapi, tetapi di luar seragam, ia seorang yang tidak rapi, sembarangan, meskipun tidak kotor. Sedangkan Rama kebalikannya. Ia merupakan cowok yang rapi, bersih, hangat, dan sopan. Cowok itu sebaya dengannya, kelas 2 SMU, namun tidak satu sekolah.
Rani yang duduk di kelas 1 SMP sangat tergila-gila pada Heru. Sesaat setelah kepindahan Heru, Rani selalu membicarakan pria itu. Debira terpaksa mendengarkan ucapan-ucapan adiknya itu. Sebaiknya Debira tidak ikut campur dengan mengatakan bahwa itu hanyalah cinta monyet. Debira sayang pada adiknya, dan tidak mau menyakiti perasaan cinta adiknya itu.
Saat makan siang, Debira mengenakan kaos putih lengan panjang dan rok putih. Rambutnya yang kini panjang sepinggang, lurus, dan hitam, dijalin satu ke belakang. Kecamatanya sekarang minus 2¼ kiri-kanan.
Rani membukakan pintu dan menggandeng Heru masuk. Rama mengikuti di belakangnya. Kali ini Heru cukup rapi. Ia mengenakan kaos putih. di luarnya ia mengenakan sweater tipis biru laut dan kemeja hitam yang tidak dikancingkan. Di bawahnya ia mengenakan celana panjang hitam. Sementara Rama mengenakan sweater putih motif garis-garis berleher tinggi dengan celana panjang hitam.
Acara makan siang berjalan dengan lancar. Selama makan, Debira hanya sesekali menjawab pertanyaan Heru dan Rama. Setelahnya ia diam saja dan tidak balik bertanya. Ia hanya menunduk sambil menikmati makanannya atau mendengar percakapan keluarganya dengan tetangga baru mereka itu.
Sorenya, Ibunya memasak agar-agar dan menyuruh Debira untuk mengantarkannya ke rumah Heru dan Rama.
“Rani saja. Aku tidak begitu akrab dengan mereka.”
“Kau ini…bergaul, dong!” Ibunya tersenyum ramah. “Adikmu sedang les.”
Akhirnya Debira mengantarkan agar-agar ke tetangganya. Ia memencet bel sekali dan Heru langsung keluar. Heru mengenakan kaos putih dan celana panjang hitam. Rambutnya acak-acakan. “Debira?”
“Aku mengantarkan agar-agar buatan Ibuku.”
Heru menerima agar-agar itu dengan senyum hangat. “Terima kasih. Mau masuk?”
Debira menggeleng. Lalu ia berbalik untuk pergi, namun Heru menarik lengannya. “Ada apa?”
“Kau cantik, tapi sayang kau tidak suka pada pria.”
“Terima kasih. Tapi maaf, aku tidak punya uang recehkau?” Debira tersentak karena Heru menariknya dan mengecup tepat di pipi kanannya.
“Itu saja sebagai ganti uang receh.” Heru nyengir.
Debira marah dan akan menampar Heru, namun ia melihat tetangganya, Bu Wanda. Ia tersenyum ke arah keduanya. “Kalian pacaran, ya? Enaknya yang masih muda.” Lalu ia pamitan.
Debira mengentakkan kakinya lalu pulang ke rumahnya. Ia membanting pintu rumah dan pintu kamar dengan kesal, membuat Ibunya keheranan. “Sayang, kau baik-baik saja?”
“Kurasa aku sakit! Aku ingin sendirian!”
“Oke….” Ibunya menjauhi kamar Debira. “Apakah aku telah melakukan kesalahan?” Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali ke ruang keluarga.
Debira membenamkan wajahnya ke bantal yang bersarung putih polos dan bersih, serasi dengan warna seprainya. Debira menangis. Ia kesal pada Heru. Apakah kelakuan guru seperti itu? Oke, Heru juga manusia biasa, dan lagipula ia adalah guru muda. Bukan, bukan itu masalahnya! Masalahnya adalah belum pernah ada pria yang mengatakan dirinya cantik, atau menciumnya, selain keluarganya!
Debira tidak suka dibohongi dan dipermainkan. Sudah jelas, cowok yang pernah ia sukai tidak menganggapnya cantik sama sekali!
Malamnya, saat Debira memandangi bunga-bunga kesukaannya, Heru berdiri di samping jendela kamar Debira. Debira terkejut karena ia tadi mengira Heru adalah hantu. Ia memegangi dadanya.
Heru menyeringai. “Maaf membuatmu kaget.” Heru memasukkan tangan ke saku jean belelnya. Rambutnya yang acak-acakan dan dipotong pendek, tertiup angin malam yang sejuk. “Aku mau minta maaf.”
Debira menjauhi jendela. “Tak perlu. Lagipula kau ‘kan sengaja melakukannya.” ujarnya dingin.
Heru tidak beranjak. “Karena itu aku ingin minta maaf. Tapi aku tidak menyesal melakukannya. Kau cantik, membuatku ingin mengecup pipimu yang selembut dan seharum mawar.”
“Hentikan! Kalau kau bilang aku cantik lagi….”
“Memang kenapa? Kau memang cantik.”
“Aku tidak cantik! Kau bohong!”
Heru tersenyum. Ia menghela napas. “Kemarilah, jangan takut begitu. Aku takkan menggigitmu. Ayolah….”
Entah kenapa, saat menatap ke dalam mata Heru yang hitam, ia seperti terhipnotis. Ia berjalan perlahan ke jendela. Heru merangkum wajahnya dan melepaskan kacamata Debira. Lalu ia mengambil cermin kecil dari belakang celana jeannya. “Lihatlah, mata cokelat mudamu sangat indah, bening dan seperti selalu berair. Dan apakah kau tidak melihat bahwa bulu matamu lentik?”
Debira memandang wajahnya di cermin. Selama ini ia memang tidak pernah lama-lama bercermin.
“Kacamata menyembunyikan kecantikanmu, dan wajahmu itu, seharusnya kau selalu tersenyum. Kau jarang tersenyum, lebih sering cemberut atau diam. Cobalah untuk tersenyum dan lihat di cermin!” Heru tersenyum. “Benar ‘kan? Kau cantik. Saat pertama kali kita bertemu, kau mengenakan kacamata. Tapi tadi siang kau lupa mengenakannya. Dan aku melihat kecantikan di matamu.”
Wajah Debira memerah. Tiba-tiba jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya saat melihat senyuman Heru. Debira mengambil kacamatanya dan mengenakannya kembali. Saat ia hendak mundur, Heru menggenggam kedua tangannya. “Mulai sekarang kau harus lebih percaya diri. Oke, aku pulang dulu, selamat malam!”
Debira memandang punggung Heru. Hangat dan besar. Debira menggelengkan kepalanya. Bodoh, jangan cepat terpesona! Mungkin Heru hanya mempermainkannya!
Keesokannya di sekolah, Debira memulai dengan senyum. Kapan terakhir aku tersenyum pada temanku? Mungkin saat menyatakan cinta di SMP pun aku tidak tersenyum, pikir Debira murung.
“Hai, Deb, pagi ini kau manis sekali.” ujar Rifky, teman sekelasnya, yang merupakan cowok keren pemain basket, membuat Debira melongo.
“Kurasa ia tidak bohong, Deb.” Meri memerhatikan wajah Debira. “Selama ini kau ‘kan tidak pernah tersenyum. Tertawa pun tidak.”
“Benarkah? Apa aku memang tidak pernah tersenyum?”
“Wajahmu selalu cemberut dan jutek. Aku sering mengatakannya ‘kan?” Meri tersenyum.
Debira tersenyum pada sahabatnya itu.
Pulang sekolah Rifky menghampirinya. “Aku ingin ke rumahmu. Boleh ‘kan?”
“Ke-kenapa?”
“Aku ingin tahu rumahmu.” Rifky berdehem. “Mungkin malam minggu besok aku bisa ke rumahmu untuk kencan?”
Debira tidak dapat menahan senyumnya. Mungkin kini saatnya ia membuka diri. “Oke.”
***
“Akhir-akhir ini kakak suka keluar rumah, dan, ng…kakak terlihat cantik. Kenapa, ya? Apakah ia sedang jatuh cinta pada cowok itu?” Rani mengerutkan keningnya.
“Mungkin kakakmu sudah normal lagi. Ia tak lagi benci pada pria. Oya, apakah kakakmu memang pacaran dengan cowok itu?” tanya Heru ragu.
Rani mengangkat bahu. “Entahlah….” Ia melirik jam di dinding. “Makasih, Pak Guru Heru, atas bantuan peernya.” Rani tersenyum manja. “Aku pulang dulu, sudah malam, Bye!”
Heru menghela napas. Ia terlihat bingung dan resah.
Rama masuk dan menyalakan televisi. “Apa kau sedang jatuh cinta?”
Heru terkejut mendengar pertanyaan adiknya. “Apa? Maksudmu aku jatuh cinta pada Rani?”
“Bukan, tapi kakaknya. Tadi aku bertemu dengannya. Ia cantik sekali saat menyapaku dengan senyum. Saat pertama bertemu, wajahnya sangat sangar.”
Tentu saja, aku yang merubahnya, ujarnya dalam hati. Heru tersenyum bangga. Rama melihat senyum kakaknya. “Tuh ‘kan, kakak jatuh cinta pada Debira!”
Heru merasa perutnya ditinju. Ah, rupanya aku memang jatuh cinta pada gadis itu! Tapi jika aku menyatakan cintaku…Heru menangkupkan wajah pada kedua tangannya. Tidak! Jika aku melakukannya, senyum di wajah Debira pasti lenyap lagi! Di samping Debira jatuh cinta pada cowok lain, Debira juga membenciku….
Keesokannya tanpa sengaja Debira bertemu dengan Heru di halte bus. Melihat Heru, jantungnya jadi berdebar tak menentu. Ia sangat senang bertemu dengan Heru.
“Hai, Debira.” sapa Heru tenang. Padahal ia bersorak girang dalam hati. Dengan atau tanpa kacamata, Debira tetap cantik, pikir Heru.
Debira membuka kacamatanya dan menyimpannya di saku. “Berkatmu, aku jadi disenangi dan menyenangi teman cowok.” Debira tertawa memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Matanya yang cokelat bening berair terlihat berbinar-binar. “Minus di kacamataku jadi satu, dan akan terus berkurang karena aku rajin meminum jus wortel.”
“Oh. “
Alis kanan Debira terangkat. Hanya Oh? Tak ada komentar lain? Apakah Heru tidak peduli sama sekali? tanya Debira dalam hati. Ia kecewa. “Kudengar, kau pacaran dengan adikku.”
“Apa? Tidak. Apa Rani yang mengatakannya? Aku hanya menganggapnya adik.” Heru tergelak, membuat Debira terpesona. “Bukankah kau yang sudah punya pacar?”
Debira tersipu. “Pacar? Siapa?”
Heru mengangkat bahu. “Rani bilang kau suka pergi jalan-jalan dengan seorang cowok….”
“Oh, Rifky. Ia bukan pacarku. Kami hanya berteman. Ah, busku sudah datang.” Debira mengangkat bahu, lalu segera naik ke bus.
Debira menghela napas. Wajahnya berseri-seri karena mengetahui bahwa Heru dan Rani tidak berpacaran.
Sorenya saat Debira sedang menyiram bunga di halaman belakang, Heru berkunjung.
“Biar kubantu.” Heru meraih selang dan bermaksud menyiram bunga. “Lho, airnya kok…aduh!” Air menyembur dari selang dan membasahi seluruh tubuh Heru, membuat Debira terbahak. Debira memang sengaja menginjak selang tadi agar air tidak mengalir.
Heru menyiraminya dan Debira kembali terbahak. “Hei, hentikan, Heru!” Debira tersandung selang dan jatuh ke belakang. Heru melompat memeluknya agar tubuh Debira tidak membentur tanah berumput di bawahnya. Kacamata Debira jatuh tak jauh dari keduanya.
“Lihat, apa yang kauperbuat?”
“Maaf….” Debira berada di bawah tubuh Heru yang basah. “Kenapa memandang seperti itu?”
“Aku suka padamu.”
Jantung Debira berdebar. “Bohong, ah!”
Heru menggeleng. Ia menyingkirkan sejumput rambut yang basah dari wajah Debira. “Aku cemburu karena kini…bukan aku saja yang bisa menikmati kecantikanmu.”
Debira tersipu. “Aku tidak cantik.”
“Bagiku kau cantik. Aku suka padamu.” Heru tersenyum, lalu mengecup hidung Debira. Ia terdiam sebelum bertanya, “maukah kau menjadi pacarku?”
Debira menatap ke dalam bola mata Heru. Hatinya sangat bahagia dan senang. Meskipun tubuhnya basah namun ia tidak merasa kedinginan. “Aku bersedia, Heru….”
Heru memeluknya. Mereka berpelukan, saling melepas kasih dan rindu. Hingga mereka mendengar suara Rani.
“Kalian lagi mandi atau tiduran, sih?”
Wajah Debira tersipu. Heru tersenyum dan membantunya berdiri. Ia mengambilkan kacamata Debira dan Debira memakainya. “Menurutmu, kami sedang apa?” tanya Heru.
Rani tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya. Ia menyimpan kedua tangannya di belakang kepala. “Melakukan hal yang membuatku broken heart. Huh, ternyata gebetanku diambil oleh kakakku yang sama sekali tidak berpengalaman!” Lalu ia berjalan ke dalam rumah sambil bersenandung.
Heru masih memeluknya. “Debie, maaf kalau aku berantakan, tidak rapi….”
Debira menggeleng. “Bukan masalah. Kau yang terbaik di antara semua cowok yang pernah kukenal.”
Heru tersenyum senang. “Sebaiknya kau mandi, nanti masuk angin.”
“Aku baik-baik saja, hatsyiii!”
Heru menepuk kepalanya dengan sayang. “Bodoh, ayo!”
Debira memeluk pinggang Heru sambil berjalan ke dalam rumah. “Nanti malam main ke rumah, tidak?”
“Tentu saja. Malam minggu. Sekaligus memberitahukan orang tuamu.”
“Melamar?”
Heru terlihat berpikir. “Masih lama, kau ‘kan masih sekolah.”
“Lulus SMU aku bisa langsung menikah!”
“Aku ingin kau kuliah dan meraih cita-citamu dulu. Aku tak ingin merebut kebebasanmu.”
Debira tersenyum dan merapat. “Kau memang yang terbaik. Tapi jika lulus SMU menikah pun aku tidak keberatan.”
“Akan kupikirkan.” Heru mengelus kepalanya dengan sayang sebelum membiarkan Debira masuk ke dalam rumah.
Debira masuk rumah dan mengajak Ibunya yang sedang memasak untuk menari. “Sayang, ada apa ini? Kau sedang senang?”
“Aku sedang bahagia, Bu! Aku mau mandi!”
“Kau bahagia karena ingin mandi?” Ibunya menatap putrinya menari-nari ke kamar mandi. Ia menggeleng-geleng bingung, mengambil lap pel, lalu mengepel lantai yang basah akibat perbuatan putrinya itu.
TAMAT
CODET
Sunday, March, 2nd 2003.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar