Selasa, 30 Juli 2013

I WANT YOU



Tanggal pembuatan : 23 Juni 2013
I WANT YOU

 
Fotografer: Fidi

Pertama kali aku melihatnya, tak pernah terbesit di pikiranku untuk mencintainya… dan menginginkannya.
***
“Luna, ayo duduk di sini! Dari sini kita bisa melihat ke arah panggung dengan jelas!” Chika, sahabatku sejak kelas satu SMA, berteriak dan melambaikan tangannya dengan semangat saat melihatku yang baru datang ke lapangan sekolah yang kini telah ternaungi sebagian oleh tenda. Di bawah tenda tersusun banyak kursi dan di depan deretan kursi tersebut berdiri sebuah panggung yang telah dihias sedemikian rupa oleh para OSIS dan para panitia pelaksana Dies Natalis atau ulang tahun sekolahku.
                Aku menghampiri Chika yang telah berbaik hati memberikan kursi kosong padaku di sebelahnya. “Trim’s, Chika.”
                Chika tersenyum gembira. “Hari ini putra Bu Aida tampil di Dies Natalis! Kata Oka sih, dia keren banget! Dia akan bermain gitar mengiringi lagu Dies Natalis!”
                Aku tersenyum. “Oh, begitu.”
                “Ih, datar banget, sih!”
                “Kan aku belum melihat cowok itu.” Aku mengangkat bahu. Aku tertawa kecil melihat wajah cemberut Chika.
                Kursi-kursi mulai dipenuhi para siswa-siswi dan para guru. Dan beberapa saat kemudian pembawa acara mengumumkan bahwa acara Dies Natalis akan segera dimulai. Acara pertama adalah sambutan dari kepala sekolah, lalu dilanjutkan dengan sambutan kedua yang dibawakan oleh salah seorang guru yang ditunjuk oleh pihak sekolah. Aku tidak begitu menyimak sambutan mereka dan malahan mengantuk. Aku nyengir melihat Chika yang malah sudah tertidur karena sambutan mereka yang lumayan panjang.
                Saat acara hiburan dimulai, para siswa-siswi langsung bersorak gembira. Begitu pun aku dan Chika. Acara hiburan pertama adalah kabaret dari ekskul teater, sangat menghibur dan mengocok perut para penonton. Lalu acara berikutnya merupakan lagu ulang tahun sekolah yang akan dinyanyikan oleh anggota ekskul musik.
                Chika mengguncang-guncangkan bahu kiriku sambil menjerit kecil, berusaha mengalahkan hingar-bingar di sekeliling kami. “Luna, Luna, itu! Cowok itu, anaknya Bu Aida! Uwaaa, keren banget sih!!!”
                Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Chika. Aku menyipitkan mata berusaha untuk melihat cowok yang mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana bahan hitam di atas panggung, yang memegang gitar. Penampilannya rapi dan terkesan dewasa. “Biasa saja, Chika.”
                “Ih, matamu itu, ya! Dia keren banget, Luna!”
                “Masa sih…” Aku terus saja melihat ke arah cowok yang akan mengiringi lagu Dies Natalis. Lalu jantungku tiba-tiba berdesir saat mendengar permainan gitarnya. Mataku seolah terpaku padanya, pada jari-jarinya yang memainkan gitar dengan sangat indah. Tanpa sadar air mataku menetes dan mengalir ke pipiku. Aku sering mendengar dan melihat permainan gitar, tapi baru kali ini jantungku berdesir. Baru kali ini aku merasa terharu melihat dan mendengar permainan gitar seseorang.
                “Luna? Kau sangat terharu mendengar lagu Dies Natalis, ya?” Chika menepuk-tepuk bahuku.
                “Eh…” Aku menghapus air mataku dengan malu. “Chi… Chika! Tolong rekam permainan cowok itu!” pintaku tiba-tiba, membuat Chika terkejut.
                “Hah?” Chika mengerjapkan matanya. “Eeh, oke, oke!” Chika segera mengeluarkan handphone dari saku seragamnya, lalu ia mulai merekam permainan gitar cowok gitaris itu.
                Setelah lagu selesai, tepuk tangan langsung membahana. Ada juga yang berteriak, “KEREN!”, “BAGUS”, “LAGI!”
                “Kenapa kau menyuruhku untuk merekam permainan gitarnya?” Chika menatap ke arahku dengan tampang jahil. “Hmm, perasaan tadi ada yang bilang padaku kalau tuh cowok biasa saja.”
                Aku tersipu malu. “Maaf, Chika. Aku… eh, aku suka permainan gitarnya. Menyentuh hatiku.”
                “Permainan gitarnya atau cowok yang memainkan gitar?”
                “Entahlah.” Aku merasa wajahku semakin memerah mendengar ucapan Chika.
                Acara selanjutnya adalah lagu-lagu yang dibawakan oleh anak-anak band kelas satu, dua, dan tiga. Permainan mereka sangat menarik, tapi entah kenapa, jantungku tidak berdesir seperti saat aku melihat cowok tadi. Aneh.
                Saat istirahat salat Dzuhur, tanpa sengaja aku melihatnya sedang duduk sambil membuka sepatu di halaman mushola sekolah. Dan tiba-tiba jantungku berdegup dengan kencang. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi padaku.
                “Luna, halooo, kau melihat siapa?”
                Aku menggelengkan kepalaku. “Eh, itu… cowok gitaris itu, anaknya Bu Aida. Kenapa jantungku berdebar saat melihatnya, ya?”
                “Hah?” Chika mengangkat alis kirinya. “Kau jatuh cinta padanya, mungkin?”
                “Tidak mungkin kan, aku baru melihatnya beberapa saat yang lalu. Memangnya jantungmu tidak berdebar juga?”
                Chika tertawa. “Dia memang keren, tapi… tidak sampai membuat jantungku melompat-lompat dengan cepat.”
                Aku tersenyum.
                Di akhir acara, cowok itu kembali mengiringi lagu yang dinyanyikan oleh anggota ekskul musik. Aku tidak mengerti kenapa dia terlihat keren sekali dan sangat menonjol. Dan aku juga tidak mengerti kenapa dia terlihat bersinar di mataku. Aku terus memperhatikannya yang memainkan gitarnya. Aku juga terus memperhatikannya sampai ia turun panggung dan bersalaman dengan anak-anak dari ekskul musik. Aku melihatnya tampak tersenyum malu-malu.
                Aku ingin sekali berkenalan dengannya! Jantungku berdegup dengan kencang. Tapi bagaimana caranya?
***
Malamnya, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan cowok gitaris itu. Siapa namanya? Berapa umurnya? Aku kecewa karena Chika hanya tahu bahwa ia adalah putra Bu Aida. Aku menghapus air mataku yang ternyata telah menitik dan mengalir ke pipiku. Kenapa aku begitu ingin bertemu lagi dengannya? Kenapa aku sangat ingin berkenalan dengannya? Dadaku begitu bergemuruh menginginkannya. Aku mungkin jatuh cinta padanya. Atau hanya obsesi? pikirku bingung. Aku tidak mengerti semua itu. Yang aku tahu adalah, aku sangat ingin bertemu dengannya dan berkenalan dengannya.
                Sudah lebih dari sepuluh kali aku melihat rekaman permainan gitar cowok itu di handphone-ku. Hanya itulah yang dapat mengobati sedikit rasa rinduku padanya. Aneh memang, aku seperti gila. Aku baru bertemu dengannya hari ini dan ia bisa membuatku tergila-gila padanya!
                Sejak itu, aku selalu mencari tahu informasi tentangnya. Sampai suatu hari, aku mendapatkan namanya dari salah satu temanku yang merupakan anggota OSIS di sekolahku. Nama cowok itu adalah Andra Gumilang. Namanya sebagus wajahnya, pikirku senang. Kukira ia mahasiswa, ternyata ia masih kelas 3 SMA, sama sepertiku. Ia sekolah di SMA yang lumayan jauh jaraknya dari SMA-ku.
                Karena penasaran, aku mencari informasi tentangnya melalui facebook. Aku sangat gembira menemukan facebook-nya. Nama facebook-nya ‘Andra Gumilang’. “Chika, ini benar Andra yang gitaris itu kan?”
                Chika mengangguk-angguk. “Iyap, benar, nama dan wajahnya sama. Senyum manisnya juga sama.”
                Aku bersorak senang, membuat Chika terkejut. Tapi aku tidak peduli. Dengan semangat aku membaca informasi tentangnya melalui status-status yang dibuatnya. Ternyata ia seorang anak band, dan posisinya adalah gitaris.
                “Wah, Mas gitarismu ini ternyata belum pernah pacaran, ya.” Chika membaca salah satu komentar teman facebook Andra. Ia tersenyum jahil. “Sama sepertimu, ‘cupu’, sudah kelas tiga SMA tapi belum pernah berpacaran.”
                “Biar saja, aku hanya belum menemukan yang pas saja…” Aku mencibir pada Chika. “Memangnya salah kalau aku belum pernah berpacaran?”
                “Tidak, siiihhh…”
                Aku pernah menyukai dua atau tiga orang cowok sebelumnya, tapi belum pernah berniat untuk berpacaran. Sejak aku melihat Andra, entah kenapa aku sangat ingin berpacaran dengannya! Dadaku sakit setiap kali mengingat Andra.
                Hampir setahun aku mencintai Andra, tapi aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Dadaku terasa sesak dan aku seringkali menangis karena ingin sekali bertemu dengannya.
                Aku sedih melihat status di facebook-nya bahwa ia akan kuliah jurusan musik di Yogyakarta.
                Chika menghela napas. “Sampai kapan pun kau tidak akan bertemu dengannya, kalau kau diam saja, tidak bergerak.”
                “Maksudmu aku harus menemuinya dan menyatakan cinta padanya?”
                Chika menatapnya dengan tajam. “Tentu saja kan!”
                “Tapi aku kan cewek, Chika…”
                “Ini kan sudah zaman modern, Luna! Ia akan kuliah di Yogyakarta! Apa kau mau dia pergi begitu saja?”
                Aku menggeleng. Selama dua hari ke depan aku terus merenungkan ucapan Chika. Sampai akhirnya aku datang ke sekolahnya setelah acara kelulusan di sekolahku. Keberuntungan bagiku karena aku melihatnya sedang mengobrol dengan teman-temannya di halte dekat gerbang sekolah, sepertinya menunggu bus.
                Dengan jantung berdebar kencang aku memberanikan diri untuk menyapanya.
                “Siapa?” tanya Andra bingung. Tapi ia tersenyum dengan ramah.
                “Bo-boleh aku berbicara sebentar denganmu?”
                Andra menggaruk pelipisnya, melihat ke arah teman-temannya, lalu mengangguk. “Penting?”
                “Y-ya, penting bagiku.”
                “Baiklah. Di seberang ada café, bagaimana kalau kita bicara di sana saja?”
                Aku menganga tak percaya. Andra ramah sekali! Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk mengiyakan. Aku mengikutinya menyeberang jalan ke arah café Sweet Kisses.
                Kami mengambil tempat duduk di dalam café bernuansa kayu berwarna krem, di sudut jendela. Setelah memesan minuman, aku memulai pembicaraan.
                “Aku… namaku Luna. Sama sepertimu, aku juga kelas tiga SMA. Mungkin kau tidak mengenalku, tapi aku sudah mengetahui tentangmu sejak setahun yang lalu, saat kau memainkan gitar di acara ulang tahun sekolahku, Dies Natalis.” Aku berusaha untuk menatap matanya. Jantungku seolah meledak saat kata demi kata keluar dari mulutku, yang anehnya tanpa terpatah-patah. Aku terkejut melihat wajahnya merona.
                Andra menutup mulutnya, lalu wajahnya. “Terima kasih, tapi maaf, aku tidak mengenalmu.”
                Jantungku terasa ditinju.
                “Lalu, ada hal penting apa?”
                “Aku… aku…” Aku berusaha untuk menahan air mataku yang sudah mendesak untuk keluar. “Aku jatuh cinta padamu, pada permainan gitarmu. Aku… ingin menjadi pacarmu…”
                “Eh…” Aku terkejut melihat wajah Andra yang merah padam. “Aku… senang dengan perasaanmu tapi… untuk saat ini aku belum tertarik untuk berpacaran…”
                Aku menunduk, diam saja. Air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku tahu, aku tahu aku pasti akan ditolaknya! Aku terkejut melihat tisu yang disodorkan di hadapan wajahku. Aku mengambil tisu dari tangan Andra dan menghapus air mataku. Lalu aku mendongak dan melihat Andra tersenyum bingung ke arahku.
                “Jangan menangis. Aku… belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Selama ini aku hanya memikirkan musik. Sudah banyak yang menyatakan cinta padaku.” Andra mengusap tengkuknya. “Jujur, baru kali ini jantungku berdegup dengan kencang. Aku juga tidak tahu kenapa…”
                 “Maksudmu…?”
                Andra tersenyum. “Aku akan kuliah di Yogyakarta. Jika perasaanmu tidak berubah padaku sampai aku lulus kuliah… aku akan menerima cintamu.”
                Aku mengerjapkan mataku dengan bingung. “Hah?”
                Andra tersenyum manis, lebih manis dari senyumannya yang selalu hadir di setiap mimpiku. “Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta. Aku sepertinya sedikit menyukaimu. Tapi untuk sekarang aku ingin fokus di musik dulu, setelah lulus kuliah, mungkin aku akan memikirkan tentang cinta…”
                “Aku tidak mengerti…” Aku memang tidak mengerti akan perkataannya. Aku terkejut karena Andra tiba-tiba memegang tanganku.
                “Kalau kita berjodoh, kita pasti akan bertemu kembali.”
***
Sudah hampir dua tahun sejak aku menyatakan cinta pada Andra. Dan selama itu aku masih saja  memikirkan cowok itu. Banyak cowok yang menyatakan cinta padaku tapi entah kenapa aku sama sekali tidak tertarik.
                Seandainya aku tidak pernah bertemu dengan Andra.
                “Boleh aku duduk di sini, Mbak?”
                “Ya, silahkan…” Aku mengerjapkan mataku tak percaya. “Andra?!”
                Cowok tampan itu tersenyum ke arahku. “Aku tidak sabar untuk menunggu selama dua tahun lagi, Luna. Maukah kau berpacaran denganku?”
                Aku tak sanggup untuk berkata-kata.
                “Aku selalu mengikuti informasi mengenaimu dari facebook-mu. Kampusku sudah mulai libur, makanya aku sengaja jauh-jauh datang ke kampusmu untuk menemuimu.”
                Aku mencubit pipiku, membuat Andra tertawa.
                “Ini bukan mimpi, Luna. Aku mencintaimu. Dan aku sangat menginginkanmu untuk menjadi pacarku.”
                Aku menangis, lalu memeluk Andra yang langsung memelukku dengan erat. “I want You,” bisiknya pelan di telingaku.
END
              
               
               
               
               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar