Sabtu, 15 September 2012

Cerpen Cinta WITH RAIN


24 Februari 2012, Jumat
WITH RAIN

Amie tidak tidur sepanjang perjalanan menuju villa keluarganya di daerah pegunungan karena ia sangat bersemangat menyambut liburannya.
            “Nona tidak tidur dari tadi?”
            “Aku tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat, Pak Tim.” Amie membuka jendela karena ingin menghirup udara pegunungan yang mulai menyambutnya. Pepohonan pinus dan cemara yang berderet di sepanjang jalan menyambutnya. Udaranya sejuk sedikit dingin, dan segar. “Aroma yang sangat kurindukan. Aroma pinus, cemara, dan rumput segar.”
            “Nona bisa saja.”
            “Yah, karena sibuk selama tiga tahun di SMA, aku tak sempat liburan ke villa. Sekarang aku sudah bebas, tinggal menunggu waktu untuk masuk kuliah. Benar-benar menyenangkan!”
            “Nona masih ingat Rain?”
            “Rain? Tentu saja ingat, keponakan Pak Tim ‘kan.”
            “Benar.”
            Amie mencoba mengingat-ingat wajah Rain tetapi samar-samar. “Terakhir aku ke villa saat liburan seminggu, dia masih kelas 1 SMP ya? Saat itu dia baru diangkat anak oleh Pak Tom ‘kan?” Pak Tom dan Bu Tom adalah pegawai kepercayaan Ayah Amie yang bertugas merawat dan menjaga villa keluarga Amie.
“Benar. Ia sekarang baru naik kelas 1 SMA. Dulu ia sangat pendiam, penuh duka karena orang tuanya baru saja meninggal. Tapi berangsur-angsur menjadi ceria kembali. Anaknya rajin bekerja dan berprestasi di sekolahnya, benar-benar membanggakan.”
“Benarkah? Bu Tom dan Pak Tom pasti senang.”
“Benar. Dan saya pun turut senang.”
Amie tersenyum mengingat Rain. Bocah kelas 1 SMP yang dulu ditemuinya benar-benar pendiam. Disapa dan diajak bermain pun diam saja. Dan wajahnya selalu menunjukkan kesedihan. Amie dan keluarga Amie iba pada Rain.
Saat tiba di villa, suami-istri keluarga Tom menyambutnya dengan riang dan ramah.
“Selamat datang, Nona. Tiga tahun tidak bertemu tambah cantik saja…sudah dewasa ya…” sambut Bu Tom.
Amie tersipu. “Bu Tom bisa saja. Apa kabar, Bu, Pak?”
“Baik. Nona kelihatannya sehat.” Pak Tom tersenyum ramah. Ia membantu membawakan koper dan tas Amie.
“Nona, seminggu lagi saya akan ke sini mengantar Tuan Ronald dan teman-temannya yang akan liburan akhir pekan. Kalau ada barang yang ingin dibawakan, telpon saja.”
“Siap, Pak Tim, hati-hati di jalan.”
Setelah Pak Tim pergi, Pa Tom dan Bu Tom mengantar sampai ke kamar Amie di lantai dua.
“Oya, di mana Rain?”
“Rain sedang sekolah. Jam 2 nanti baru pulang.”
“Kudengar dari Pak Tim, dia sangat rajin dan pintar.”
Mata Bu Tom berkaca-kaca. “Benar, Rain sangat rajin, baik bekerja maupun belajar.”
“Lebih tepatnya dia cerdas.” Pak Tom berseri-seri.
Amie tersenyum. Sepertinya mereka benar-benar bangga akan Rain. Pak Tom kembali bekerja, meninggalkan Amie dan Bu Tom di kamar Amie. “Kau sudah lapar, Amie? Mau telur mata sapi dan sosis?”
“Tidak usah, masih jam 11 pagi. Nanti aku bisa masak sendiri, kok.”
“Tidak usah sungkan. Biasanya juga Ibu yang masak di sini. Kalau ada perlu telepon saja, Nona.”
“Baiklah.”
Setelah Bu Tom pergi ke rumahnya sendiri di halaman belakang villa, Amie membuka jendela kamar yang menghadap ke halaman belakang. Dari kamarnya, ia dapat melihat rumah keluarga Tom. Halaman villa dibatasi oleh tembok bata merah setinggi 2 meter. Di luar tembok villa terhampar hutan pinus dan cemara. Jauh di dalam hutan terdapat air terjun. Sewaktu kecil Amie dan keluarganya sering ke sana. Berenang atau sekadar bermain air atau memancing di sungai yang mengalir di bawahnya, sambil membawa bekal piknik.
Saat ia bertemu Rain tiga tahun lalu, ia mengajak Rain ke air terjun. Awalnya Rain menolak, tapi Amie memaksanya ke sana. Saat itu Rain berdiri terpaku memandangi air terjun, kemudian ia menangis keras sekali, membuat Amie terkejut. Amie ingin mendekatinya, tetapi tidak berani. Akhirnya Amie hanya duduk menemani sampai Rain berhenti menangis. Rain tidak berani memandang Amie, mungkin malu karena Amie melihatnya menangis. Ia menarik napas dalam-dalam lalu berkata dengan suara teramat pelan, “Terima kasih. Air terjunnya indah.”
Amie senang mendengarnya. “Sama-sama.” Itu hari terakhir liburan, dan setelah itu Amie tidak pernah bertemu Rain lagi.
Setelah memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari, Amie merasa lelah dan  mengantuk, sehingga tanpa sadar Amie tertidur, dan baru terbangun pukul setengah dua siang. Perutnya terasa lapar, dan ia bergegas ke bawah untuk masak. tetapi ternyata Bu Tom telah memasak untuknya. Telur mata sapi, sosis, dan cream soup telah tersaji di meja makan.
Setelah melahap semua masakan di meja makan, Amie izin pada Bu Tom untuk jalan-jalan sendiri ke air terjun. Bu Tom menyuruhnya untuk menunggu Rain pulang sekolah. “Biar Rain yang mengantarmu. Ke air terjun ‘kan jauh.”
“Tidak usah, Bu Tom. Aku masih ingat dengan jelas jalan menuju air terjun, kok.”
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati, Nona.”
Dua puluh menit kemudian Amie baru sampai di air terjun. Saat berjalan mendekati sungai dingin yang mengalir di bawah air terjun, tiba-tiba seseorang muncul ke permukaan sungai. Cowok telanjang! Amie menutup wajahnya. Ia sedikit mengintip. Ah, rupanya masih mengenakan celana hitam pendek, ujarnya dalam hati.
“Pengintip.” Suara cowok itu serak dan sedikit berbisik. Cowok itu mengusap rambutnya yang dipangkas pendek dan basah dengan kedua tangannya yang terlihat kuat, lalu perlahan berjalan mengikuti arus sungai ke arah Amie. Tubuhnya tinggi tegap dan atletis. Alisnya yang tebal menaungi matanya yang menatap tajam. Hidungnya lurus mancung dan bibirnya tipis merah tanpa senyum. Kulitnya kecoklatan, tanda ia sering berada di luar ruangan.
Amie terpaku di tempat karena terpesona. Jantungnya berdegup kencang. Lalu ia tersadar. “Apa? Enak saja, aku bukan pengintip! Aku ke sini untuk menikmati air terjun!”
Cowok itu kini sudah berdiri sangat dekat Amie. Air menetes dari rambut, wajah, dan tubuhnya. Dari dekat cowok ini benar-benar tinggi dan keren! Tubuhnya beraroma pinus, cemara, dan rumput segar yang sangat ia rindukan. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia tersenyum dingin. “Selamat datang, Nona Muda Amie.”
Amie mengerjapkan matanya. “Kau…Rain? Aku tidak mengenalimu, kau berubah sekali….”
Rain mundur perlahan. “Maksud Nona, aku sangat keren? Banyak yang berpendapat sama, terima kasih.”
Wajah Amie memerah. “Kau sombong.”
Rain duduk di batu besar di tepi sungai. “Aku hanya mengatakan kenyataan.”
“Kita sudah lama tidak bertemu, bisakah kau bersikap lebih bersahabat? Aku akan lama berlibur di sini.”
“Kenapa harus begitu? Apakah kewajiban?” tanyanya acuh tak acuh.
“Tentu saja. Selama aku di sini, kau harus menemaniku. Meskipun kau punya pacar, kau harus memprioritaskan aku!” Aduh, bodoh, apa-apaan sih aku ini? Kenapa aku bilang begitu? tanya Amie dalam hati.
Ucapan Amie membuat Rain kembali mendekatinya. Ia membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan wajah Amie. Amie dapat melihat bahwa bola mata Rain berwarna cokelat terang keemasan, sangat indah. “Kenapa Nona tidak mengajak pacar Nona ke sini?”
Amie ingin sekali melangkah mundur, tapi ia tidak mau kalah oleh Rain. Ia menatap Rain lurus-lurus. “Bukan urusanmu. Sudah tugasmu menemaniku di sini….” Amie sangat terkejut karena tiba-tiba Rain merangkum wajahnya lalu menciumnya. Ciuman pertamaku! Amie berusaha melepaskan diri. Ia memukul-pukul bahu telanjang Rain. Saat akhirnya Rain melepaskan ciumannya, Amie terduduk lemas di rerumputan. Jantungnya berdenyut cepat seolah akan keluar.
Rain tersenyum dingin. Ia menjilati bibirnya sendiri. “Rasamu sungguh luar biasa, Nona Muda. Jika Nona ingin aku menemanimu, aku akan selalu meminta imbalan seperti barusan untuk bayarannya.”
Wajah Amie terasa panas. Bibirnya masih merasakan ciuman Rain yang basah, hangat, dan lembut, bertolak belakang dengan sikapnya yang dingin. Amie merasa ia akan sangat menyukai cowok yang usianya tiga tahun di bawahnya ini. Sungguh berbahaya….pikir Amie terpesona.
***
“Sebentar, Bi, aku masih ngantuk….”
“Bangun, Nona pemalas. Ini bukan di rumahmu di kota.”
Amie langsung membuka matanya dan terjaga sepenuhnya. Rain sedang duduk di tepi tempat tidur. Pagi ini Rain mengenakan kaos biru telur asin tanpa lengan dan celana gunung selutut. Tubuhnya beraroma pinus, cemara, rumput segar, dan sedikit kopi. “Ka-kau tidak sopan! Jangan masuk sembarangan ke kamar seorang gadis!” Amie menarik selimutnya panik.
Rain mengangkat sebelah alisnya yang tebal sempurna. “Nona yang kemarin menyuruhku untuk selalu menemani selama di sini. Apa Nona lupa?”
“Aku tidak lupa. Tapi bukan berarti kau boleh seenaknya masuk….” Wajah Amie merah padam. Ia malu karena Rain melihatnya mengenakan piyama bergambar boneka babi.
Seolah mengerti jalan pikiran Amie, Rain bergumam, “Piyama Nona sama sekali tidak seksi. Nona sudah 18 tahun tapi masih suka memakai baju anak-anak….”
“Ta-tapi tubuhku tidak seperti anak-anak!” Aduh, apa, sih yang aku katakan? tanyanya dalam hati.
Mata tajam Rain menatapnya, lalu menelusuri tubuhnya mulai dari atas lalu ke bawah. “Ya.” Rain membuang muka. “Baiklah, aku duluan ke bawah. Ibuku sudah menyiapkan sarapan. Setelah sarapan aku akan mengantarmu ke tempat yang belum pernah kaukunjungi, Nona.” Rain keluar kamar, meninggalkan Amie yang hampir pingsan karena malu ditatap Rain.
Setelah mandi, Amie sarapan ditemani Bu Tom. “Apakah Rain memang tidak ramah?”
Bu Tom tersenyum. “Ia memang tidak begitu ramah. Tapi ia anak yang baik. Temannya sih banyak yang suka main ke sini.”
“Perempuan?”
“Laki-laki dan perempuan. Kebanyakan sih laki-laki. Biasanya mereka main ke danau atau ke air terjun.”
Amie memerhatikan Rain yang sedang mengobrol dengan Pak Tom di halaman belakang villa.  Amie berusaha menelan sosisnya. Kenapa Rain tampan sekali? Tubuhnya juga tinggi dan atletisdan sikap dinginnya justru membuat perempuan tergila-gila dan mengejarnya, pikir Amie. Amie menggelengkan kepalanya, teringat ciuman Rain yang basah, hangat, dan lembut. Kenapa ia menciumku? Apakah ciuman hal yang biasa baginya? Huh, kembalikan ciuman pertamaku! Ia bertanya-tanya dalam hati.
“Nona makan lama sekali. Nona sudah siap belum?” Rain muncul di pintu dapur, yang mengarah ke halaman belakang. Ia menggendong tas ransel.
“Ya. Kita akan ke mana?”
“Jalan kaki ke danau.”
“Jalan kaki?”
“Nona pikir kita akan naik mobil atau motor?”
“Ya, tentu saja…Kata Bu Tom danau sangat jauh dari sini, kalau naik mobil membutuhkan waktu sekitar 1 jam….”
Rain menghembuskan napas. “Manja sekali, Nona seperti anak kecil saja. Kita tidak akan lewat jalur mobil, tentu saja. Tapi jalan pintas, jalan ke hutan.”
“Aku bukan anak kecil!”
Rain melemparkan tas kecil berisi minuman dan snack ke meja makan. “Nona bawa itu, untuk bekal di perjalanan.”
Bu Tom memberikannya nasi bekal. “Hati-hati, ya, kalian berdua. Rain, jaga Nona Amie.”
Rain mencium tangan ibunya, lalu berjalan keluar dapur ke halaman.
Setelah pamitan pada Pak Tom dan Bu Tom, Amie langsung menyusul Rain dengan setengah berlari. “Jangan cepat-cepat, Rain.”
Rain memelankan langkahnya. “Nona tidak biasa berolah raga?” tanyanya dingin.
“Aku di sini untuk berlibur, bukan olahraga. ‘Kan bisa jalan santai. Lagipula perjalanan masih jauh, nanti staminaku keburu habis.”
“Manja.”
Amie menginjak kaki Rain, hingga cowok itu mengaduh. “Jangan menyebutku manja lagi. Dasar anak kecil! Hormati aku sedikit, aku lebih tua darimu.”
Rain melanjutkan perjalanan. Ia melambaikan tangannya dengan cuek. “Baiklah, Nona.”
Mereka menembus hutan pinus dan cemara, menuju lokasi air terjun. Saat melewati air terjun, lagi-lagi Amie teringat akan ciuman pertamanya. “Apakah kau biasa mencium perempuan?”
“Menurut Nona?” Rain berhenti berjalan dan menatapnya.
Wajah Amie terasa panas. “Lupakan pertanyaanku. Rain, jangan memanggilku Nona. Panggil saja Kak Amie.”
“Kak Amie? Kesannya tua sekali.”
“Aku memang lebih tua tiga tahun darimu.”
“Tapi sikap Nona seperti anak-anak.”
Dengan kesal Amie berjalan mendahului Rain. “Kalau begitu, panggil saja aku Amie.”
Setelah berjalan selama satu jam, mereka beristirahat di dekat jalan raya, di tepi hutan. Lalu mereka melanjutkan menembus hutan. Saat menyebrangi sungai yang cukup deras, Rain memeganginya, hampir memeluknya. Tubuh Rain atletis, melindungi, membuatnya nyaman. “Tolong lepaskan aku, Amie. Kita sudah berhasil menyebrang sungai.”
Amie belum melepaskan pelukannya. Entah kenapa, telinganya terasa tergelitik saat Rain menyebut namanya. Apalagi suara Rain serak dan seperti membelainya. Amie menatap mata Rain yang cokelat keemasan. “Rain….”
“Kau minta dicium lagi?”
Amie tetap menatap Rain dengan matanya yang berbulu mata lentik. Jantung Amie berdegup kencang.
Rain memegang bahu Amie lalu mendorongnya. “Jangan menatapku seperti itu. Seperti ingin dicium saja.” Lalu ia mendahului Amie melanjutkan perjalanan.
Amie memeluk bahunya sendiri, malu. Apa yang tadi kulakukan? Aku tadi seperti minta dicium! Rain kan masih kelas 1 SMA! Kemarin ia merebut ciuman pertamaku, dan katanya akan selalu meminta imbalan seperti itu, tapi kenapa tadi ia tidak menciumku? jeritnya dalam hati. “Kenapa? Bukankah kau meminta imbalan ciuman sebagai bayaran kau menemaniku?”
Langkah Rain terhenti. “Aku akan memintanya sesukaku, bukan Amie yang menentukan. Jika aku sedang tidak ingin, aku takkan meminta.”
Wajah Amie merah padam mendengar ucapan Rain. Ia berlari di padang rumput mendahului Rain. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Pesona Rain sangat kuat meski ia masih kelas 1 SMA!
“Lihat, itu danaunya. Setelah menuruni bukit, kita akan memasuki hutan pinus lagi, lalu sampai di danau. Kira-kira satu setengah jam perjalanan.” Rain melindungi matanya dari terik matahari. Dari kejauhan, tampak danau yang berkilau memantulkan sinar matahari. “Ayo.” Rain membantunya menuruni bukit.
Ketika akhirnya tiba di danau, Amie melonjak kegirangan. “Indah sekali!”
“Ya, memang.”
Amie membuka sepatu kets dan kaos kakinya lalu berlari ke arah danau untuk merendam kakinya. Airnya dingin menyejukkan.
“Hati-hati ada buaya.”
“Apa?” Amie langsung berlari menjauhi danau dan memeluk Rain. “Kenapa tidak memberitahuku?” Lalu ia tersadar bahwa Rain membohonginya karena Rain tertawa sangat keras. Ia tertawa sambil terbungkuk-bungkuk. Suara tawa Rain menghibur telinga Amie dan wajah Rain semakin tampan saat ia tertawa lepas seperti saat ini.
Rain mengusap air matanya sambil masih tertawa. “Ya, ampun, Amie. Memangnya kau percaya di danau sini ada buaya? Kau seperti anak kecil saja mudah dibohongi.”
“Jangan bercanda seperti itu, aku benar-benar takut tadi.”
Rain berhenti tertawa. “Aku minta maaf. Aku kira tadi kau tidak akan tertipu.”
“Yah…tapi benar kan di danau ini tidak ada buayanya?”
“Ada, sih, buaya darat.” Rain tersenyum. Kali ini bukan senyum dingin seperti biasanya. Senyumannya terlihat tulus, membuat jantung Amie kembali melonjak.
“Kau buaya darat!”
Rain terkekeh. Ia menjatuhkan ranselnya, menggelar tikar, lalu tiduran di atasnya. “Aku mau istirahat dulu, kau jangan jauh-jauh mainnya.”
Amie mencibir. Setelah puas bermain basah-basahan, Amie menghampiri Rain yang sedang tertidur lelap. Kalau sedang tidur, wajahnya seperti anak SMP, lucu. Amie menoleh ke kanan dan ke kiri, sepi. Lalu ia mencium bibir Rain selama 3 detik.
“Kau basah.”
Amie terlonjak. Wajahnya bersemu dan suaranya terbata saat mengatakan, “Ka-kau ba-bangun?”
“Air menetes dari tubuhmu, dingin, tentu saja aku bangun.” ujar Rain dingin. “Kenapa kau menciumku, Amie?”
“Ka-kau juga, kenapa kemarin menciumku?”
“Sebagai tanda perjanjian bahwa aku akan menemani Amie selama Amie liburan di sini. Aku menciummu hanya karena aku ingin, dan aku melakukannya tanpa memakai hati. Jadi setiap aku menciummu, Amie jangan terbawa perasaan.” Rain menatapnya tajam dan dingin. Matanya berkilauan bagai emas. “Kenapa Amie menciumku?”
“Ka-karena…hatsyiii!
Rain melempar handuk mandi padanya. “Memang jarang yang akan datang ke danau ini sekarang karena bukan musim liburan, tetapi sebaiknya kau keringkan kemejamu yang tipis itu. Mungkin ada satu atau dua buaya darat yang akan menghampirimu.”
“Kaulah buaya darat itu.” Amie mengeringkan rambut dan tubuhnya dengan handuk sambil berjemur di bawah terik matahari. “Aku juga menciummu karena aku ingin, tanpa hati.” ujarnya berbohong. Amie berbohong karena ia merasa kecewa mendengar alasan Rain menciumnya: ‘hanya sebagai tanda perjanjian’. Padahal itu ciuman pertamanya, debaran jantung pertamanya, dan mungkin bisa diartikan cinta pertamanya!
“Baguslah,” gumam Rain pelan dan singkat. Ia bangkit lalu berjalan ke arah danau.
“Kau mau apa?”
“Berenang. Kau payah, hanya bermain di air yang dangkal. Kau takut ada buaya? Atau takut kedalaman danau?” Rain tersenyum mengejek. Ia melepas kaos tanpa lengan dan celana gunungnya. Ia hanya mengenakan celana pendek hitam.
“Aku…takut tenggelam. Eh, karena selama di Jakarta aku tidak ada waktu untuk berenang….”
“Kenapa? Apakah di Jakarta kau sibuk berpacaran?” Rain meregangkan otot-ototnya sebelum terjun ke air, meinggalkan Amie. Amie memerhatikan Rain berenang ke tengah danau lalu kembali lagi ke tepian, bolak-balik sampai sekitar 10 menit, sebelum akhirnya Amie terlelap karena kelelahan setelah perjalanan jauh.
Saat Amie terbangun, ia telah berada di tempat tidur di kamarnya. Sinar bulan temaram menembus jendela kacanya yang tertutup. Amie tidak ingat bagaimana ia bisa ada di sini. Ia hanya ingat ia sedang memerhatikan Rain yang tengah berenang sampai akhirnya ia merasa mengantuk, lalu sepertinya ia bermimpi Rain menciumnya hangat dan lembut sambil tersenyum ramah.
Amie meregangkan otot-ototnya, menyalakan lampu, dan melihat jam di dinding. “Ya ampun, jam 9 malam!” Pantas ia merasa sangat lapar. Lalu ia teringat akan nasi bekal yang dibawakan Bu Tom. Ia segera mencari tas kecil yang diberikan Rain dan menemukannya di atas meja rias. Namun ia tidak menemukan nasi bekalnya. Apa terjatuh?
“Amie….” Rain mengetuk pintu kamarnya.
“Rain?”
Rain membuka pintu dan masuk. “Kau sudah bangun?”
“Ya, aku baru saja bangun. Kau lihat nasi bekalku?”
“Ah, itu, aku yang memakannya, karena kau susah sekali dibangunkan.”
Pikiran Amie perlahan terasa jernih. “Siapa yang mengganti bajuku dan bagaimana kita pulang ke sini?”
“Aku menggendongmu ke jalan raya, lalu menumpang kolbak sampai pas depan villa. Sepertinya sopir kolbak kasihan padaku yang harus tertatih menggendongmu yang seberat karung beras, dari jalan utama menuju villa ini, yang berjarak setengah kilometer.”
“Kau menggendongku?” Amie tersipu. “Terima kasih. Tapi kurasa aku tidak seberat karung beras.”
“Yah….”
“Lalu siapa yang mengganti bajuku?”
“Tentu saja ibuku.” Rain tersenyum ramah. “Aku minta maaf karena membuatmu kelelahan sehingga tertidur seharian.”
“Ak-aku kurang berolahraga….”
“Besok kau istirahat saja.”
“Aku ingin jalan-jalan.”
“Baiklah, tapi tunggu aku pulang sekolah, ya.”
“Baiklah.”
“Ayo turun, kau pasti lapar sekali karena belum makan dari siang, sampai-sampai mencari nasi bekalmu.” Rain terkekeh.
Amie tersipu. “Ya, aku lapar sekali.”
“Kau tidur nyenyak sekali, Amie.” ujar Bu Tom menyambutnya.
“Ya…sepertinya aku kelelahan.”
Di meja telah tersaji nasi dalam bakul, sepanci sup jagung yang masih mengepul, botol saus sambal dan saus tomat, dan sepiring penuh sosis goreng.
“Ayo, Rain, kau juga makan malam. Kan Amie sudah bangun.”
“Kau menungguku?” tanya Amie heran.
“Yah, aku hanya merasa bertanggung jawab karena telah membuatmu kelelahan. Sudah, ayo kita makan, aku juga sudah lapar.”
Amie sangat lapar sampai menghabiskan 2 piring nasi, 3 mangkok sup jagung, 2 potong sosis goreng. Rain dan Bu Tom tertawa melihat Amie. Amie juga ikut tertawa.
Malamnya Amie tertidur nyenyak tanpa mimpi.
***
Keesokannya Amie menghabiskan waktu membantu Bu Tom membereskan rumah, ikut Pak Tom ke ladang, lalu jalan-jalan sendiri ke air terjun sambil menunggu Rain pulang sekolah. Amie duduk di tepi sungai sambil merendam kakinya. Ia tergoda untuk berenang di bawah air terjun. Akhirnya ia melepas sepatu kets dan jaketnya lalu terjun ke sungai yang dingin.
Saat berenang, tiba-tiba ia teringat sesuatu, bayangan saat dulu ia bermain dengan Rain, tetapi hanya samar-samar. Dulu Rain memanggilnya Amie, seperti sekarang, tanpa embel-embel ‘kakak’. Amie berusaha mengingatnya namun tetap bayangan samar.
“Amie?”
Tanpa mendengar panggilan Rain, Amie keluar dari sungai. Rambutnya yang panjang dan lurus melewati bahu menempel di punggungnya. Amie berjalan ke tepi sambil menggelengkan kepalanya, mengibaskan rambutnya. Lalu ia melihat Rain sedang terpaku memandanginya dengan tajam. “Rain? Kau di sini? Sejak kapan?”
“Baru saja.”
“Melihat air terjun, aku tergoda untuk berenang. Sungainya tetap dangkal seperti dulu….” canda Amie. Ia mengambil jaketnya yang ia letakkan begitu saja di rerumputan.
Rain berjalan perlahan menghampirinya. “Kukira kau peri hutan yang sedang mandi….”
Amie tersipu. Ia menatap Rain, mencoba melihat apakah Rain hanya menggodanya. “Kau bisa saja….”
“Sungguh….” Rain merangkum wajahnya, membuat Amie terkejut sehingga menjatuhkan jaketnya. “Dengan berlalunya waktu, Amie semakin cantik dan semakin cantik….”
Jantung Amie berdebar dengan kencang karena tatapan Rain dan tubuh mereka yang berdekatan. Tubuhnya gemetar dan terasa lemas. Ia berpegangan pada Rain agar tidak jatuh. “Rain…?”
Perlahan Rain mendekatkan wajahnya, lalu mencium Amie dengan lembut dan hangat. “Amie, aku merindukanmu.” bisiknya lembut.
“Rain!” Amie tiba-tiba memeluknya. “Aku ingat, Rain! Aku ingat! Maaf kalau selama ini aku melupakanmu! Akhirnya aku ingat!” Amie terus mengulangi kata-katanya dengan gembira.
“Ingat apa?”
“Dulu saat kita di jalan pulang menuju villa, setelah kau lama menangis di sini, kau memintaku untuk tidak pulang ke Jakarta. Lalu aku yang merasa terharu, mencium bibirmu….” Wajah Amie merah padam. “Karena malu, aku berusaha untuk tidak mengingat hal itu, dan akhirnya aku malah melupakanmu, dan hanya ingat samar-samar soal dirimu, Rain.”
“Hmm….”
“Maaf….”
“Yah, aku kesal sih, karena kau tidak pernah mengunjungiku dan malah melupakanku. Padahal aku selalu mengingatmu dan ciuman pertamaku selama tiga tahun ini. Makanya aku ingin sedikit mengerjaimu.” Rain tersenyum. “Dan kenapa aku menciummu kemarin itu, agar kau ingat bahwa kau telah merebut ciuman pertamaku tiga tahun lalu!”
“Tapi maaf waktu itu aku belum ingat….”
“Padahal kukira waktu di danau kau menciumku, kau ingat hal itu.”
Amie menggeleng sedih.
“Makanya aku bertekad akan terus menciummu sampai kau ingat.”
“Aku kan sudah ingat sekarang. Lalu kau akan berhenti menciumku?”
Rain melepaskan pelukanku. “Bagaimana, ya….”
“Rain…!”
Rain mengambil jaket Amie dari rerumputan. Rain menarik tangan Amie dan menggenggamnya. Matanya berbinar senang. “Itu nanti akan kupikirkan. Sekarang, bagaimana kalau kita kembali ke villa? Nanti kau kena flu.”
“Kalau aku flu, kau tinggal merawatku saja….”
“Kalau kau flu, aku tidak bisa mengajakmu ke tempat-tempat indah lainnya.” Rain merangkulnya. “Kau tahu, kau sangat ringan saat kugendong kemarin. Aku ingin terus menggendongmu dari danau sampai villa, tapi aku tidak ingin kau masuk angin dan sakit.”
Amie meremas tangan Rain dengan sayang. “Maaf aku melupakanmu. Tapi kurasa saat aku melihatmu keluar dari sungai kemarin itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.”
“Saat kau memperlihatkan air terjun padaku tiga tahun lalu, aku jatuh cinta padamu.”
“Aneh sekali.”
Rain tertawa. “Cinta memang aneh kan?”
“Ya, kau benar, Rain, cinta memang aneh….” Amie dan Rain berjalan bergandengan menuju villa diiringi angin sejuk semilir.
TAMAT
CODET, 7 Agustus 2012



1 komentar: