Selasa, 30 Juli 2013

LUNA



LUNA
“Kau pasti Luna.”
                “Ya.” Luna tersenyum bisnis. “Dan kau pasti Lorcan.” Luna memperhatikan bahwa pria di hadapannya ini memiliki mata terindah yang pernah dilihatnya. Mata itu berwarna cokelat keemasan. Dan mata itu kini tengah menatapnya dengan tajam.
                “Sebenarnya, sebelum kita mulai… ada yang ingin kutanyakan. Apa nama aslimu Luna?”
                Luna sedikit mengerutkan keningnya. Ia tersenyum. “Tentu saja.”
                “Ah…” Mata pria itu menelusuri tubuh Luna yang mengenakan kemeja katun putih yang lengannya dilipat sampai ke siku. “Kurasa nama itu tidak pantas… mengingat profesimu.”
                Luna menatap marah pria di hadapannya ini. Ingat, Luna, pria ini kaya. Bayarannya mahal. Luna tetap memasang senyum bisnis. Ia meraih segelas jus jeruk di hadapannya dan menyiramkannya ke wajah Lorcan.
                Lorcan menjerit kaget. “Kurang ajar!”
                “Kau yang kurang ajar!” Luna bangkit dan hendak meninggalkan café, namun Lorcan mencekal lengannya. “Lepaskan, brengsek!”
                “Kau sudah membuatku rugi. Jus jeruk terbuang, dan kau sama sekali belum menyentuh makananmu, tetapi aku tetap harus membayar pada kasir,” desisnya tajam. “Aku tidak ingin waktuku terbuang hanya untuk mencari wanita lain. Kau harus ikut aku!”
                Luna berhenti meronta karena Lorcan sangat kuat memeluk pinggangnya walaupun hanya dengan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain memberikan dua lembar seratus ribuan pada kasir.
Dengan kasar Lorcan mendorong Luna masuk ke Panther-nya. Lalu ia mengitari mobil dan duduk di belakang kemudi.
                “Kau pria kaya pelit.”
                Lorcan meliriknya sebelum menjalankan mobil. “Sebenarnya bukan masalah uang jus jeruk dan lasagna yang kaupesan. Aku telah membayar mahal pada temanku yang merekomendasikanmu. Ternyata kau wanita yang tidak punya etika.”
                “Kau yang tidak punya etika.” Luna menahan amarahnya.
                “Aku hanya mengemukakan pendapatku. Lagipula… pembeli adalah raja, bukan?” Lorcan tersenyum dingin.
                “Lalu, apa maumu?”
                “Sebentar.” Lorcan menghubungi sebuah nomor handphone. “Halo, Gust! Di mana kau?” tanyanya marah. “Aku tidak menginginkan Luna! Aku meminta uangku kembali, atau kau harus mencarikanku wanita lain!”
                Luna terkejut saat Lorcan melempar handphone-nya keluar jendela ke jalanan. “Agust menghubungiku dan ia bilang padaku bahwa ada temannya yang membutuhkan jasaku. Tapi aku tidak benar-benar mengenal Agust. Kami hanya berkencan dua kali, dan itu pun sudah seminggu yang lalu.”
                “Sialan! Katanya kau hebat di tempat tidur! Tapi ia tidak bilang bahwa kau sama sekali tidak punya etika!”
                “Kau yang cari gara-gara! Seandainya kau bersikap lebih baik, pasti segalanya akan berjalan lancar.” Luna menatap marah pada Lorcan yang sedang mengemudi. “Kalau dilihat, tampangmu itu lumayan tampan.”
                “Bukan lumayan tampan, tapi sangat tampan.”
                Luna nyengir. “Ngomong-ngomong… kau pria haus seks, ya?”
                Meskipun sedikit terkejut, pandangan Lorcan tetap fokus pada jalanan di depannya. “Aku sedang stres. Pacarku yang sangat kupuja… selingkuh.”
                “Ya, ampun, kasihan sekali…”
                Lorcan tahu Luna sedang menyindirnya. Tapi entah kenapa, ia ingin mencurahkan isi hatinya pada seseorang. Dan kini di dekatnya hanya ada seorang pelacur. “Aku benar-benar sakit hati.”
                “Aku bersedia menghiburmu, sepertinya kau sangat menderita.”
                Lorcan menghentikan Panther-nya di tepi jalan. Ia menoleh pada Luna dan menatapnya. “Benar, aku sangat menderita. Brengsek!” Lorcan meninju stir mobil. “Padahal aku memercayai mereka, tapi…”
                “Mereka? Apakah pria yang menjadi selingkuhan itu… sahabatmu?”
                Lorcan menggeleng muram. “Kakakku.”
                Luna sangat terkejut mendengar jawaban Lorcan. Spontan tangannya terulur untuk mengelus rambut Lorcan yang lembut dan bergelombang, serta sangat hitam.
                Lorcan meraih tangan Luna. Matanya yang cokelat keemasan menatap Luna tajam dan entah kenapa, membuat jantung Luna tiba-tiba berdebar dengan sangat kencang. Bibir pria itu yang berlekuk sensual mendarat kasar di bibir Luna. “Ayo ke hotel.”
                Dengan kasar Luna mendorong Lorcan, membuat keduanya sama-sama terkejut. “Eh, aku… aku tidak mau…”
                “Apa maksudmu?” Lorcan menautkan alisnya yang hitam tebal sehingga menyatu di tengah. “Bukankah tadi kaubilang bahwa kau bersedia untuk menghiburku?”
                “I… iya…. ” Luna mundur ke pintu mobil. “Tapi aku berubah pikiran. Aku… akan mencarikan temanku untukmu.”
                “Aku tidak punya waktu. Aku menginginkan… wanita… sekarang.” Lorcan menarik tangan Luna.
                Luna berusaha bertahan. “Tidak, kumohon!” Mata Luna berkaca-kaca. Wajahnya terasa panas dan jantungnya berdegup dengan kencang. Kepalanya terasa pusing dan dadanya terasa sesak. Luna bingung dengan apa yang sedang terjadi padanya. “Aku mau turun di sini!”
                “Ada apa denganmu?”
                Luna menggigit bibirnya. “Kumohon, biarkan aku turun!”
                “Tenanglah…” Lorcan tetap memegang tangan Luna. “Bukankah kau sudah terbiasa melakukannya?”
                Luna berusaha untuk bernapas dengan tenang. Suaranya bergetar saat berkata, “Aku tidak tahu… saat ini aku merasa pusing. Aku… aku tidak enak badan.”
                “Kau… sedang hamil? Mau ke dokter?”
                “Aku tidak mau ke dokter! Dan aku tidak hamil. Aku… selalu minum pil.”
                “Baiklah…” Lorcan melepaskannya. “Telepon temanmu, tapi yang bagus dan… beretika.”
***
Luna memandangi pantulan dirinya di cermin kamarnya.
                “Luna, hari ini kau dapat berapa?”
                Luna berbalik. “Hari ini aku tidak dapat.”
                “Bodoh!” Prido menjambak rambutnya. “Kalau kau jarang mendapat pemasukan, aku tidak bisa membayar uang kuliahku!”
                “Lepaskan, aku sudah muak, Prido! Seharusnya kau yang bekerja, bukan aku!”
                “Gara-gara menikah denganmu, aku jadi menderita!”
                “Jika kau tidak membuatku hamil, kau tidak perlu menikahiku!”
                “Aku? Bukankah kau juga menginginkannya? Kau sangat menikmati pelukanku!”
                Luna menggigit bibirnya menahan tangis.
                “Sekarang, pergi cari uang! Kalau kau belum mendapatkannya, jangan pulang!”
                Luna mengambil tasnya dan bergegas pergi. Ia berjalan menyusuri gang sempit dan becek menuju tempat pemberhentian bus. Lalu ia melihat Agust.
                “Hai. Di mana Lorcan? Handphone-nya tidak aktif. Saat tadi ia menghubungiku, aku sedang rapat, jadi aku tidak bisa berbicara terlalu lama dengannya.”
                “Dia… bersama temanku.”
                “Oh, begitu. Eh, kau menangis? Apa Lorcan berlaku kasar padamu?” tanya Agust khawatir.
                “Tidak.”
                “Mau menemaniku?”
                Luna memandangi trotoar di bawahnya. “Baiklah.”
***
Air mata Luna menetes dan mengalir ke pipinya yang lembut. Ia bangkit dan meraih jubah tidurnya. Ia berjalan ke balkon. Langit di atasnya hitam kelam tanpa bintang, namun ada sepotong bulan menemani. Luna memandangi jalanan di bawahnya. Saat ini ia berada di lantai 6 sebuah hotel termahal di kotanya.
                “Luna?”
              Luna menoleh. Ia terkejut mendapati Lorcan di balkon di sebelah kamar hotel yang sedang ditempatinya. “Lorcan…” Jantungnya langsung berdegup dengan kencang.
                “Kau benar-benar tidak tahu etika!”
                “Ap-apa?” Luna melangkah mundur.
                Lorcan melompat ke balkon Luna. “Kau ini kenapa? Kau melakukannya dengan pria lain, tetapi kenapa kau tidak mau melakukannya denganku?”
                “Aku…”
                “Kita sepertinya berjodoh.”
                “Lepaskan!” Luna tidak berani menatap mata Lorcan.
                “Luna, ada apa?”
                “Agust!” Lorcan terkejut melihat Agust. “Aku tidak peduli kau sudah melakukannya atau belum dengan Luna, aku menginginkan Luna sekarang!” Lorcan menarik Luna masuk ke dalam kamar.
                “Hei, sebentar, Sob, kenapa kau ada di kamarku?”
                “Apa pedulimu?” Lorcan menarikhampir menyeretLuna ke arah pintu kamar.
                “Aku belum membayar Luna!”
                “Aku yang akan membayarnya!” Lorcan membanting pintu kamar tepat di depan hidung Agust. Lalu ia menarik Luna ke kamar hotelnya. Setelah mereka berada di dalam kamar, pria itu mengunci pintu kamarnya. Ia mengurung Luna ke pintu kamar hotel. “Aku tidak mengerti…”
                “Di mana temanku?”
                “Sudah pulang.”
                “Setelah bercinta dengan temanku, apa kau masih haus seks?”
                “Ya. Padamu!”
                Wajah Luna terasa panas. Ia berharap dalam kamar yang temaram ini Lorcan tidak dapat melihat wajahnyayang pasti memerahdengan jelas.
                “Jelaskan padaku! Kenapa kau tidak mau tidur denganku?”
                “Tidak…” Jantung Luna berdegup dengan kencang di bawah tatapan tajam Lorcan.
                “Kau… jatuh cinta padaku?”
                “Itu tidak mungkin!” Luna berteriak. Lalu ia menggigit bibirnya.
                “Aku… tidak bisa melakukannya dengan temanmu.” Napas Lorcan yang beraroma mint menerpa wajah Luna.
                “Kenapa?”
                Tangan Lorcan yang besar dan kuat mengelus pipi lembut Luna. Ia tersenyum lembut menatap Luna. “Kami hampir melakukannya, tapi tiba-tiba saja aku mengingatmu. Aku sendiri tidak mengerti…” Lorcan menjauh. “Sejak kita berpisah sore tadi… aku…”
                “Tidak usah merayuku…”
                “Aku tidak sedang merayumu.” Suara Lorcan terdengar sangat lembut di telinga Luna. “Maukah kau meninggalkan pekerjaanmu dan… menikah denganku?”
              Luna membelalak terkejut. Ia mencoba melihat mata Lorcan, apakah pria ini sedang bercanda atau serius. “Kenapa?”
                “Aku juga tidak tahu… tapi aku tidak bercanda. Aku sungguh-sungguh, Luna.”
                “Aku kotor…”
                “Aku tidak peduli, Luna. Aku ingin kau menjadi istriku, ibu dari anak-anak kita nanti. Tadinya aku bermaksud untuk mencarimu, tapi kebetulan kita bertemu di sini.”
                “Aku tidak bisa.” Luna merasa sesak. “Aku tidak bisa, Lorcan. Aku sudah menikah…”
                “Aku tidak peduli!” Lorcan tertegun. Ia menatap Luna bingung. “Kau sudah menikah?”
                “Ya, karena itu…”
                “Apa maksudmu? Kau sudah menikah, tapi melacurkan diri? Apakah suamimu mengetahuinya?”
                Luna menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
                “Luna…”
                “Biarkan aku pergi, Lorcan.”
                “Tidak, sebelum aku puas denganmu!” Dengan kasar Lorcan menyentakkan jubah Luna sehingga menampakkan tubuh telanjangnya.
***
“Uangnya banyak sekali, Luna!” Prido tertawa senang.
                “Ya, dan aku mau kita bercerai, Prido!”
                “Cerai? Kau sudah menghancurkan hidupku lalu kau mau pergi begitu saja?”
                “Aku mohon padamu, Prido. Biarkan aku pergi…” Luna menahan tangisnya.
                “Tidak!”
                “Sudah tidak ada cinta di antara kita. Kau hanya menyakitiku saja, Prido.”
                Prido tersenyum licik. “Boleh. Asal kau harus membayarku dua puluh juta untuk uang cerai.”
                “Apa kau gila? Seharusnya kau yang memberiku uang!”
                “Luna!”
                Luna membelalak terkejut mendengar suara Lorcan. Ia menoleh ke arah pintu rumahnya. “Lorcan?”
                Lorcan menatap Prido dengan tatapan yang belum pernah Luna lihat sebelumnya. “Kau suami Luna?”
                “Ya. Siapa kau sembarangan masuk ke rumah orang? Oh, kau pelanggannya?”
                “Bajingan!” Dengan cepat Lorcan meninju Prido.
                “Lorcan, hentikan!” Luna berteriak panik.
                Darah segar mengalir dari hidung dan mulut Prido. Tiga giginya patah. “Kau…!”
                “Kau harus menceraikan Luna! Dia istrimu dan kau memperlakukannya seperti sampah! Aku tahu yang kauinginkan adalah uang! Ini lima puluh juta!” Lorcan melempari berlembar-lembar uang kertas seratus ribuan. “Kami akan datang lagi untuk mengurus surat perceraianmu dan Luna!” Lorcan menarik tangan Luna. “Ayo pergi!”
                “Lorcan?”
                Lorcan membawa Luna menyusuri gang dan membawanya ke mobil yang diparkir di depan sebuah mini market. Lorcan menghela napas. “Aku mau minta maaf, Luna. Aku telah memperlakukanmu dengan buruk di hotel semalam…”
                “Tidak apa-apa, aku mengerti…” Luna menunduk selama Lorcan mengemudi.
                “Aku sangat menyesal. Saat aku bangun tadi pagi, kau telah pergi. Aku sangat menyadari bahwa kau mencintaiku, Luna. Aku dapat merasakannya saat kita bercinta semalam. Aku meminta nomor temanmu pada Agust. Maaf, aku menelepon temanmu untuk mencari informasi tentang kehidupan rumah tanggamu. Dan temanmu itu telah menjelaskan semuanya…”
                Luna terisak. “Dulu sewaktu pacaran, Prido sangat baik…”
                Lorcan menghentikan Panther-nya di tepi jalan yang sepi. Lalu pria itu merengkuh Luna ke dalam pelukannya. “Aku mencintaimu, Luna. Dan, sejujurnya…” Lorcan tersenyum lembut, “sejujurnya namamu secantik wajahmu.
                Perlahan bibir Luna tertarik ke atas, membentuk seulas senyum malu. “Aku juga… mencintaimu. Rasanya aneh, baru kemarin kita bertemu, dan aku langsung jatuh cinta padamu. Ini… ini tidak masuk akal…”
                “Ya, memang. Bukankah cinta memang tidak masuk akal?” Lorcan tertawa. “Kita akan mengurus perceraianmu dengan Prido, lalu kita akan menikah.”
                Luna memeluk Lorcan. Ia menangis bahagia. “Terima kasih Tuhan… aku mencintaimu, Lorcan.”
                Lorcan memeluknya dengan erat. “Semoga kita akan berbahagia, Luna, selamanya…”
END
7 April 2005
CodÉt
               
               
               
               
               
               
               

               
               

I WANT YOU



Tanggal pembuatan : 23 Juni 2013
I WANT YOU

 
Fotografer: Fidi

Pertama kali aku melihatnya, tak pernah terbesit di pikiranku untuk mencintainya… dan menginginkannya.
***
“Luna, ayo duduk di sini! Dari sini kita bisa melihat ke arah panggung dengan jelas!” Chika, sahabatku sejak kelas satu SMA, berteriak dan melambaikan tangannya dengan semangat saat melihatku yang baru datang ke lapangan sekolah yang kini telah ternaungi sebagian oleh tenda. Di bawah tenda tersusun banyak kursi dan di depan deretan kursi tersebut berdiri sebuah panggung yang telah dihias sedemikian rupa oleh para OSIS dan para panitia pelaksana Dies Natalis atau ulang tahun sekolahku.
                Aku menghampiri Chika yang telah berbaik hati memberikan kursi kosong padaku di sebelahnya. “Trim’s, Chika.”
                Chika tersenyum gembira. “Hari ini putra Bu Aida tampil di Dies Natalis! Kata Oka sih, dia keren banget! Dia akan bermain gitar mengiringi lagu Dies Natalis!”
                Aku tersenyum. “Oh, begitu.”
                “Ih, datar banget, sih!”
                “Kan aku belum melihat cowok itu.” Aku mengangkat bahu. Aku tertawa kecil melihat wajah cemberut Chika.
                Kursi-kursi mulai dipenuhi para siswa-siswi dan para guru. Dan beberapa saat kemudian pembawa acara mengumumkan bahwa acara Dies Natalis akan segera dimulai. Acara pertama adalah sambutan dari kepala sekolah, lalu dilanjutkan dengan sambutan kedua yang dibawakan oleh salah seorang guru yang ditunjuk oleh pihak sekolah. Aku tidak begitu menyimak sambutan mereka dan malahan mengantuk. Aku nyengir melihat Chika yang malah sudah tertidur karena sambutan mereka yang lumayan panjang.
                Saat acara hiburan dimulai, para siswa-siswi langsung bersorak gembira. Begitu pun aku dan Chika. Acara hiburan pertama adalah kabaret dari ekskul teater, sangat menghibur dan mengocok perut para penonton. Lalu acara berikutnya merupakan lagu ulang tahun sekolah yang akan dinyanyikan oleh anggota ekskul musik.
                Chika mengguncang-guncangkan bahu kiriku sambil menjerit kecil, berusaha mengalahkan hingar-bingar di sekeliling kami. “Luna, Luna, itu! Cowok itu, anaknya Bu Aida! Uwaaa, keren banget sih!!!”
                Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Chika. Aku menyipitkan mata berusaha untuk melihat cowok yang mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana bahan hitam di atas panggung, yang memegang gitar. Penampilannya rapi dan terkesan dewasa. “Biasa saja, Chika.”
                “Ih, matamu itu, ya! Dia keren banget, Luna!”
                “Masa sih…” Aku terus saja melihat ke arah cowok yang akan mengiringi lagu Dies Natalis. Lalu jantungku tiba-tiba berdesir saat mendengar permainan gitarnya. Mataku seolah terpaku padanya, pada jari-jarinya yang memainkan gitar dengan sangat indah. Tanpa sadar air mataku menetes dan mengalir ke pipiku. Aku sering mendengar dan melihat permainan gitar, tapi baru kali ini jantungku berdesir. Baru kali ini aku merasa terharu melihat dan mendengar permainan gitar seseorang.
                “Luna? Kau sangat terharu mendengar lagu Dies Natalis, ya?” Chika menepuk-tepuk bahuku.
                “Eh…” Aku menghapus air mataku dengan malu. “Chi… Chika! Tolong rekam permainan cowok itu!” pintaku tiba-tiba, membuat Chika terkejut.
                “Hah?” Chika mengerjapkan matanya. “Eeh, oke, oke!” Chika segera mengeluarkan handphone dari saku seragamnya, lalu ia mulai merekam permainan gitar cowok gitaris itu.
                Setelah lagu selesai, tepuk tangan langsung membahana. Ada juga yang berteriak, “KEREN!”, “BAGUS”, “LAGI!”
                “Kenapa kau menyuruhku untuk merekam permainan gitarnya?” Chika menatap ke arahku dengan tampang jahil. “Hmm, perasaan tadi ada yang bilang padaku kalau tuh cowok biasa saja.”
                Aku tersipu malu. “Maaf, Chika. Aku… eh, aku suka permainan gitarnya. Menyentuh hatiku.”
                “Permainan gitarnya atau cowok yang memainkan gitar?”
                “Entahlah.” Aku merasa wajahku semakin memerah mendengar ucapan Chika.
                Acara selanjutnya adalah lagu-lagu yang dibawakan oleh anak-anak band kelas satu, dua, dan tiga. Permainan mereka sangat menarik, tapi entah kenapa, jantungku tidak berdesir seperti saat aku melihat cowok tadi. Aneh.
                Saat istirahat salat Dzuhur, tanpa sengaja aku melihatnya sedang duduk sambil membuka sepatu di halaman mushola sekolah. Dan tiba-tiba jantungku berdegup dengan kencang. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi padaku.
                “Luna, halooo, kau melihat siapa?”
                Aku menggelengkan kepalaku. “Eh, itu… cowok gitaris itu, anaknya Bu Aida. Kenapa jantungku berdebar saat melihatnya, ya?”
                “Hah?” Chika mengangkat alis kirinya. “Kau jatuh cinta padanya, mungkin?”
                “Tidak mungkin kan, aku baru melihatnya beberapa saat yang lalu. Memangnya jantungmu tidak berdebar juga?”
                Chika tertawa. “Dia memang keren, tapi… tidak sampai membuat jantungku melompat-lompat dengan cepat.”
                Aku tersenyum.
                Di akhir acara, cowok itu kembali mengiringi lagu yang dinyanyikan oleh anggota ekskul musik. Aku tidak mengerti kenapa dia terlihat keren sekali dan sangat menonjol. Dan aku juga tidak mengerti kenapa dia terlihat bersinar di mataku. Aku terus memperhatikannya yang memainkan gitarnya. Aku juga terus memperhatikannya sampai ia turun panggung dan bersalaman dengan anak-anak dari ekskul musik. Aku melihatnya tampak tersenyum malu-malu.
                Aku ingin sekali berkenalan dengannya! Jantungku berdegup dengan kencang. Tapi bagaimana caranya?
***
Malamnya, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan cowok gitaris itu. Siapa namanya? Berapa umurnya? Aku kecewa karena Chika hanya tahu bahwa ia adalah putra Bu Aida. Aku menghapus air mataku yang ternyata telah menitik dan mengalir ke pipiku. Kenapa aku begitu ingin bertemu lagi dengannya? Kenapa aku sangat ingin berkenalan dengannya? Dadaku begitu bergemuruh menginginkannya. Aku mungkin jatuh cinta padanya. Atau hanya obsesi? pikirku bingung. Aku tidak mengerti semua itu. Yang aku tahu adalah, aku sangat ingin bertemu dengannya dan berkenalan dengannya.
                Sudah lebih dari sepuluh kali aku melihat rekaman permainan gitar cowok itu di handphone-ku. Hanya itulah yang dapat mengobati sedikit rasa rinduku padanya. Aneh memang, aku seperti gila. Aku baru bertemu dengannya hari ini dan ia bisa membuatku tergila-gila padanya!
                Sejak itu, aku selalu mencari tahu informasi tentangnya. Sampai suatu hari, aku mendapatkan namanya dari salah satu temanku yang merupakan anggota OSIS di sekolahku. Nama cowok itu adalah Andra Gumilang. Namanya sebagus wajahnya, pikirku senang. Kukira ia mahasiswa, ternyata ia masih kelas 3 SMA, sama sepertiku. Ia sekolah di SMA yang lumayan jauh jaraknya dari SMA-ku.
                Karena penasaran, aku mencari informasi tentangnya melalui facebook. Aku sangat gembira menemukan facebook-nya. Nama facebook-nya ‘Andra Gumilang’. “Chika, ini benar Andra yang gitaris itu kan?”
                Chika mengangguk-angguk. “Iyap, benar, nama dan wajahnya sama. Senyum manisnya juga sama.”
                Aku bersorak senang, membuat Chika terkejut. Tapi aku tidak peduli. Dengan semangat aku membaca informasi tentangnya melalui status-status yang dibuatnya. Ternyata ia seorang anak band, dan posisinya adalah gitaris.
                “Wah, Mas gitarismu ini ternyata belum pernah pacaran, ya.” Chika membaca salah satu komentar teman facebook Andra. Ia tersenyum jahil. “Sama sepertimu, ‘cupu’, sudah kelas tiga SMA tapi belum pernah berpacaran.”
                “Biar saja, aku hanya belum menemukan yang pas saja…” Aku mencibir pada Chika. “Memangnya salah kalau aku belum pernah berpacaran?”
                “Tidak, siiihhh…”
                Aku pernah menyukai dua atau tiga orang cowok sebelumnya, tapi belum pernah berniat untuk berpacaran. Sejak aku melihat Andra, entah kenapa aku sangat ingin berpacaran dengannya! Dadaku sakit setiap kali mengingat Andra.
                Hampir setahun aku mencintai Andra, tapi aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Dadaku terasa sesak dan aku seringkali menangis karena ingin sekali bertemu dengannya.
                Aku sedih melihat status di facebook-nya bahwa ia akan kuliah jurusan musik di Yogyakarta.
                Chika menghela napas. “Sampai kapan pun kau tidak akan bertemu dengannya, kalau kau diam saja, tidak bergerak.”
                “Maksudmu aku harus menemuinya dan menyatakan cinta padanya?”
                Chika menatapnya dengan tajam. “Tentu saja kan!”
                “Tapi aku kan cewek, Chika…”
                “Ini kan sudah zaman modern, Luna! Ia akan kuliah di Yogyakarta! Apa kau mau dia pergi begitu saja?”
                Aku menggeleng. Selama dua hari ke depan aku terus merenungkan ucapan Chika. Sampai akhirnya aku datang ke sekolahnya setelah acara kelulusan di sekolahku. Keberuntungan bagiku karena aku melihatnya sedang mengobrol dengan teman-temannya di halte dekat gerbang sekolah, sepertinya menunggu bus.
                Dengan jantung berdebar kencang aku memberanikan diri untuk menyapanya.
                “Siapa?” tanya Andra bingung. Tapi ia tersenyum dengan ramah.
                “Bo-boleh aku berbicara sebentar denganmu?”
                Andra menggaruk pelipisnya, melihat ke arah teman-temannya, lalu mengangguk. “Penting?”
                “Y-ya, penting bagiku.”
                “Baiklah. Di seberang ada café, bagaimana kalau kita bicara di sana saja?”
                Aku menganga tak percaya. Andra ramah sekali! Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk mengiyakan. Aku mengikutinya menyeberang jalan ke arah café Sweet Kisses.
                Kami mengambil tempat duduk di dalam café bernuansa kayu berwarna krem, di sudut jendela. Setelah memesan minuman, aku memulai pembicaraan.
                “Aku… namaku Luna. Sama sepertimu, aku juga kelas tiga SMA. Mungkin kau tidak mengenalku, tapi aku sudah mengetahui tentangmu sejak setahun yang lalu, saat kau memainkan gitar di acara ulang tahun sekolahku, Dies Natalis.” Aku berusaha untuk menatap matanya. Jantungku seolah meledak saat kata demi kata keluar dari mulutku, yang anehnya tanpa terpatah-patah. Aku terkejut melihat wajahnya merona.
                Andra menutup mulutnya, lalu wajahnya. “Terima kasih, tapi maaf, aku tidak mengenalmu.”
                Jantungku terasa ditinju.
                “Lalu, ada hal penting apa?”
                “Aku… aku…” Aku berusaha untuk menahan air mataku yang sudah mendesak untuk keluar. “Aku jatuh cinta padamu, pada permainan gitarmu. Aku… ingin menjadi pacarmu…”
                “Eh…” Aku terkejut melihat wajah Andra yang merah padam. “Aku… senang dengan perasaanmu tapi… untuk saat ini aku belum tertarik untuk berpacaran…”
                Aku menunduk, diam saja. Air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku tahu, aku tahu aku pasti akan ditolaknya! Aku terkejut melihat tisu yang disodorkan di hadapan wajahku. Aku mengambil tisu dari tangan Andra dan menghapus air mataku. Lalu aku mendongak dan melihat Andra tersenyum bingung ke arahku.
                “Jangan menangis. Aku… belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Selama ini aku hanya memikirkan musik. Sudah banyak yang menyatakan cinta padaku.” Andra mengusap tengkuknya. “Jujur, baru kali ini jantungku berdegup dengan kencang. Aku juga tidak tahu kenapa…”
                 “Maksudmu…?”
                Andra tersenyum. “Aku akan kuliah di Yogyakarta. Jika perasaanmu tidak berubah padaku sampai aku lulus kuliah… aku akan menerima cintamu.”
                Aku mengerjapkan mataku dengan bingung. “Hah?”
                Andra tersenyum manis, lebih manis dari senyumannya yang selalu hadir di setiap mimpiku. “Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta. Aku sepertinya sedikit menyukaimu. Tapi untuk sekarang aku ingin fokus di musik dulu, setelah lulus kuliah, mungkin aku akan memikirkan tentang cinta…”
                “Aku tidak mengerti…” Aku memang tidak mengerti akan perkataannya. Aku terkejut karena Andra tiba-tiba memegang tanganku.
                “Kalau kita berjodoh, kita pasti akan bertemu kembali.”
***
Sudah hampir dua tahun sejak aku menyatakan cinta pada Andra. Dan selama itu aku masih saja  memikirkan cowok itu. Banyak cowok yang menyatakan cinta padaku tapi entah kenapa aku sama sekali tidak tertarik.
                Seandainya aku tidak pernah bertemu dengan Andra.
                “Boleh aku duduk di sini, Mbak?”
                “Ya, silahkan…” Aku mengerjapkan mataku tak percaya. “Andra?!”
                Cowok tampan itu tersenyum ke arahku. “Aku tidak sabar untuk menunggu selama dua tahun lagi, Luna. Maukah kau berpacaran denganku?”
                Aku tak sanggup untuk berkata-kata.
                “Aku selalu mengikuti informasi mengenaimu dari facebook-mu. Kampusku sudah mulai libur, makanya aku sengaja jauh-jauh datang ke kampusmu untuk menemuimu.”
                Aku mencubit pipiku, membuat Andra tertawa.
                “Ini bukan mimpi, Luna. Aku mencintaimu. Dan aku sangat menginginkanmu untuk menjadi pacarku.”
                Aku menangis, lalu memeluk Andra yang langsung memelukku dengan erat. “I want You,” bisiknya pelan di telingaku.
END