24 Februari 2012, Jumat
Amie tidak tidur sepanjang perjalanan menuju villa
keluarganya di daerah pegunungan karena ia sangat bersemangat menyambut
liburannya.
“Nona
tidak tidur dari tadi?”
“Aku
tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat, Pak Tim.” Amie membuka jendela
karena ingin menghirup udara pegunungan yang mulai menyambutnya. Pepohonan
pinus dan cemara yang berderet di sepanjang jalan menyambutnya. Udaranya sejuk
sedikit dingin, dan segar. “Aroma yang sangat kurindukan. Aroma pinus, cemara,
dan rumput segar.”
“Nona
bisa saja.”
“Yah,
karena sibuk selama tiga tahun di SMA, aku tak
sempat liburan ke villa. Sekarang aku sudah bebas, tinggal menunggu
waktu untuk masuk kuliah. Benar-benar menyenangkan!”
“Nona
masih ingat Rain?”
“Rain? Tentu saja ingat, keponakan Pak Tim ‘kan.”
“Benar.”
Amie
mencoba mengingat-ingat wajah Rain tetapi samar-samar. “Terakhir aku ke villa
saat liburan seminggu, dia masih kelas 1 SMP ya? Saat
itu dia baru diangkat anak oleh Pak Tom ‘kan?” Pak Tom dan Bu Tom adalah
pegawai kepercayaan Ayah Amie yang bertugas merawat dan menjaga villa keluarga
Amie.
“Benar. Ia
sekarang baru naik kelas 1 SMA. Dulu ia sangat pendiam, penuh duka karena orang
tuanya baru saja meninggal. Tapi berangsur-angsur menjadi ceria kembali.
Anaknya rajin bekerja dan berprestasi di sekolahnya, benar-benar membanggakan.”
“Benarkah? Bu Tom dan Pak Tom pasti
senang.”
“Benar. Dan saya pun turut senang.”
Amie tersenyum mengingat Rain. Bocah
kelas 1 SMP yang dulu ditemuinya benar-benar pendiam. Disapa dan diajak bermain
pun diam saja. Dan wajahnya selalu menunjukkan kesedihan. Amie dan keluarga
Amie iba pada Rain.
Saat tiba di villa, suami-istri
keluarga Tom menyambutnya dengan riang dan ramah.
“Selamat datang, Nona. Tiga tahun
tidak bertemu tambah cantik saja…sudah dewasa ya…” sambut Bu Tom.
Amie tersipu. “Bu Tom bisa saja. Apa
kabar, Bu, Pak?”
“Baik. Nona kelihatannya sehat.” Pak
Tom tersenyum ramah. Ia membantu membawakan koper
dan tas Amie.
“Nona, seminggu
lagi saya akan ke sini mengantar Tuan Ronald dan teman-temannya yang akan
liburan akhir pekan. Kalau ada barang yang ingin dibawakan, telpon
saja.”
“Siap, Pak Tim, hati-hati di jalan.”
Setelah Pak Tim pergi, Pa Tom dan Bu
Tom mengantar sampai ke kamar Amie di lantai dua.
“Oya, di mana Rain?”
“Rain sedang sekolah. Jam 2 nanti
baru pulang.”
“Kudengar dari Pak Tim, dia sangat
rajin dan pintar.”
Mata Bu Tom berkaca-kaca. “Benar, Rain sangat rajin, baik bekerja maupun belajar.”
“Lebih tepatnya dia
cerdas.” Pak Tom berseri-seri.
Amie tersenyum. Sepertinya mereka
benar-benar bangga akan Rain. Pak Tom kembali bekerja, meninggalkan Amie dan Bu
Tom di kamar Amie. “Kau sudah lapar, Amie? Mau telur mata sapi dan sosis?”
“Tidak usah, masih jam 11 pagi. Nanti
aku bisa masak sendiri, kok.”
“Tidak usah sungkan. Biasanya juga
Ibu yang masak di sini. Kalau ada perlu telepon saja, Nona.”
“Baiklah.”
Setelah Bu Tom pergi ke rumahnya
sendiri di halaman belakang villa, Amie membuka jendela
kamar yang menghadap ke halaman belakang. Dari kamarnya, ia dapat melihat rumah
keluarga Tom. Halaman villa dibatasi oleh tembok
bata merah setinggi 2 meter. Di luar tembok villa terhampar hutan pinus
dan cemara. Jauh di dalam hutan terdapat air terjun. Sewaktu kecil Amie dan
keluarganya sering ke sana. Berenang atau sekadar bermain air atau memancing di
sungai yang mengalir di bawahnya, sambil membawa bekal piknik.
Saat ia bertemu Rain tiga
tahun lalu, ia mengajak Rain ke air terjun. Awalnya Rain menolak, tapi Amie
memaksanya ke sana. Saat itu Rain berdiri terpaku memandangi air terjun,
kemudian ia menangis keras sekali, membuat Amie terkejut. Amie ingin
mendekatinya, tetapi tidak berani. Akhirnya Amie hanya duduk menemani sampai
Rain berhenti menangis. Rain tidak berani memandang Amie, mungkin malu karena
Amie melihatnya menangis. Ia menarik napas dalam-dalam lalu berkata dengan
suara teramat pelan, “Terima kasih. Air terjunnya indah.”
Amie senang mendengarnya.
“Sama-sama.” Itu hari terakhir liburan, dan setelah itu Amie tidak pernah
bertemu Rain lagi.
Setelah memasukkan semua pakaiannya
ke dalam lemari, Amie merasa lelah dan
mengantuk, sehingga tanpa sadar Amie tertidur, dan baru terbangun pukul
setengah dua siang. Perutnya terasa lapar, dan ia bergegas ke bawah untuk
masak. tetapi ternyata Bu Tom telah memasak untuknya. Telur mata sapi, sosis,
dan cream soup telah tersaji di meja
makan.
Setelah melahap semua masakan di meja
makan, Amie izin pada Bu Tom untuk jalan-jalan sendiri ke air terjun. Bu Tom
menyuruhnya untuk menunggu Rain pulang sekolah. “Biar Rain yang mengantarmu. Ke
air terjun ‘kan jauh.”
“Tidak usah, Bu Tom. Aku masih ingat
dengan jelas jalan menuju air terjun, kok.”
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati,
Nona.”
Dua puluh menit kemudian Amie baru
sampai di air terjun. Saat berjalan mendekati sungai
dingin yang mengalir di bawah air terjun, tiba-tiba seseorang muncul ke
permukaan sungai. Cowok telanjang!
Amie menutup wajahnya. Ia sedikit mengintip. Ah, rupanya masih mengenakan celana hitam pendek, ujarnya dalam
hati.
“Pengintip.” Suara
cowok itu serak dan sedikit berbisik. Cowok itu mengusap rambutnya yang dipangkas pendek dan basah dengan kedua
tangannya yang terlihat kuat, lalu perlahan berjalan mengikuti arus sungai ke
arah Amie. Tubuhnya tinggi tegap dan atletis. Alisnya yang tebal menaungi
matanya yang menatap tajam. Hidungnya lurus mancung dan bibirnya tipis merah tanpa senyum. Kulitnya
kecoklatan, tanda ia sering berada di luar ruangan.
Amie terpaku di tempat karena
terpesona. Jantungnya berdegup kencang. Lalu ia tersadar. “Apa? Enak saja, aku
bukan pengintip! Aku ke sini untuk menikmati air terjun!”
Cowok itu kini sudah berdiri sangat
dekat Amie. Air menetes dari rambut, wajah, dan tubuhnya. Dari dekat cowok ini benar-benar tinggi dan keren! Tubuhnya beraroma pinus, cemara, dan rumput segar yang
sangat ia rindukan. Satu sudut bibirnya tertarik ke
atas. Ia tersenyum dingin. “Selamat datang,
Nona Muda Amie.”
Amie mengerjapkan matanya. “Kau…Rain?
Aku tidak mengenalimu, kau berubah sekali….”
Rain mundur perlahan. “Maksud Nona,
aku sangat keren? Banyak yang berpendapat sama, terima kasih.”
Wajah Amie memerah. “Kau sombong.”
Rain duduk di batu besar di tepi
sungai. “Aku hanya mengatakan kenyataan.”
“Kita sudah lama tidak bertemu,
bisakah kau bersikap lebih bersahabat? Aku akan lama berlibur di sini.”
“Kenapa harus begitu? Apakah kewajiban?”
tanyanya acuh tak acuh.
“Tentu saja. Selama aku di
sini, kau harus menemaniku. Meskipun kau punya pacar, kau harus memprioritaskan
aku!” Aduh, bodoh, apa-apaan sih aku ini? Kenapa
aku bilang begitu? tanya Amie dalam hati.
Ucapan Amie membuat Rain kembali
mendekatinya. Ia membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan wajah Amie. Amie
dapat melihat bahwa bola mata Rain berwarna cokelat
terang keemasan, sangat indah. “Kenapa Nona
tidak mengajak pacar Nona ke sini?”
Amie ingin sekali melangkah mundur,
tapi ia tidak mau kalah oleh Rain. Ia menatap Rain lurus-lurus. “Bukan
urusanmu. Sudah tugasmu menemaniku di sini….” Amie sangat terkejut karena
tiba-tiba Rain merangkum wajahnya lalu menciumnya. Ciuman pertamaku! Amie berusaha melepaskan diri. Ia memukul-pukul
bahu telanjang Rain. Saat akhirnya Rain melepaskan ciumannya, Amie terduduk
lemas di rerumputan. Jantungnya berdenyut cepat seolah akan keluar.
Rain tersenyum dingin. Ia menjilati
bibirnya sendiri. “Rasamu sungguh luar biasa, Nona Muda. Jika Nona ingin aku menemanimu, aku akan selalu meminta
imbalan seperti barusan untuk bayarannya.”
Wajah Amie terasa panas. Bibirnya
masih merasakan ciuman Rain yang basah, hangat, dan lembut, bertolak belakang
dengan sikapnya yang dingin. Amie merasa ia akan sangat menyukai cowok yang
usianya tiga tahun di bawahnya ini. Sungguh berbahaya….pikir Amie terpesona.
***
“Sebentar, Bi, aku masih ngantuk….”
“Bangun, Nona pemalas. Ini bukan di
rumahmu di kota.”
Amie langsung membuka matanya dan
terjaga sepenuhnya. Rain sedang duduk di tepi tempat tidur. Pagi ini Rain
mengenakan kaos biru telur asin tanpa lengan dan celana gunung selutut.
Tubuhnya beraroma pinus, cemara, rumput segar, dan sedikit kopi. “Ka-kau tidak
sopan! Jangan masuk sembarangan ke kamar seorang gadis!” Amie menarik
selimutnya panik.
Rain mengangkat sebelah alisnya yang
tebal sempurna. “Nona yang kemarin menyuruhku untuk selalu menemani selama di
sini. Apa Nona lupa?”
“Aku tidak lupa. Tapi bukan berarti
kau boleh seenaknya masuk….” Wajah Amie merah padam. Ia malu karena Rain
melihatnya mengenakan piyama bergambar boneka babi.
Seolah mengerti jalan pikiran Amie,
Rain bergumam, “Piyama Nona sama sekali tidak seksi. Nona sudah 18 tahun tapi
masih suka memakai baju anak-anak….”
“Ta-tapi tubuhku tidak seperti
anak-anak!” Aduh, apa, sih yang aku
katakan? tanyanya dalam hati.
Mata tajam Rain menatapnya, lalu
menelusuri tubuhnya mulai dari atas lalu ke bawah. “Ya.” Rain membuang muka.
“Baiklah, aku duluan ke bawah. Ibuku sudah menyiapkan sarapan. Setelah sarapan
aku akan mengantarmu ke tempat yang belum pernah kaukunjungi, Nona.” Rain
keluar kamar, meninggalkan Amie yang hampir pingsan karena malu ditatap Rain.
Setelah mandi, Amie sarapan ditemani
Bu Tom. “Apakah Rain memang tidak ramah?”
Bu Tom tersenyum. “Ia memang tidak begitu
ramah. Tapi ia anak yang baik. Temannya sih banyak yang suka main ke sini.”
“Perempuan?”
“Laki-laki dan perempuan. Kebanyakan
sih laki-laki. Biasanya mereka main ke danau atau ke air terjun.”
Amie memerhatikan Rain yang sedang
mengobrol dengan Pak Tom di halaman belakang villa. Amie berusaha menelan sosisnya. Kenapa Rain tampan
sekali? Tubuhnya juga tinggi
dan atletis…dan sikap dinginnya justru membuat perempuan tergila-gila dan
mengejarnya, pikir Amie. Amie
menggelengkan kepalanya, teringat ciuman Rain yang basah, hangat, dan lembut. Kenapa ia menciumku? Apakah ciuman hal yang biasa baginya? Huh, kembalikan ciuman pertamaku! Ia
bertanya-tanya dalam hati.
“Nona makan lama sekali. Nona sudah
siap belum?” Rain muncul di pintu dapur, yang mengarah ke halaman belakang. Ia
menggendong tas ransel.
“Ya. Kita akan ke mana?”
“Jalan kaki ke danau.”
“Jalan kaki?”
“Nona pikir kita akan naik mobil atau
motor?”
“Ya, tentu saja…Kata Bu Tom danau sangat jauh dari sini, kalau naik mobil membutuhkan
waktu sekitar 1 jam….”
Rain menghembuskan napas. “Manja
sekali, Nona seperti anak kecil saja. Kita tidak akan lewat jalur mobil, tentu
saja. Tapi jalan pintas, jalan ke hutan.”
“Aku bukan anak kecil!”
Rain melemparkan tas kecil berisi
minuman dan snack ke meja makan. “Nona bawa itu, untuk bekal di perjalanan.”
Bu Tom memberikannya nasi bekal.
“Hati-hati, ya, kalian berdua. Rain, jaga Nona Amie.”
Rain mencium tangan ibunya, lalu
berjalan keluar dapur ke halaman.
Setelah pamitan pada Pak Tom dan Bu
Tom, Amie langsung menyusul Rain dengan setengah berlari. “Jangan cepat-cepat,
Rain.”
Rain memelankan langkahnya. “Nona tidak
biasa berolah raga?” tanyanya dingin.
“Aku di sini untuk berlibur, bukan
olahraga. ‘Kan bisa jalan santai. Lagipula perjalanan masih jauh, nanti
staminaku keburu habis.”
“Manja.”
Amie menginjak kaki Rain, hingga
cowok itu mengaduh. “Jangan menyebutku manja lagi. Dasar anak kecil! Hormati
aku sedikit, aku lebih tua darimu.”
Rain melanjutkan perjalanan. Ia
melambaikan tangannya dengan cuek. “Baiklah, Nona.”
Mereka menembus hutan pinus
dan cemara, menuju lokasi air terjun. Saat melewati air terjun, lagi-lagi Amie teringat akan
ciuman pertamanya. “Apakah kau biasa mencium
perempuan?”
“Menurut Nona?” Rain
berhenti berjalan dan menatapnya.
Wajah Amie terasa panas. “Lupakan
pertanyaanku. Rain, jangan memanggilku Nona. Panggil saja Kak Amie.”
“Kak Amie? Kesannya tua sekali.”
“Aku memang lebih tua tiga tahun
darimu.”
“Tapi sikap Nona seperti anak-anak.”
Dengan kesal Amie berjalan mendahului
Rain. “Kalau begitu, panggil saja aku Amie.”
Setelah berjalan selama
satu jam, mereka beristirahat di dekat jalan raya, di tepi hutan. Lalu mereka melanjutkan menembus hutan. Saat menyebrangi
sungai yang cukup deras, Rain memeganginya, hampir memeluknya. Tubuh
Rain atletis, melindungi, membuatnya nyaman. “Tolong lepaskan aku, Amie. Kita
sudah berhasil menyebrang sungai.”
Amie belum melepaskan pelukannya.
Entah kenapa, telinganya terasa tergelitik saat Rain menyebut namanya. Apalagi
suara Rain serak dan seperti membelainya. Amie menatap mata Rain yang cokelat
keemasan. “Rain….”
“Kau minta dicium lagi?”
Amie tetap menatap Rain dengan matanya yang berbulu mata lentik. Jantung Amie
berdegup kencang.
Rain memegang bahu Amie lalu
mendorongnya. “Jangan menatapku seperti itu. Seperti ingin dicium saja.” Lalu
ia mendahului Amie melanjutkan perjalanan.
Amie memeluk bahunya sendiri, malu. Apa yang tadi kulakukan? Aku tadi seperti minta dicium! Rain kan
masih kelas 1 SMA! Kemarin ia merebut ciuman pertamaku, dan katanya akan selalu
meminta imbalan seperti itu, tapi kenapa tadi ia tidak menciumku? jeritnya
dalam hati. “Kenapa? Bukankah kau meminta imbalan ciuman sebagai bayaran kau
menemaniku?”
Langkah Rain terhenti. “Aku akan memintanya sesukaku, bukan Amie yang menentukan.
Jika aku sedang tidak ingin, aku takkan meminta.”
Wajah Amie merah padam mendengar
ucapan Rain. Ia berlari di padang rumput
mendahului Rain. Aku tidak pernah seperti
ini sebelumnya. Pesona Rain sangat kuat meski ia masih kelas 1 SMA!
“Lihat, itu danaunya. Setelah menuruni bukit, kita akan memasuki hutan pinus lagi, lalu
sampai di danau. Kira-kira satu setengah jam perjalanan.” Rain
melindungi matanya dari terik matahari. Dari kejauhan, tampak danau yang
berkilau memantulkan sinar matahari. “Ayo.” Rain membantunya menuruni bukit.
Ketika akhirnya tiba di danau, Amie
melonjak kegirangan. “Indah sekali!”
“Ya, memang.”
Amie membuka sepatu kets dan kaos
kakinya lalu berlari ke arah danau untuk merendam kakinya. Airnya dingin
menyejukkan.
“Hati-hati ada buaya.”
“Apa?” Amie langsung berlari menjauhi
danau dan memeluk Rain. “Kenapa tidak memberitahuku?” Lalu ia tersadar bahwa
Rain membohonginya karena Rain tertawa sangat keras. Ia tertawa sambil
terbungkuk-bungkuk. Suara tawa Rain menghibur telinga
Amie dan wajah Rain semakin tampan saat ia tertawa lepas seperti saat ini.
Rain mengusap air matanya sambil
masih tertawa. “Ya, ampun, Amie. Memangnya kau percaya di danau sini ada buaya?
Kau seperti anak kecil saja mudah dibohongi.”
“Jangan bercanda seperti itu, aku
benar-benar takut tadi.”
Rain berhenti tertawa. “Aku minta
maaf. Aku kira tadi kau tidak akan tertipu.”
“Yah…tapi benar kan di danau ini
tidak ada buayanya?”
“Ada, sih, buaya darat.” Rain
tersenyum. Kali ini bukan senyum dingin seperti biasanya. Senyumannya terlihat
tulus, membuat jantung Amie kembali melonjak.
“Kau buaya darat!”
Rain terkekeh. Ia menjatuhkan
ranselnya, menggelar tikar, lalu tiduran di atasnya. “Aku mau istirahat dulu,
kau jangan jauh-jauh mainnya.”
Amie mencibir. Setelah puas bermain
basah-basahan, Amie menghampiri Rain yang sedang tertidur lelap. Kalau sedang
tidur, wajahnya seperti anak SMP, lucu. Amie menoleh ke kanan dan ke kiri,
sepi. Lalu ia mencium bibir Rain selama 3 detik.
“Kau basah.”
Amie terlonjak. Wajahnya bersemu dan
suaranya terbata saat mengatakan, “Ka-kau ba-bangun?”
“Air menetes dari tubuhmu, dingin,
tentu saja aku bangun.” ujar Rain dingin. “Kenapa kau menciumku, Amie?”
“Ka-kau juga, kenapa kemarin
menciumku?”
“Sebagai tanda perjanjian
bahwa aku akan menemani Amie selama Amie liburan di sini. Aku menciummu hanya
karena aku ingin, dan aku melakukannya tanpa memakai hati. Jadi setiap aku
menciummu, Amie jangan terbawa perasaan.” Rain menatapnya tajam dan dingin. Matanya berkilauan bagai
emas. “Kenapa Amie menciumku?”
“Ka-karena…hatsyiii!”
Rain melempar handuk mandi padanya. “Memang
jarang yang akan datang ke danau ini sekarang karena bukan musim liburan,
tetapi sebaiknya kau keringkan kemejamu yang tipis itu. Mungkin ada satu atau
dua buaya darat yang akan menghampirimu.”
“Kaulah buaya darat itu.” Amie mengeringkan
rambut dan tubuhnya dengan handuk sambil berjemur di bawah terik matahari. “Aku
juga menciummu karena aku ingin, tanpa hati.” ujarnya berbohong. Amie berbohong
karena ia merasa kecewa mendengar alasan Rain menciumnya: ‘hanya sebagai tanda
perjanjian’. Padahal itu ciuman pertamanya, debaran jantung pertamanya, dan
mungkin bisa diartikan cinta pertamanya!
“Baguslah,” gumam Rain pelan dan
singkat. Ia bangkit lalu berjalan ke arah danau.
“Kau mau apa?”
“Berenang. Kau payah, hanya bermain
di air yang dangkal. Kau takut ada buaya? Atau takut kedalaman danau?” Rain
tersenyum mengejek. Ia melepas kaos tanpa lengan dan celana gunungnya. Ia hanya
mengenakan celana pendek hitam.
“Aku…takut tenggelam. Eh, karena
selama di Jakarta aku tidak ada waktu untuk berenang….”
“Kenapa? Apakah di Jakarta kau sibuk
berpacaran?” Rain meregangkan otot-ototnya sebelum terjun ke air, meinggalkan
Amie. Amie memerhatikan Rain berenang ke tengah danau lalu kembali lagi ke
tepian, bolak-balik sampai sekitar 10 menit, sebelum akhirnya Amie terlelap
karena kelelahan setelah perjalanan jauh.
Saat Amie terbangun, ia telah berada
di tempat tidur di kamarnya. Sinar bulan temaram menembus jendela kacanya yang
tertutup. Amie tidak ingat bagaimana ia bisa ada di sini. Ia hanya ingat ia sedang
memerhatikan Rain yang tengah berenang sampai akhirnya ia merasa mengantuk,
lalu sepertinya ia bermimpi Rain menciumnya hangat dan lembut sambil tersenyum
ramah.
Amie meregangkan otot-ototnya,
menyalakan lampu, dan melihat jam di dinding. “Ya ampun, jam 9 malam!” Pantas
ia merasa sangat lapar. Lalu ia teringat akan nasi bekal yang dibawakan Bu Tom.
Ia segera mencari tas kecil yang diberikan Rain dan menemukannya di atas meja
rias. Namun ia tidak menemukan nasi bekalnya. Apa terjatuh?
“Amie….” Rain mengetuk pintu
kamarnya.
“Rain?”
Rain membuka pintu dan masuk. “Kau
sudah bangun?”
“Ya, aku baru saja bangun. Kau lihat
nasi bekalku?”
“Ah, itu, aku yang memakannya, karena
kau susah sekali dibangunkan.”
Pikiran Amie perlahan terasa jernih.
“Siapa yang mengganti bajuku dan bagaimana kita pulang ke sini?”
“Aku menggendongmu ke jalan
raya, lalu menumpang kolbak sampai pas depan villa. Sepertinya sopir kolbak
kasihan padaku yang harus tertatih menggendongmu yang seberat karung beras, dari
jalan utama menuju villa ini, yang berjarak setengah kilometer.”
“Kau menggendongku?” Amie tersipu.
“Terima kasih. Tapi kurasa aku tidak seberat karung beras.”
“Yah….”
“Lalu siapa yang mengganti bajuku?”
“Tentu saja ibuku.” Rain tersenyum
ramah. “Aku minta maaf karena membuatmu kelelahan sehingga tertidur seharian.”
“Ak-aku kurang berolahraga….”
“Besok kau istirahat saja.”
“Aku ingin jalan-jalan.”
“Baiklah, tapi tunggu aku pulang
sekolah, ya.”
“Baiklah.”
“Ayo turun, kau pasti lapar sekali
karena belum makan dari siang, sampai-sampai mencari nasi bekalmu.” Rain
terkekeh.
Amie tersipu. “Ya, aku lapar sekali.”
“Kau tidur nyenyak sekali, Amie.” ujar
Bu Tom menyambutnya.
“Ya…sepertinya aku kelelahan.”
Di meja telah tersaji nasi dalam
bakul, sepanci sup jagung yang masih mengepul, botol saus sambal dan saus
tomat, dan sepiring penuh sosis goreng.
“Ayo, Rain, kau juga makan malam. Kan
Amie sudah bangun.”
“Kau menungguku?” tanya Amie heran.
“Yah, aku hanya merasa bertanggung
jawab karena telah membuatmu kelelahan. Sudah, ayo kita makan, aku juga sudah
lapar.”
Amie sangat lapar sampai menghabiskan
2 piring nasi, 3 mangkok sup jagung, 2 potong sosis goreng. Rain dan Bu Tom
tertawa melihat Amie. Amie juga ikut tertawa.
Malamnya Amie tertidur nyenyak tanpa
mimpi.
***
Keesokannya Amie menghabiskan waktu membantu Bu Tom
membereskan rumah, ikut Pak Tom ke ladang, lalu jalan-jalan sendiri ke air
terjun sambil menunggu Rain pulang sekolah. Amie duduk di tepi sungai sambil
merendam kakinya. Ia tergoda untuk berenang di bawah air terjun. Akhirnya ia melepas
sepatu kets dan jaketnya lalu terjun ke sungai yang dingin.
Saat berenang, tiba-tiba ia teringat
sesuatu, bayangan saat dulu ia bermain dengan Rain, tetapi hanya samar-samar.
Dulu Rain memanggilnya Amie, seperti sekarang, tanpa embel-embel ‘kakak’. Amie
berusaha mengingatnya namun tetap bayangan samar.
“Amie?”
Tanpa mendengar panggilan Rain, Amie
keluar dari sungai. Rambutnya yang panjang dan lurus melewati bahu menempel di
punggungnya. Amie berjalan ke tepi sambil menggelengkan kepalanya, mengibaskan
rambutnya. Lalu ia melihat Rain sedang terpaku memandanginya dengan tajam.
“Rain? Kau di sini? Sejak kapan?”
“Baru saja.”
“Melihat air terjun, aku tergoda
untuk berenang. Sungainya tetap dangkal seperti dulu….” canda Amie. Ia
mengambil jaketnya yang ia letakkan begitu saja di rerumputan.
Rain berjalan perlahan
menghampirinya. “Kukira kau peri hutan yang sedang mandi….”
Amie tersipu. Ia menatap Rain,
mencoba melihat apakah Rain hanya menggodanya. “Kau bisa saja….”
“Sungguh….” Rain merangkum wajahnya,
membuat Amie terkejut sehingga menjatuhkan jaketnya. “Dengan berlalunya waktu,
Amie semakin cantik dan semakin cantik….”
Jantung Amie berdebar dengan kencang
karena tatapan Rain dan tubuh mereka yang berdekatan. Tubuhnya gemetar dan
terasa lemas. Ia berpegangan pada Rain agar tidak jatuh. “Rain…?”
Perlahan Rain mendekatkan wajahnya,
lalu mencium Amie dengan lembut dan hangat. “Amie, aku merindukanmu.” bisiknya
lembut.
“Rain!” Amie tiba-tiba memeluknya.
“Aku ingat, Rain! Aku ingat! Maaf kalau selama ini aku melupakanmu! Akhirnya
aku ingat!” Amie terus mengulangi kata-katanya dengan gembira.
“Ingat apa?”
“Dulu saat kita di jalan pulang
menuju villa, setelah kau lama menangis di sini, kau memintaku untuk tidak
pulang ke Jakarta. Lalu aku yang merasa terharu, mencium bibirmu….” Wajah Amie
merah padam. “Karena malu, aku berusaha untuk tidak mengingat hal itu, dan
akhirnya aku malah melupakanmu, dan hanya ingat samar-samar soal dirimu, Rain.”
“Hmm….”
“Maaf….”
“Yah, aku kesal sih, karena kau tidak
pernah mengunjungiku dan malah melupakanku. Padahal aku selalu mengingatmu dan
ciuman pertamaku selama tiga tahun ini. Makanya aku ingin sedikit mengerjaimu.”
Rain tersenyum. “Dan kenapa aku menciummu kemarin itu, agar kau ingat bahwa kau
telah merebut ciuman pertamaku tiga tahun lalu!”
“Tapi maaf waktu itu aku belum
ingat….”
“Padahal kukira waktu di danau kau
menciumku, kau ingat hal itu.”
Amie menggeleng sedih.
“Makanya aku bertekad akan terus
menciummu sampai kau ingat.”
“Aku kan sudah ingat sekarang. Lalu
kau akan berhenti menciumku?”
Rain melepaskan pelukanku.
“Bagaimana, ya….”
“Rain…!”
Rain mengambil jaket Amie dari
rerumputan. Rain menarik tangan Amie dan menggenggamnya. Matanya berbinar
senang. “Itu nanti akan kupikirkan. Sekarang, bagaimana kalau kita kembali ke
villa? Nanti kau kena flu.”
“Kalau aku flu, kau tinggal merawatku
saja….”
“Kalau kau flu, aku tidak bisa
mengajakmu ke tempat-tempat indah lainnya.” Rain merangkulnya. “Kau tahu, kau
sangat ringan saat kugendong kemarin. Aku ingin terus menggendongmu dari danau
sampai villa, tapi aku tidak ingin kau masuk angin dan sakit.”
Amie meremas tangan Rain dengan
sayang. “Maaf aku melupakanmu. Tapi kurasa saat aku melihatmu keluar dari
sungai kemarin itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.”
“Saat kau memperlihatkan air terjun
padaku tiga tahun lalu, aku jatuh cinta padamu.”
“Aneh sekali.”
Rain tertawa. “Cinta memang aneh
kan?”
“Ya, kau benar, Rain, cinta memang
aneh….” Amie dan Rain berjalan bergandengan menuju villa diiringi angin sejuk
semilir.
TAMAT
CODET, 7 Agustus 2012
minta komentarnya ttg ini cerpen ya,,,mksh...
BalasHapus